Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi penyiksaan. (IDN Times/Prayugo Utomo)
Ilustrasi penyiksaan. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Medan, IDN Times – Tuntutan rendah terhadap dua prajurit TNI aktif, Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu, yang didakwa dalam kasus kematian seorang anak bernama MAF (13), memicu kritik dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara.

Dalam perkara nomor 19-K/PM.I-02/AD/III/2025, kedua terdakwa hanya dituntut dengan Pasal 359 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yakni soal kelalaian hingga menyebabkan kematian. Tuntutannya pun tergolong ringan: 18 bulan penjara untuk satu terdakwa dan 1 tahun penjara untuk yang lainnya dalam persidangan, Kamis (17/7/2025).

1. Tuntutan ringan tidak setimpal dengan nyawa korban

Ilustrasi palu sidang. (Pexels/Katrin Bolovtsova)

Kepala Operasional KontraS Sumut Adinda Zahra Noviyanti menilai, tuntutan tersebut tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan, yakni hilangnya nyawa seorang anak. Tuduhan bahwa korban adalah pelaku geng motor dianggap sebagai upaya pembentukan opini yang menyesatkan.

“Menurut kami, tuntutan yang dijatuhkan oditur dalam persidangan terlalu rendah dan tidak sebanding dengan tindak pidana yang dilakukan para terdakwa. Tuntutan ini juga menyakiti keluarga korban,” kata Adinda.

KontraS juga mencatat adanya kejanggalan selama persidangan, mulai dari pasal dalam dakwaan yang tidak konsisten dengan tuntutan, hingga penyederhanaan kasus menjadi sekadar "kelalaian".

2. Lemahnya penegakan hukum melanggengkan budaya impunitas

Ilsutrasi palu sidang (unsplash.com/@sasun1990)

KontraS melihat bahwa kasus ini kembali mencoreng citra TNI di mata publik. Budaya impunitas dinilai semakin kuat karena pelaku kekerasan di lingkungan militer kerap mendapatkan hukuman yang tidak setimpal.

“Tuntutan yang rendah ini kembali mencoreng citra TNI.  Ini bukti iLemahnya penegakan hukum bagi pelaku kekerasan di lingkungan TNI semakin memperkuat impunitas di dalam tubuh TNI, dan semakin menghambat reformasi TNI,” ungkap Adinda.

KontraS juga menyoroti maraknya kekerasan oleh aparat bersenjata dalam kegiatan pengamanan sipil. Padahal, secara hukum, peran TNI dalam menjaga ketertiban masyarakat bersifat perbantuan terhadap Polri, bukan fungsi utama mereka.

3. Majelis hakim harus berani mengambil putusan berkeadilan terhadap korban

Ilustrasi TNI. Kejaksaan Akan Dijaga Prajurit TNI

KontraS mendesak Majelis Hakim Pengadilan Militer I-02 Medan untuk tidak terpengaruh oleh tuntutan ringan dari oditur militer dan berani memberikan vonis yang lebih adil serta proporsional. Mereka juga meminta Pangdam I/Bukit Barisan tidak tinggal diam.

“KontraS juga mendesak hakim untuk lebih cermat dalam menganalisis dan memutus perkara ini. Majelis hakim harus berani mengambil jalan yang adil,” tegas Adinda.

Lebih jauh, KontraS meminta agar jika pengadilan gagal memberikan keadilan, Pangdam segera memproses pemecatan terhadap pelaku, demi menunjukkan bahwa TNI benar-benar berpihak pada rakyat.

“Jika vonis di pengadilan tidak memberikan keadilan bagi korban, kami meminta Pangdam I/Bukit Barisan mengambil sikap tegas dengan segera memproses pemecatan pelaku,” pungkasnya.

Editorial Team