Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
-
Para relawan berbagi makanan dengan masyarakat terdampak banjir di Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, Selasa (9/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Intinya sih...

  • Agum dan relawan Medan Lawyer FC (MLFC) membantu korban banjir di Medan, Sumatra Utara dengan evakuasi, bantuan logistik, dan pembangunan sekolah darurat.

  • Feri Andrian Sibarani dan para pemuda di Linkungan V, Kelurahan Sarudik, Tapanuli Tengah menggalang donasi untuk para penyintas banjir di daerah mereka yang terparah terdampak.

  • Yayasan Orangutan Sumatra Lestari – Orangutan Information Center (YOSL-OIC) mendistribusikan logistik ke kawasan terdampak dan masih terisolir serta membantu masyarakat kesulitan mendapatkan logistik pasca bencana.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sudah tiga pekan terakhir, Gumilar Aditya Nugroho meninggalkan kegiatannya sebagai seorang pengacara. Kemeja, jas dan dasi yang biasa tersemat rapi berganti dengan kaus, celana pendek dan helm pengaman berwarna oranye. Begitu juga dengan baju pelampung yang terus dikenakannya.

Setiap hari, Agum –sapaan karibnya-- sibuk menghubungi kolega pengacaranya. Mengumpulkan berbagai jenis donasi, untuk membantu para penyintas bencana banjir dan longsor di Aceh dan Sumatra Utara.

Sejak banjir di Kota Medan pada akhir November 2025, Agum dan para relawan dari Medan Lawyer FC (MLFC) bergerak melakukan evakuasi korban hingga menyalurkan bantuan logistik.

Sebuah kafe di taman itu, disulap mereka menjadi markas. Di sana, Agum mengumpulkan semua donasi dari para dermawan. Pakaian, selimut, matras dan logistik pangan dikumpulkan.

Di markas mereka, di Taman Cadika Medan Johor, satu unit pikap selalu siaga membawa dua perahu karet. Agum memanfaatkan hobi arung jeramnya untuk membantu penanganan banjir. Mereka berkonsolidasi dengan Pandawa Kayak, satu komunitas pehobi olahraga air di Medan. Agum juga membangun simpul lintas komunitas. Tenaga kesehatan, guru, dosen, pegiat anak, ojek online, semuanya diajak untuk terlibat.

“Ini murni gerakan yang berasal dari kesadaran kolektif masyarakat. Kita ingin mengejawantahkan konsep warga bantu warga pada bencana yang terjadi,” kata Agum, Senin (22/12/2025).

Setelah banjir di Medan surut, mereka terus menggalang donasi. Mereka kemudian menyasar kawasan Langkat. Bahkan, pada pekan pertama Desember, Agum dan timnya sudah masuk ke kawasan Aceh Tamiang. Mereka menyisir dan masuk ke daerah-daerah terisolir. Membawa logistik dan mendata apa saja yang menjadi kebutuhan para penyintas.

Agum bercerita, bagaimana mereka menembus daerah terisolir. Di Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Aceh Tamiang misalnya. Mereka harus menyeberangi sungai dengan perahu karet. Arusnya cukup deras. Mereka memilih Sekumur sebagai daerah sasaran karena saat itu, Sekumur masih terisolasi. Ada 200-an Kepala keluarga yang belum banyak tersentuh oleh bantuan logistik.

Gumilar Aditya berbincang dengan anak - anak di Desa Sekumur. (Dok Pribadi)

Bukan hanya membawa kebutuhan logistik, mereka juga menggelar sejumlah kegiatan. Agum dan komunitasnya membawa tenaga kesehatan, hingga komunitas yang bisa membantu menghibur anak-anak di pengungsian.

“Kita mencoba mengonsolidasikan gerakan kesukarelawanan ini dari berbagai komunitas. Kita jalin komunikasi dan langsung bikin aksi nyata. Karena kondisi para pengungsi yang mulai mengalami stress pasca bencana ini,” katanya.

Sampai saat ini, Agum dan sejumlah komunitas lainnya, masih bertahan di Sekumur. Mereka tinggal bersama para penyintas, membuat sekolah darurat. Siang hari, para relawan membuat kegiatan belajar mengajar kepada anak-anak di sana. Malam harinya, para relawan membuat kegiatan mengaji bersama dengan anak-anak.

“Di tengah semua keterbatasan, kita menghidupkan empati kita terhadap warga yang terdampak. Kami mendapat banyak pelajaran penting selama ada di lapangan. Terutama bagaimana belajar kesabaran dari para penyintas,” katanya.

