Eks Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin di ruang persidangan. (IDN Times/Bambang Suhandoko)
Kejanggalan dalam proses persidangan terlihat pada periode yang sangat panjang. Dalam SIPP Pengadilan Negeri Stabat disebutkan total persidangan 321 hari. Padahal, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan, diatur bahwa penyelesaian perkara pada pengadilan tingkat pertama paling lambat dalam waktu lima bulan.
“Ini diduga melanggar asas yaitu contante justitie, atau peradilan seharusnya berlangsung cepat, sederhana dan dengan biaya ringan karena tidak kunjung memberikan kepastian hukum bagi korban,” kata Ady.
Ady melanjutkan, vonis bebas ini juga menyimpan banyak kejanggalan. Keterlibatan Terbit dalam kerangkeng Langkat sebenarnya nyata terjadi.
Apabila melihat putusan lain yang berhubungan yakni Perkara Nomor 467/Pid.B/2022/PN Stb yang melibatkan Dewa Perangin Angin dan Hendra Subakti alias Gubsar, yang dalam putusannya menyatakan keduanya telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "penganiayaan yang mengakibatkan orang lain mati yang dilakukan secara bersama-sama” dan oleh karena itu dijatuhkan pidana kepada dengan pidana penjara masing-masing selama 1 tahun dan 7 bulan, serta diterimanya permohonan restitusi untuk seluruhnya.
“Melihat dari lokasi kejadiannya, sangat tidak mungkin apabila TRP tidak mengetahui adanya tindakan penganiayaan tersebut. Kami menilai bahwa sangatlah ganjil apabila aktor intelektual dari perkara TPPO ini justru diputus bebas,” pungkasnya.
Kasus ini pada awalnya diketahui saat operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap TRP Bupati Langkat non-aktif pada 18 Januari 2022, dimana telah membuka tabir kejahatan.
Dari hasil penggeledahan KPK ditemukan adanya beberapa orang yang berada dalam bangunan berjeruji besi dengan dalih bahwa bangunan yang mirip kerangkeng tersebut merupakan tempat rehabilitasi. Korban yang telah dimasukkan dalam jeruji besi yang terletak di belakang rumah TRP. Diduga kuat TRP merupakan inisiator dari kerangkeng manusia tersebut, untuk kemudian dieksploitasi dengan dipekerjakan di perkebunan sawit miliknya secara paksa dan tidak dibayar.
TRP dituntut dengan Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun, Pengadilan Negeri Stabat pada Senin, 8 Juli 2024 memutus bebas TRP. Selain itu, TRP juga dibebaskan dari kewajiban untuk membayar biaya restitusi. Putusan ini sangat mengejutkan, mengingat tuntutan Penuntut umum dalam sidang sebelumnya terhadap TRP yakni adalah 14 tahun pidana penjara, denda sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah), serta biaya restitusi sebesar Rp 2.377.805.493yang diberikan kepada 12 korban atau ahli warisnya.
TAP HAM mendesak JPU mlakukan upaya hukum kasasi Mahkamah Agung dengan tetap memasukkan substansi mengenai permohonan restitusi korban sebagai salah satu memori pokok dalam memori kasasi. Mereka juga mendesak Komnas HAM untuk memberikan pendapat mengenai proses peradilan.
"Karena dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran HAM yakni Tindak Pidana Perdagangan Orang yang merupakan bagian dari pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana mandat UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Kami juga mendesak Komisi Kejaksaan memanggil dan meminta keterangan kepada Jaksa yang melakukan undue delay serta melakukan pemeriksaan sehubungan dengan perilaku dan/atau dugaan pelanggaran peraturan kejaksaan," imbuhnya.
"Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung harus melakukan pemeriksaan kepada Majelis Hakim pemeriksa perkara, serta menyelidiki adanya dugaan pelanggaran etik," pungkasnya.