Sudah tiga pekan terakhir, Gumilar Aditya Nugroho meninggalkan kegiatannya sebagai seorang pengacara. Kemeja, jas dan dasi yang biasa tersemat rapi berganti dengan kaus, celana pendek dan helm pengaman berwarna oranye. Begitu juga dengan baju pelampung yang terus dikenakannya.
Setiap hari, Agum –sapaan karibnya-- sibuk menghubungi kolega pengacaranya. Mengumpulkan berbagai jenis donasi, untuk membantu para penyintas bencana banjir dan longsor di Aceh dan Sumatra Utara.
Sejak banjir di Kota Medan pada akhir November 2025, Agum dan para relawan dari Medan Lawyer FC (MLFC) bergerak melakukan evakuasi korban hingga menyalurkan bantuan logistik.
Sebuah kafe di taman itu, disulap mereka menjadi markas. Di sana, Agum mengumpulkan semua donasi dari para dermawan. Pakaian, selimut, matras dan logistik pangan dikumpulkan.
Di markas mereka, di Taman Cadika Medan Johor, satu unit pikap selalu siaga membawa dua perahu karet. Agum memanfaatkan hobi arung jeramnya untuk membantu penanganan banjir. Mereka berkonsolidasi dengan Pandawa Kayak, satu komunitas pehobi olahraga air di Medan. Agum juga membangun simpul lintas komunitas. Tenaga kesehatan, guru, dosen, pegiat anak, ojek online, semuanya diajak untuk terlibat.
“Ini murni gerakan yang berasal dari kesadaran kolektif masyarakat. Kita ingin mengejawantahkan konsep warga bantu warga pada bencana yang terjadi,” kata Agum, Senin (22/12/2025).
Setelah banjir di Medan surut, mereka terus menggalang donasi. Mereka kemudian menyasar kawasan Langkat. Bahkan, pada pekan pertama Desember, Agum dan timnya sudah masuk ke kawasan Aceh Tamiang. Mereka menyisir dan masuk ke daerah-daerah terisolir. Membawa logistik dan mendata apa saja yang menjadi kebutuhan para penyintas.
Agum bercerita, bagaimana mereka menembus daerah terisolir. Di Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Aceh Tamiang misalnya. Mereka harus menyeberangi sungai dengan perahu karet. Arusnya cukup deras. Mereka memilih Sekumur sebagai daerah sasaran karena saat itu, Sekumur masih terisolasi. Ada 200-an Kepala keluarga yang belum banyak tersentuh oleh bantuan logistik.
Bukan hanya membawa kebutuhan logistik, mereka juga menggelar sejumlah kegiatan. Agum dan komunitasnya membawa tenaga kesehatan, hingga komunitas yang bisa membantu menghibur anak-anak di pengungsian.
“Kita mencoba mengonsolidasikan gerakan kesukarelawanan ini dari berbagai komunitas. Kita jalin komunikasi dan langsung bikin aksi nyata. Karena kondisi para pengungsi yang mulai mengalami stress pasca bencana ini,” katanya.
Sampai saat ini, Agum dan sejumlah komunitas lainnya, masih bertahan di Sekumur. Mereka tinggal bersama para penyintas, membuat sekolah darurat. Siang hari, para relawan membuat kegiatan belajar mengajar kepada anak-anak di sana. Malam harinya, para relawan membuat kegiatan mengaji bersama dengan anak-anak.
“Di tengah semua keterbatasan, kita menghidupkan empati kita terhadap warga yang terdampak. Kami mendapat banyak pelajaran penting selama ada di lapangan. Terutama bagaimana belajar kesabaran dari para penyintas,” katanya.