Solidaritas para pemuda dari Tapteng

Warga dan pengurus membersihkan gereja di Desa Hutanobolon, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, Jumat (19/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Cerita warga bantu warga juga datang dari Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Feri Andrian Sibarani dan para pemuda di Linkungan V, Kelurahan Sarudik, Kecamatan Sarudik menggalang donasi untuk para penyintas banjir di sana.

Tapanuli Tengah menjadi salah satu daerah terparah pada banjir yang menerjang Sumatra Utara. Banjir dan longsor menewaskan 33 warga di sana. Sampai saat ini masih ada 38 orang yang masih hilang. Sementara itu, bahala 25 November 2025 lalu, membuat 1.197 jiwa menjadi pengungsi.

Feri bersama para muda-mudi di Sarudik tergerak kala melihat para penyintas dari Kecamatan Sitahuis berjalan kaki untuk mencari logistik. Para pejalan kaki ini harus naik dan turun bukit di dalam hutan untuk menembus ke arah Sarudik selama berjam-jam. Mereka mencari logistik untuk keluarga dan warga di sana yang sempat terisolir.

Cerita susahnya para penyintas mendapatkan logistik, membuat empati Feri dan rekan-rekannya muncul. Mereka kemudian urun rembug, membahas apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu para penyintas.

“Kami ini tidak terdampak banjir. Sehingga kami berpikir bagaimana bisa membantu. Pada akhirnya, kami kumpulkan donasi dari para muda-mudi di sini,” ujar Feri, Selasa (23/12/2025).

Donasi uang tunai yang terkumpul kemudian dibelanjakan dan dijadikan makanan siap santap. Makanan itu kemudian diberikan kepada para warga yang melintas untuk mencari logistik.

“Mereka itu cerita, berharap dapat bantuan dari pemerintah. Makanya mereka nekat berjalan kaki ke arah bawah. Karena akses kendaraan ke sana itu terisolir,” katanya.

Feri melihat langsung bagaimana perjuangan warga untuk membawa logistik. Bahkan di antara para penyintas ada yang membawa anaknya sambil berjalan kaki.

“Saat ini kami terus mengumpulkan donasi dari daerah – daerah tidak terdampak. Ada tim yang sedang berada di Kota Padangsidimpuan, untuk mengumpulkan bantuan dari sana,” katanya.

Bagi Feri, apa yang mereka lakukan hanyalah hal kecil. Niatannya, mereka hanya ingin ikut berkontribusi sebagai sesama warga negara.

“Kami memang tidak terdampak. Namun kami merasakan saat daerah kami terisolasi. Sehingga kami begitu merasakan, apa yang dirasakan para penyintas,” katanya.

Semangat para pegiat konservasi bantu penyintas

Pegiat konservasi dari Yayasan Orangutan Sumatra Lestari (YOSL) mendistribusikan logistik kepada para penyintas bencana banjir di Desa Sipange, Kecamatan Tukka, Kabuopaten Tapanuli Tengah, Rabu (17/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Hampir tiga pekan terakhir, meja – meja yang biasanya terjajar komputer jinjing (Laptop), berganti dengan kemasan-kemasan, makanan siap saji. Para pegiat yang biasanya membiacarakan orangutan, kinia bergiat untuk kebencanaan.

Kantor yang biasanya rapi, kini seperti pasar grosir bahan pangan. Minyak makan, abon kemasan, sardin kalengan, air mineral memenuhi kantor yang biasa digunakan Yayasan Orangutan Sumatra Lestari – Orangutan Information Center (YOSL-OIC) di kawasan Kecamatan Padangbulan, Kota Medan.

Selama masa bencana, YOSL – OIC menggalang dana donasi dari masyarakat. Fokus mereka adalah kawasan – kawasan terdampak dan masih terisolir. Sudah tiga pekan, tim yang dibentuk YOSL – OIC, mendistribusikan logistik. Mulai dari Aceh, hingga Sumatra Utara.

Selama tiga pekan itu juga, para relawan di YOSL – OIC menyaksikan bagaimana para penyintas terus bertahan hidup di tengah minimnya logistik.

Ikhwan, salah seorang pegiat di YOSL-OIC yang terlibat dalam tim relawan mengatakan, pengumpulan donasi ini adalah langkah kecil untuk membantu meringankan beban penyintas.

“Saya melihat bagaimana kondisi di lapangan. Bagaimana para penyintas berjuang. Semangat ini tentu menjadi semangat kami juga untuk terus bergerak. Berupaya dengan semua kemampuan kita, bersolidaritas membantu saudara-saudara kita yang terdampak.

