Aksi pegiat konservasi di depan Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara, Senin (4/9/2023). Mereka memrotes vonis ringan kasus satwa liar dilindungi yang menjerat eks Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-angin. (IDN Times/Prayugo Utomo)
Kasi Intel Kejari Langkat, Sabri Fitriansyah Marbun sebelumnya mengakui, menuntut hukuman 10 bulan kurung penjara dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan terhadap Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin-Angin, dikarenakan kasus kepemilikan satwa dlindungi. Dikatakan dia, adapun yang menjadi pertimbangan jaksa dalam tuntutan diantaranya, jika satwa yang diamankan dalam kondisi yang terawat.
"Ada hal yang meringankan terdakwa bahwa, satwa yang dipelihara dalam keadaan terawat," jelas Sabri.
Dalam kasus ini, Terbit mengaku jika satwa itu bukan miliknya. Ini diungkapkan Terbit saat menjalani persidangan kepemilikan satwa dilindungi dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, pada Senin tanggal 10 Juli 2023 lalu.
Kasus kepemilikan satwa ini terungkap saat KPK menggeledah rumah TRP dalam kasus dugaan korupsi, Selasa (25/1/2023) lalu. Saat itu IDN Times mencatat ada sejumlah satwa yang disita. Antara lain; satu individu Orangutan Sumatra (Pongo Abelii), satu ekor Monyet Sulawesi (Cynopithecus niger), seekor Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus), dua ekor Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) dan dua ekor Beo (Gracula religiosa) yang disita. Namun dalam putusan yang ditelusuri di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Stabat, barang bukti 2 ekor jalak bali tidak dituliskan.
Orangutan yang disita diketahui berjenis kelamin jantan. Usianya ditaksir sudah 15 tahun. Beratnya ditaksir sekitar 25 Kg. Terbit Rencana diduga sudah memelihara satwa itu selama dua tahun. Saat disita, Orangutan diketahui mengalami infeksi gusi dan dalam kondisi kurang sehat.
Kasus kepemilikan satwa dilindungi oleh pejabat bukan kali pertama terjadi. Pada awal Februari 2020, satu individu orangutan didapati berada di rumah Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan. Belakangan, orangutan itu pun dilepasliarkan oleh anak buah Nikson. Saat itu, tidak ada sanksi apapun dikenakan kepada Nikson.
Sebelumnya, kepada IDN Times, Founder Yayasan Orangutan Sumatra Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo menjelaskan, kehilangan satu persen saja populasi orangutan, maka akan memberikan dampak besar pada ekosistem. Perkembangan jumlah populasi akan berkurang signifikan. Karena dalam siklus hidupnya, perkembangbiakan hidup orangutan begitu lamban.
“Orangutan betina berkembang biak semasa hidupnya paling banyak melahirkan tiga individu. Karena interval perkembangbiakan cukup lama. Sekitar delapan tahun sekali. Karena jika punya anak, dia akan mengurusi anaknya hingga 6-8 tahun,” kata Panut beberapa waktu lalu.
Kehilangan populasi juga akan berdampak serius pada perkembangan ekosistem. Orangutan sebagai satwa arboreal pemakan buah terkenal sebagai petani hutan. Karena orangutan memencar biji-biji buah yang dimakan di kawasan jelajahnya.
“Ketika orangutan sudah tidak ada lagi, maka proses regenerasi vegetasi menjadi terganggu. Orangutan menjadi penyeimbang regenerasi hutan. Artinya, dia juga berperan dalam keseimbangan iklim. Karena menjaga hutan tetap bagus,” pungkas laki-laki yang kini menjabat sebagai Ketua Forum Kehutanan Daerah (DKD) Sumut itu.