Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

TNI AL Kembali Hidupkan Kodaeral, Struktur Lantamal akan Diubah

Presiden Indonesia, Prabowo Subianto dalam acara gelar unsur armada TNI AL serta pemberian Brevet Kehormatan Hiu Kencana yang disematkan kepada Jokowi di atas KRI dr. Radjiman Wedyodiningrat-992, Sabtu (28/9/2024). (Dok. Tim Komunikasi Prabowo)
Presiden Indonesia, Prabowo Subianto dalam acara gelar unsur armada TNI AL serta pemberian Brevet Kehormatan Hiu Kencana yang disematkan kepada Jokowi di atas KRI dr. Radjiman Wedyodiningrat-992, Sabtu (28/9/2024). (Dok. Tim Komunikasi Prabowo)
Intinya sih...
  • TNI AL reorganisasi struktur komando wilayah dengan mengubah nomenklatur Lantamal menjadi Kodaeral
  • Kodaeral akan memiliki tiga fungsi utama, yakni pembinaan, operasi, dan dukungan, serta dipimpin oleh perwira tinggi berbintang dua
  • Validasi Kodaeral juga akan beriringan dengan peningkatan status satuan elite TNI AD, TNI AL, dan TNI AU

Batam, IDN Times - TNI AL sedang mempersiapkan langkah besar dalam bentuk reorganisasi komando wilayah. Salah satu elemen utama dalam rencana tersebut adalah penghapusan nomenklatur Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) dari I hingga XIV, dan menggantinya dengan Komando Daerah Angkatan Laut (Kodaeral), sebuah istilah yang terakhir digunakan pada era Presiden Soeharto sejak tahun 1970-an.

Langkah ini disebut-sebut sebagai bagian dari program validasi organisasi serta penyesuaian terhadap perubahan lingkungan strategis maritim Indonesia. Namun, di tengah rencana perubahan ini, publik mempertanyakan urgensi dan arah strategis di baliknya.

Pertanyaan tersebut terutama karena munculnya kabar Koarmada I yang baru dua tahun lalu dipindahkan ke Tanjung Pinang akan kembali dipindahkan ke Lampung. Sementara Lantamal IV juga dikabarkan akan kembali dipindahkan dari Batam ke Tanjung Pinang.

1. TNI AL: Validasi dan penyesuaian ancaman maritim

Kapal MCMV Indonesia, KRI Pulau Fanildo-732 saat tiba di perairan Batu Ampar, Kota Batam (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Kapal MCMV Indonesia, KRI Pulau Fanildo-732 saat tiba di perairan Batu Ampar, Kota Batam (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Menanggapi hal tersebut, upaya konfirmasi dilakukan IDN Times kepada Kepala Dinas Penerangan TNI AL (Kadispenal), Laksamana Pertama Tunggul, ia membenarkan bahwa restrukturisasi tersebut sedang dalam tahap perencanaan.

Ia menjelaskan, rencana pengembangan Lantamal menjadi Kodaeral merupakan bagian dari validasi organisasi yang lebih besar.

"Ya, Lantamal I hingga XIV akan ditingkatkan jabatannya setingkat bintang dua dan perubahan nomenklatur menjadi Komando Daerah Angkatan Laut (Kodaeral),” kata Laksamana Pertama Tunggul, Selasa (8/7/2025).

Perubahan ini, kata dia, bukan sekadar perubahan nama, tetapi penyesuaian fungsi. Kodaeral akan mengemban tiga fungsi utama, yakni pembinaan, operasi, dan dukungan, sedangkan Lantamal selama ini hanya bertugas sebagai Komando Pelaksana Dukungan (Kolakduk).

Namun, terkait isu relokasi Koarmada I ke Lampung dan perpindahan Lantamal IV dari Batam ke Tanjungpinang, Tunggul menegaskan bahwa belum ada keputusan resmi.

“Pemilihan lokasi Koarmada disesuaikan dengan pertimbangan strategis: pengembangan alpalhankam, ancaman, dan kebutuhan logistik operasi. Tapi untuk saat ini, belum ada kebijakan soal relokasi Koarmada I ke Lampung,” ujarnya.

Hal serupa juga dikatakan terkait nasib Lantamal IV. “Markas di Sengkuang saat ini masih digunakan oleh Lantamal IV Batam,” tutupnya.

2. Transformasi komando wilayah di tubuh TNI AL

KRI Kerambit-627 yang mengangkut ekspedisi rupiah berdaulat BI Kepri (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
KRI Kerambit-627 yang mengangkut ekspedisi rupiah berdaulat BI Kepri (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Sementara itu, Khairul Fahmi, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) menilai, reorganisasi ini sebagai upaya besar dalam kerangka validasi struktur komando di seluruh matra TNI, khususnya TNI AL.

