TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Iklim Misogini Menyurutkan Partisipasi Perempuan di Pilkada Sumut

Perempuan yang ikut mencalonkan diri di Pilkada Sumut minim

Penyelenggaraan pemilihan umum (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Medan, IDN Times - Indonesia memasuki momen Pilkada serentak yang diselenggarakan di setiap wilayah. Semua bakal calon kepala daerah juga telah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggandeng pasangannya masing-masing.

Yang cukup memantik atensi pada Pilkada saat ini ialah minimnya partisipasi perempuan dalam kontestasi politik 5 tahunan itu. Tak terkecuali di Sumatera Utara (Sumut). Provinsi dengan jumlah penduduk nomor 4 terbanyak di Indonesia dengan total 15,39 juta jiwa itu cukup minim partisipasi perempuan pada Pilkada kali ini.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh IDN Times, Provinsi Sumut yang terbagi menjadi 33 Kabupaten/Kota itu hanya terdapat 11 perempuan yang bertarung di percaturan Pilkada. Dengan rincian 4 orang maju sebagai bakal calon Bupati/Walikota dan 7 orang sebagai wakil.

Data tersebut tergolong sangat sedikit, mengingat ada 33 Kabupaten/Kota di Sumut. Jika ditotal, ada 166 orang dari 83 pasangan bakal calon kepala daerah. Jumlah ini jika dipersentasekan berarti hanya 0,06 persen perempuan yang terlibat dalam kontestasi Pilkada di Sumut.

1. Stigma negatif yang dialamatkan kepada perempuan kerap menjadi batu sandungan bagi mereka untuk berani maju ke Pilkada

Pengamat politik sekaligus mantan ketua KPU Medan, Nelly Armayanti, menilai bahwa banyak faktor yang memengaruhi minimnya perempuan maju di Pilkada Sumut 2024. Termasuk bayang-bayang stigma berbabis gender yang kerap dialamatkan kepada perempuan.

"Ada suatu pandangan negatif kepada perempuan. Narasi (berbasis gender) yang selalu didengungkan adalah bahwa politik itu dunianya laki-laki. Hal ini memunculkan stereotipe kepada perempuan sebagai makhluk yang lemah, jauh dari kata kuat, dan mudah diatur. Selain itu ada juga beban ganda yang dijalankan perempuan, karena (ketika mencalonkan) kita dianggap harus tetap menyelesaikan urusan domestik dan publik. Saya menilai adanya sosialisasi gender yang salah sejak dini. Hal ini menjadi salah satu penyebab minimnya perempuan terlibat pada kontestasi Pilkada sehingga memengaruhi daya tawarnya," kata Nelly.

Iklim misogini disebutnya menjadi faktor yang sangat besar pengaruhnya bagi partisipasi perempuan. Tendensi masyarakat yang seolah meminggirkan peranan perempuan merupakan persoalan yang sejak dulu selalu mengakar.

"Persoalan ini bukan semudah membalikkan telapak tangan, juga bukan ujug-ujug. Ini sudah dikonstruksi sejak sekian lamanya peradaban itu. Makanya kenapa kaum perempuan terus berjuang, tidak pernah selesai. Kenapa laki-laki kerap terlibat di percaturan politik? Karena mereka dibiasakan sementara perempuan tidak, karena dianggap tabu atau tidak boleh. Harusnya tidak ada diskriminasi soal itu," tuturnya.

2. Prinsip inklusif bagi pencalonan kepala daerah perempuan jangan hanya jadi lip service

Sebagai orang yang pernah berkontestasi dalam Pilkada Sumut, Nelly tahu betul bagaimana atmosfer politik yang dirasakan seorang perempuan. Pada tahun 2010 Nelly disetujui oleh partai pengusung menjadi calon Wakil Walikota Medan mendampingi Sofyan Tan, meskipun pada putaran kedua mereka harus takluk dari pasangan Rahudman - Dzulmi Eldin.

"Apakah prinsip tidak diskriminatif sudah diterapkan? Ini masih diperdebatkan. Takutnya hanya sekadar lip service yang digaungkan untuk menarik simpati pemilih perempuan. Katanya sih sudah inklusif, ya. Namun dalam implementasinya takutnya terjadi perbedaan seperti di Pemilu. Kita lihat saja UU Pemilu dan partai politik, di sana sudah ada mengatur tentang kuota perempuan. Tapi kenapa itu seakan lengah dan terabaikan? Sisi parlemennya saja begitu, apalagi ini Pilkada serentak. Di Sumut memang patriarkinya luar biasa, makanya kita lihat banyak redup untuk suara perempuan," beber Nelly.

