Medan, IDN Times – Pemerintah terus menggeber upaya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Rencana teranyar pada Mei 2025 lalu, pemerintah mencanangkan pembangunan 33 PLTSa baru.
Saat ini, baru dua PLTSa yang beroperasi. PLTSa Benowo di Surabaya dan PLTSa Putri Cempo di Surakarta.
Proyek pembangunan PLTSa ini justru mendulang pro kontra yang tidak sedikit. Pemerintah berpendapat, proyek ini akan mengurangi jumlah timbulan sampah. Sementara di lain pihak jamak menilai jika PLTSa justru akan menimbulkan masalah baru.
Sebut saja di PLTSa Benowo. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur menyebut jika PLTSa menjadi sumber polusi. Riset mereka menunjukkan kualitas udara di sekitar PLTSa Benowo Surabaya melampaui ambang batas yang ditetapkan oleh WHO dan nasional.
Kualitas udara di sekitar PLTSA Benowo menunjukkan rata-rata paparan partikel Particulate Matter (PM2.5) mencapai 26,78 µg/m³, hampir dua kali lipat dari batas harian WHO dalam Global Air Qualiy Guideline sebesar 15 26,78 µg/m³. Bahkan dalam beberapa titik pemantauan, nilai PM2.5 melampaui 100 µg/m³, yang tergolong sangat bahaya. Kemudian untuk PM10 juga demikian. Konsentrasi puncak PM10 mencapai 150 µg/m³.
Ini menunjukkan, PLTSA bukan menjadi solusi untuk menjaga lingkungan. Melainkan menjadi polutan baru yang justru lebih berbahaya.
PLTSa terus mendapat kritik dari para pegiat lingkungan. Yayasan Menjaga Pantai Barat (Yamantab) yang berbasis di Sumatra Utara berpendapat, PLTSa memang bisa dijadikan solusi pengurangan timbulan sampah. Namun itu terjadi jika dilakukan dengan standar yang sangat ketat.
“PLTSa bukan solusi jangka panjang penanganan sampah. Pada berbagai teknologi yang dikembangkan Indonesia seringkali gagal dalam aplikasi, gagal mengaplikasikan, gagal dalam pengawasan dan abai karena hanya menuntut pada capaian target. Akhirnya tuntutan ini mengabaikan aspek-aspek penting lainnya yang lebih substansial,” ujar Direktur YAMANTAB Damai Mendrofa kepada IDN Times.