“Memang benar bahwa saat ini TNI sedang mempersiapkan langkah besar dalam bentuk reorganisasi dan validasi struktur komando, baik di matra laut, darat, maupun udara. Salah satu agenda penting di tubuh TNI AL adalah pengembangan sejumlah Lantamal menjadi Komando Daerah TNI AL (Kodaeral),” kata Khairul Fahmi.

Menurut Fahmi, perubahan ini tidak semata-mata soal nama, tetapi menyangkut pembentukan struktur komando baru yang lebih kuat dan mandiri di tingkat kewilayahan.

“Perubahan ini bukan sekadar pergantian nama, tapi bagian dari upaya pembentukan struktur komando baru di level kewilayahan yang lebih kuat dan mandiri. Kodaeral dirancang untuk dipimpin oleh perwira tinggi berbintang dua (Laksamana Muda) dan akan membawahi sejumlah Lanal di wilayahnya,” ungkapnya.

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa hanya Lantamal yang memenuhi kesiapan infrastruktur, logistik, serta relevansi strategis yang akan diprioritaskan untuk transformasi tersebut.

Fahmi juga menyoroti konsekuensi yang perlu diperhitungkan dari perubahan ini. Menurutnya, perubahan ini akan membawa konsekuensi juga pada penataan ulang lokasi markas, struktur organisasi, kebutuhan personel hingga penyesuaian tugas komando utama TNI AL.

“Informasi mengenai kemungkinan relokasi kembali Koarmada I ke Lampung atau reposisi Lantamal IV dari Batam ke Tanjungpinang bisa jadi bagian dari evaluasi ini.” paparnya.

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa reorganisasi ini harus dipahami dalam konteks kesiapan TNI AL menjawab tantangan strategis maritim, seperti keamanan di Laut Natuna dan Laut China Selatan.

“Semua itu harus dipahami dalam kerangka penyesuaian postur pertahanan maritim nasional terhadap dinamika ancaman dan perubahan strategis. Peningkatan status ini juga mencerminkan upaya TNI AL menyesuaikan diri dengan kebutuhan pertahanan maritim yang semakin kompleks,” lanjutnya.

Tidak berhenti disitu, Fahmi menyebutkan bahwa validasi Kodaeral juga akan beriringan dengan peningkatan status satuan elite TNI, seperti validasi organisasi di tiga satuan elite TNI, yaitu Kopassus (TNI AD), Korps Marinir (TNI AL), Kopasgat (TNI AU). Ketiganya akan dinaikkan statusnya dan dipimpin oleh panglima berpangkat bintang tiga (Letjen/Marsekal Madya).

“Ini adalah langkah strategis untuk memperkuat kendali operasional, respons taktis, dan kesiapsiagaan TNI dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman, baik asimetris maupun konvensional,” paparnya.

Fahmi turut menekankan pentingnya menempatkan langkah ini dalam kerangka besar reformasi militer nasional. “Secara keseluruhan, reorganisasi ini merupakan bagian dari modernisasi sistem pertahanan Indonesia yang menekankan desentralisasi kekuatan secara terukur, peningkatan efektivitas komando dan kontrol, serta penyesuaian dengan perkembangan lingkungan strategis global dan regional," tutupnya.

3. Perubahan harus diiringi akuntabilitas dan efisiensi

KRI Sultan Iskandar Muda (SMI)-367 (kiri) yang digunakan dalam misi UNIFIL. (www.tni.mil.id)
KRI Sultan Iskandar Muda (SMI)-367 (kiri) yang digunakan dalam misi UNIFIL. (www.tni.mil.id)

Dalam menanggapi restrukturisasi besar TNI AL ini, Jaleswari Pramodhawardani, pengamat militer sekaligus Kepala Laboratorium Indonesia 2045 (Lab45) menekankan perlunya melihat perubahan nomenklatur dan struktur secara strategis serta menyeluruh. Menurutnya, kembalinya istilah Kodaeral yang digunakan pada masa Orde Baru, tidak serta-merta menandakan pendekatan militeristik masa lalu.

“Perubahan nama dari Lantamal menjadi Kodaeral tidak serta merta menandakan kembalinya pendekatan sentralistik atau militeristik seperti masa lalu. Nomenklatur hanyalah sebuah nama. Yang lebih penting adalah otonomi, kewenangan, dan fungsi yang diemban oleh Kodaeral tersebut,” kata Jaleswari saat dikonfirmasi.

Ia menilai, jika Kodaeral benar-benar diberikan peran yang lebih luas dan otoritas yang jelas dalam hal pembinaan, operasi, dan dukungan, serta ditingkatkan dari perwira bintang satu menjadi bintang dua, maka langkah tersebut dapat menjadi upaya adaptif dalam penguatan komando kewilayahan.