Cerita Damai, ketika korban bantu korban

Kondisi Kompleks Pertokoan di Kecamatan Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (10/12/2025). Aceh Tamiang diterjang banjir bandang pada Rabu (26/11/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Saat banjir menerjang Tapanuli Tengah, Selasa (25/11/2025), Damai Mendrofa menjadi salah satu saksi bagaimana air begitu cepat naik. Bahkan, dia menyaksikan langsung bagaimana bukit-bukit di sekitar Bank Sampah tempat dirinya berkegiatan sehari-hari sebagai direktur Yayasan Menjaga Pantai Barat (Yamantab), longsor. Arah jatuh longsoran langsung menghantam pemukiman di kaki bukit.

“Ada suara gemuruh sebelum akhirnya bukit itu longsor,” kata Damai membuka cerita.

Damai langsung terpikir soal kondisi empat anak dan istrinya yang ada di rumah mereka di Kecamatan Pandan. Tetap berusaha tidak panik, Damai mencoba melihat sekitar. Di dekat bangunan bank sampah, dia melihat satu keluarga tengah bingung hendak menyelamatkan diri dari air yang sudah memasuki rumah mereka.

Damai langsung memanggil mereka, untuk masuk ke dalam bangunan bank sampah. Memang, bank sampah lokasinya lebih tinggi dari sekitarnya.

Setelah membaca situasi, Damai bergegas. Dia menembus banjir. Dari bank sampah di Kecamatan Tukka, dia berjalan ke arah Kecamatan Pandan. Bahkan di dalam perjalanan berjam-jam itu, dia sempatkan untuk mengambil beberapa foto yang belakangan dia kirimkan ke kantor berita asing.

“Kamera sampai rusak, karena terkena air,” katanya.

Warga memindahkan barang dari rumah yang terdampak banjir di Kecamatan Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sabtu (20/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Laki-laki yang juga berprofesi jurnalis ini akhirnya tiba di di rumahnya. Istri dan anaknya semua selamat. Meski rumahnya ikut terendam air.

Pasca banjir surut, dia kemudian berkeliling. Dia menyaksikan bagaimana masyarakat kesulitan untuk mendapatkan logistik. Bahkan, dia menyaksikan bagaimana penjarahan sejumlah minimarket di sana terjadi.

Damai mengakui, selama terjadi bencana, banyak koleganya yang membantu. Namun, Damai tidak hanya berpikir, bantuan itu tidak dibutuhkan hanya untuk dirinya. Dia berpikir bagaimana orang – orang di sekitarnya juga bisa mendapatkan akses terhadap bantuan.

“Memang secara pribadi, kami membutuhkan bantuan. Namun setelah itu sudah terpenuhi, kita mulai berpikir, bagaimana masyarakat yang kondisinya tidak memiliki akses terhadap bantuan. Tidak seberuntung kami yang memiliki kawan – kawan yang punya kepedulian,” katanya.

Jadi, kata Damai, saat ini ketika ada yang hendak memberikannya bantuan, dia akan mengalihkannya kepada yang lebih membutuhkannya. Bersama beberapa temannya di Bank Sampah, mereka mulai mendata, daerah mana saja yang dianggap mendesak untuk dibantu.

“Informasi ini kemudian kita teruskan kepada jejaring kita di berbagai daerah. Sehingga distribusi itu bisa disalurkan langsung dan tepat sasaran,” katanya.

Menguatnya solidaritas warga bantu warga

Para penyintas mengambil bantuan logistik dari para relawan di Jembatan Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis (5/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Bencana yang menerjang Sumatra memakan begitu banyak korban jiwa. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, bencana banjir dan longsor di Sumatra sudah memakan korban tewas sebanyak 1.106 jiwa. Selain itu, terdapat 175 orang yang masih dinyatakan hilang.

Provinsi Aceh mencatat total 477 jiwa meninggal dunia, 31 orang dinyatakan hilang, dan 473.273 pengungsi dengan angka kematian tertinggi terjadi di Aceh Utara sebanyak 186 jiwa serta Aceh Tamiang sebanyak 88 jiwa.

Sementara, di Sumatra Utara tercatat 369 korban meninggal, 72 orang hilang, dan 17.759 pengungsi di mana wilayah Tapanuli Tengah menjadi yang terdampak paling parah dengan 133 jiwa meninggal, disusul Tapanuli Selatan dengan 88 jiwa.

Di Sumatra Barat, total korban meninggal mencapai 260 jiwa, 72 orang hilang, dan 11.574 pengungsi dengan konsentrasi korban tertinggi berada di Kabupaten Agam sebanyak 190 jiwa serta Padang Pariaman sebanyak 35 jiwa.

Pasca bencana, masyarakat tergerak untuk membantu para penyintas. Setiap hari media sosial dipenuhi visual bagaimana semangat warga bantu warga. Mulai dari pemengaruh (influencer), komunitas, tokoh publik, seniman, hingga orang per orang menggalang donasi untuk disalurkan ke daerah terdampak.

