KRI Sultan Iskandar Muda (SMI)-367 (kiri) yang digunakan dalam misi UNIFIL. (www.tni.mil.id)
Dalam menanggapi restrukturisasi besar TNI AL ini, Jaleswari Pramodhawardani, pengamat militer sekaligus Kepala Laboratorium Indonesia 2045 (Lab45) menekankan perlunya melihat perubahan nomenklatur dan struktur secara strategis serta menyeluruh. Menurutnya, kembalinya istilah Kodaeral yang digunakan pada masa Orde Baru, tidak serta-merta menandakan pendekatan militeristik masa lalu.
“Perubahan nama dari Lantamal menjadi Kodaeral tidak serta merta menandakan kembalinya pendekatan sentralistik atau militeristik seperti masa lalu. Nomenklatur hanyalah sebuah nama. Yang lebih penting adalah otonomi, kewenangan, dan fungsi yang diemban oleh Kodaeral tersebut,” kata Jaleswari saat dikonfirmasi.
Ia menilai, jika Kodaeral benar-benar diberikan peran yang lebih luas dan otoritas yang jelas dalam hal pembinaan, operasi, dan dukungan, serta ditingkatkan dari perwira bintang satu menjadi bintang dua, maka langkah tersebut dapat menjadi upaya adaptif dalam penguatan komando kewilayahan.
“Tujuan utamanya adalah agar Kodaeral lebih responsif dalam menghadapi ancaman dan tantangan di wilayah maritimnya. Peningkatan ini bisa diinterpretasikan sebagai langkah adaptif untuk mengoptimalkan gelar kekuatan, bukan semata kosmetik organisasi. Namun, penting untuk memastikan bahwa peningkatan wewenang ini disertai dengan akuntabilitas yang jelas dan tidak berujung pada tumpang tindih fungsi dengan Komando Armada atau satuan lain,” ungkapnya.
Namun, Jaleswari juga menggarisbawahi sejumlah risiko strategis, termasuk kemungkinan relokasi markas secara berulang dalam waktu singkat.
“Perpindahan berulang dalam waktu singkat dapat menimbulkan disrupsi operasional, penurunan efisiensi, dan membuang sumber daya. Stabilitas lokasi pangkalan militer sangat krusial untuk kesiapan operasional, logistik, dan moral prajurit," papar Jaleswari.
Ia menyebut bahwa posisi pangkalan di Tanjungpinang dan Batam sangat strategis, terutama karena kedekatannya dengan Laut Natuna Utara dan Selat Malaka—dua wilayah rawan yang menjadi perhatian utama dalam dinamika kawasan.
“Jika perpindahan markas dilakukan, perlu dipastikan bahwa lokasi baru tetap optimal untuk memproyeksikan kekuatan, melakukan pengawasan, dan merespons potensi konflik di wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan jalur pelayaran internasional dan area sengketa. Pemilihan lokasi harus berdasarkan analisis ancaman yang komprehensif, proyeksi kekuatan jangka panjang, dan efisiensi operasional,” tegasnya.
Selain itu, menurutnya, jika relokasi skala besar ini berlangsung, maka juga harus mempertimbangkan implikasi anggaran dan logistik yang sangat besar. “Relokasi besar-besaran tentu membutuhkan alokasi dana yang signifikan. Indonesia, dengan anggaran pertahanan yang masih terbatas dan prioritas modernisasi alutsista yang belum tuntas, harus sangat cermat dalam mengambil keputusan ini. Setiap rupiah yang dikeluarkan untuk relokasi berarti potensi pengurangan investasi pada modernisasi alutsista atau peningkatan kesejahteraan prajurit,” sambungnya.
Jaleswari menekankan, perencanaan yang matang sangat diperlukan, termasuk pembangunan fasilitas baru, pemindahan personel dan peralatan, serta penyesuaian rantai pasok logistik militer. “Cost-benefit analysis menjadi sangat penting. Apakah manfaat strategis dari perpindahan tersebut sebanding dengan biaya yang dikeluarkan dan potensi gangguan operasional?”
Di sisi lain, ia juga menyinggung dinamika internal militer dan pentingnya pengawasan sipil dalam perubahan struktur seperti ini. “Dalam konteks akademik, perubahan struktur organisasi dalam militer memang kadang kala dapat terkait dengan dinamika konsolidasi kekuasaan internal. Namun, tanpa akses ke informasi internal yang mendalam, sulit untuk mengkonfirmasi indikasi tersebut.”
“Perlu dipastikan bahwa setiap perubahan struktur organisasi Angkatan Laut sejalan dengan kebijakan pertahanan nasional yang lebih luas dan melibatkan koordinasi serta dukungan dari lingkaran kekuasaan sipil. Transparansi dalam pengambilan keputusan dan komunikasi yang efektif kepada publik dapat meminimalkan spekulasi terkait motivasi di balik perubahan tersebut,” tambahnya.
Jaleswari menggarisbawahi pentingnya pendekatan adaptif yang mencakup kesiapan menghadapi ancaman non-militer serta penguatan kedaulatan maritim nasional. “Jika reorganisasi ini bertujuan untuk memperkuat fungsi pembinaan, operasi, dan dukungan di tingkat kewilayahan, maka ia berpotensi meningkatkan kesiapan menghadapi bencana alam, ancaman non-militer (seperti kejahatan transnasional maritim, illegal fishing), dan penguatan kedaulatan maritim,” ujarnya.
“Dengan Kodaeral yang lebih kuat dan berwenang, Angkatan Laut dapat lebih cepat dan efektif merespons insiden di laut, mendukung operasi SAR, dan menjaga keamanan jalur pelayaran. Namun, keberhasilan ini sangat bergantung pada implementasi di lapangan dan bagaimana Kodaeral tersebut diintegrasikan dalam kerangka pertahanan maritim nasional secara keseluruhan, tidak hanya sebagai entitas yang berdiri sendiri,” tutupnya.