“Tujuan utamanya adalah agar Kodaeral lebih responsif dalam menghadapi ancaman dan tantangan di wilayah maritimnya. Peningkatan ini bisa diinterpretasikan sebagai langkah adaptif untuk mengoptimalkan gelar kekuatan, bukan semata kosmetik organisasi. Namun, penting untuk memastikan bahwa peningkatan wewenang ini disertai dengan akuntabilitas yang jelas dan tidak berujung pada tumpang tindih fungsi dengan Komando Armada atau satuan lain,” ungkapnya.

Namun, Jaleswari juga menggarisbawahi sejumlah risiko strategis, termasuk kemungkinan relokasi markas secara berulang dalam waktu singkat.

“Perpindahan berulang dalam waktu singkat dapat menimbulkan disrupsi operasional, penurunan efisiensi, dan membuang sumber daya. Stabilitas lokasi pangkalan militer sangat krusial untuk kesiapan operasional, logistik, dan moral prajurit," papar Jaleswari.

Ia menyebut bahwa posisi pangkalan di Tanjungpinang dan Batam sangat strategis, terutama karena kedekatannya dengan Laut Natuna Utara dan Selat Malaka—dua wilayah rawan yang menjadi perhatian utama dalam dinamika kawasan.

“Jika perpindahan markas dilakukan, perlu dipastikan bahwa lokasi baru tetap optimal untuk memproyeksikan kekuatan, melakukan pengawasan, dan merespons potensi konflik di wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan jalur pelayaran internasional dan area sengketa. Pemilihan lokasi harus berdasarkan analisis ancaman yang komprehensif, proyeksi kekuatan jangka panjang, dan efisiensi operasional,” tegasnya.

Selain itu, menurutnya, jika relokasi skala besar ini berlangsung, maka juga harus mempertimbangkan implikasi anggaran dan logistik yang sangat besar. “Relokasi besar-besaran tentu membutuhkan alokasi dana yang signifikan. Indonesia, dengan anggaran pertahanan yang masih terbatas dan prioritas modernisasi alutsista yang belum tuntas, harus sangat cermat dalam mengambil keputusan ini. Setiap rupiah yang dikeluarkan untuk relokasi berarti potensi pengurangan investasi pada modernisasi alutsista atau peningkatan kesejahteraan prajurit,” sambungnya.

Jaleswari menekankan, perencanaan yang matang sangat diperlukan, termasuk pembangunan fasilitas baru, pemindahan personel dan peralatan, serta penyesuaian rantai pasok logistik militer. “Cost-benefit analysis menjadi sangat penting. Apakah manfaat strategis dari perpindahan tersebut sebanding dengan biaya yang dikeluarkan dan potensi gangguan operasional?”

Di sisi lain, ia juga menyinggung dinamika internal militer dan pentingnya pengawasan sipil dalam perubahan struktur seperti ini. “Dalam konteks akademik, perubahan struktur organisasi dalam militer memang kadang kala dapat terkait dengan dinamika konsolidasi kekuasaan internal. Namun, tanpa akses ke informasi internal yang mendalam, sulit untuk mengkonfirmasi indikasi tersebut.”

“Perlu dipastikan bahwa setiap perubahan struktur organisasi Angkatan Laut sejalan dengan kebijakan pertahanan nasional yang lebih luas dan melibatkan koordinasi serta dukungan dari lingkaran kekuasaan sipil. Transparansi dalam pengambilan keputusan dan komunikasi yang efektif kepada publik dapat meminimalkan spekulasi terkait motivasi di balik perubahan tersebut,” tambahnya.

Jaleswari menggarisbawahi pentingnya pendekatan adaptif yang mencakup kesiapan menghadapi ancaman non-militer serta penguatan kedaulatan maritim nasional. “Jika reorganisasi ini bertujuan untuk memperkuat fungsi pembinaan, operasi, dan dukungan di tingkat kewilayahan, maka ia berpotensi meningkatkan kesiapan menghadapi bencana alam, ancaman non-militer (seperti kejahatan transnasional maritim, illegal fishing), dan penguatan kedaulatan maritim,” ujarnya.

“Dengan Kodaeral yang lebih kuat dan berwenang, Angkatan Laut dapat lebih cepat dan efektif merespons insiden di laut, mendukung operasi SAR, dan menjaga keamanan jalur pelayaran. Namun, keberhasilan ini sangat bergantung pada implementasi di lapangan dan bagaimana Kodaeral tersebut diintegrasikan dalam kerangka pertahanan maritim nasional secara keseluruhan, tidak hanya sebagai entitas yang berdiri sendiri,” tutupnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us