Menurut Damai, fenomena ini membuktikan bagaimana kekuatan solidaritas sesama warga negara itu ditunjukkan. Dalam skala kecil bahkan, desa yang tidak terdampak membantu desa yang terdampak.

“Ini kan sebenarnya konteksnya adalah rasa empati, rasa ikut merasakan duka sesama kita manusia. Sebenarnya lumrah ini terjadi dan ini biasanya dipicu oleh spontanitas,” katanya.

Namun Damai menyoroti, semakin mengemukanya fenomena ini. Bagi dia, selain empati, ini adalah cara warga dalam mengkritik terhadap respon lambat pemerintah dalam penanggulangan bencana.

“Kemudian faktor lain adalah semakin menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah hari ini. Di banyak isu, di banyak persoalan. Ini yang kemudian mendorong isu warga bantu warga ini menjadi obrolan yang hangat dan menjadi obrolan yang mengakar kuat di masyarakat,” katanya.

Solidaritas warga membantu para penyintas banjir di Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Damai menilai, di dalam situasi bencana ini, pemerintah justru melakukan hal-hal yang dianggapnya bukan menjadi solusi untuk masyarakat. Justru pemerintah lebih banyak melakukan klarifikasi dan membangun narasi yang justru menjatuhkan citra pemerintah sendiri.

“Misalnya apa? Soal yang menyebut bahwa kalau mau bantu orang harus izin ke mereka. Kemudian seolah-olah mengkerdilkan apa yang dilakukan oleh warga. Yang bilang cuma bantu sekian negara sudah triliunan-triliunan. Padahal uang triliunan itu juga uangnya warga, uangnya masyarakat, pajak rakyat.  Ini yang kemudian menyebabkan isu warga bantu warga ini menjadi obrolan yang hangat,” katanya.

Dia mendorong pemerintah melakukan evaluasi hingga refleksi mendalam untuk penanggulangan bencana. Di tengah kondisi masyarakat yang justru terbebani karena bencana, pemerintah harusnya hadir sebagai pemberi solusi. Bukan malah menjadi entitas yang haus akan eksistensi dan validasi.

“Masyarakat Indonesia itu hari ini butuh edukasi, butuh keteladanan. Perlu diingat, dalam hemat saya, penanganan bencana ini butuh rencana yang baik dan terukur. Dalam pemahaman saya, ketika kita gagal berencana dalam melakukan penanggulangan bencana, justru kita sesungguhnya merencanakan kegagalan,” tukasnya.

Pemerintah klaim sudah bergerak sejak hari pertama bencana

Potret udara kondisi Kecamatan Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Selasa (9/12/2025). Kuala Simpang menjadi salah satu daerah terparah terdampak banjir bandang pada Rabu (26/11/2025) lalu. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Sebelumnya, pemerintah menjawab berbagai kritik soal lambannya penanganan bencnaa. Termasuk desakan untuk menetapkan bencana Sumatra sebagai bencana nasional. Pemerintah beralasan, mereka sudah menanggulangi bencana Sumatra dengan sekala nasional.

Sekretaris Kabinet (Seskab), Teddy Indra Wijaya, dalam jumpa pers di Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat, 19 Desember 2025 mengatakan, seluruh petugas yang di lapangan seperti Basarnas, prajurit TNI, Polri, BNPB, BPBD (Badan Penanggulan Bencana Daerah), langsung ke lokasi bencana Sumatra. Mereka bekerja tanpa disorot kamera.

"Jadi itu sejak hari pertama, saya pastikan sudah berjuang keras, secepat mungkin di sana, ya," kata dia.

"Dan sampai sekarang totalnya sudah sekitar 80 helikopter, pesawat, gabungan TNI, Polri, swasta, dibantu Susi Air, dibantu rekan-rekan semua. Sampai sekarang, setiap harinya," lanjut Teddy.

Terkait perdebatan status "Bencana Nasional" yang kerap disampaikan, Teddy meminta semua pihak untuk berhenti. Teddy menegaskan, dana sebesar Rp60 triliun telah dikeluarkan secara berangsur untuk memulihkan kehidupan warga terdampak bencana.

"Jangan lagi bicara status jika tindakannya sudah berskala nasional!,”ujarnya.

Bahkan dalam kesempatan itu, Teddy meminta media untuk tidak mudah menyampaikan kritik saat meliput lokasi bencana.

"Jika Anda dianugerahkan Tuhan pengaruh dan kemampuan bicara panjang lebar, gunakanlah dengan bijak! Jangan menggiring opini seolah petugas di lapangan hanya berpangku tangan. Mereka berjuang hingga titik darah penghabisan, bahkan ada yang bekerja tanpa pernah bisa kita lihat lagi wajahnya," ujar Teddy.

Editorial Team