Baginya, tahap pencalonan masa Pilkada harus didasarkan kesetaraan, keadilan, inklusif, dan tidak membeda-bedakan. Sebab pada dasarnya hal tersebutlah yang bisa membuat perempuan tidak merasa dipinggirkan.

"Kita berhak untuk bersama-sama membangun Indonesia ke arah yang lebih baik. Saya sebagai perempuan sangat berharap kepada perempuan Indonesia, ya, kita memang harus jadi orang yang kuat," ujarnya.

3. Jika ingin memberantas stigma di tubuh partai, perempuan harus pandai bernegosiasi

Di tengah nilai tawar perempuan yang kerap sekali rendah pada kontestasi politik, Nelly memandang bahwa cara bernegosiasi menjadi hal krusial untuk dilakukan, di samping stigma yang begitu deras. Bak menjadi senjata pamungkas, cara perempuan bernegosiasi juga bisa mengubah persepsi di tubuh partai pengusung.

"Kita bisa melakukan analisis SWOT. Bagaimana kita melihat kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Ini harus kita lakukan pada diri kita kalau ingin berkontestasi dan melawan stigma. Waktu mencalonkan sebagai Wakil Walikota dulu saya tak punya banyak uang dan modal kapital. Namun yang saya punya adalah modal sosial. Jadi, kekuatan apa yang perempuan punya, maka galilah," ujar mantan calon Wakil Walikota Medan tahun 2010 itu.

Tak dipungkiri olehnya bahwa untuk bisa diusung partai politik, siapa pun harus "jago jualan". Baik laki-laki atau perempuan, jika berani mencalonkan diri di Pilkada juga harus memiliki kualitas.

"Dahulu saya punya potensi tutur dan jejaring, makanya saya gali. Saya punya kekuatan itu. Jadi saya rangkul kaum perempuan untuk bisa bersama saya. Jika sudah maju, kita mau apa? Kalau berhasil duduk, kita bisa berkontribusi seperti apa? Itu yang harus kita lakukan. Terlebih tentang kesejahteraan perempuan," pungkas Nelly.

4. Kemiskinan struktural dan pandangan male gaze jadi salah satu pemicu perempuan sulit menjangkau ranah publik

Sementara itu aktivis perempuan Kota Medan, Lusty Ro Manna Malau, memandang jika alasan ekonomi menjadi salah satu pemicu minimnya partisipasi perempuan maju di Pilkada Sumut. Dunia yang masih dalam bayang-bayang nilai patriarki selalu berdampingan pula dalam kemiskinan struktural.

"Di mana kalau misalnya perempuan bekerja, ia belum tentu diizinkan oleh pasangannya atau suaminya. Belum lagi dengan perempuan yang bekerja berganda-ganda, bagaimana dia bisa maju sebagai kepala daerah sementara banyak narasi yang mempersoalkan perannya yang lain sebagai ibu rumah tangga? Jadi faktor utama yang menghambat perempuan minim partisipasi dalam berpolitik menurut hemat saya adalah soal ekonomi dan peran ganda perempuan. Kita juga masih hidup dalam kemiskinan yang terstruktur," kata Lusty.

Perempuan yang merupakan founder Komunitas Perempuan Hari Ini itu menganggap jika partai politik juga tidak memberikan habit untuk belajar politik secara mandiri dan masif. Ia menilai partai politik beserta pandangan male gaze di sekelilingnya lebih memprioritaskan cawe-cawe dan model politik praktis.

"Pandangan male gaze cenderung menganggap bahwa kalau bukan laki-laki yang memimpin, tidak akan sah. Spanduk yang ada di Medan masih banyak didominasi laki-laki begitu juga pembicara di stasiun televisi, jadi minim unsur perempuan di dalam hal berpolitik. Itulah yang membuat mengapa isu politik seakan akan tidak dalam genggaman perempuan. Bukan perempuan tak mau berusaha, tapi memang tak ada akses," tuturnya.

Berita Terkini Lainnya