Ilustrasi penghentian proses penyelidikan oleh polisi dalam kasus kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. (Project M/Muhammad Nauval Firdaus - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0)
Syahrul pun menceritakan satu persatu kasus yang pernah dialami kliennya. Dimulai dari kasus pemerkosaan dua anak di Kota Banda Aceh yang dilakukan oleh kerabat dari teman ibu korban. Kasus itu sempat dilaporkan oleh ibu korban ke Unit PPA Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dit Reskrimum) Polda Aceh, pada 3 Januari 2019.
Hampir dua tahun menunggu, surat laporan yang pernah diajukan klien LBH Banda Aceh akhirnya diberikan balasan oleh kepolisian tingkat provinsi tersebut terkait perkembangan kasus. Sayangnya, surat tertanggal 17 Oktober 2020 tersebut dikatakan Syahrul, tidak seperti apa yang diharapkan oleh perempuan sekaligus kepala keluarga itu.
Surat bernomor B/403/X/Res.1.24.2020/Subdit IV-Resum yang ditandatangani atas nama Direktur Reserse Kriminal Umum (Dir Reskrimum) Polda Aceh, Konbes Pol Sony Sonjaya itu berisi penghentian kasus. Dalihnya, tidak cukupnya bukti untuk menetapkan pelaku sebagai tersangka.
Pihak kepolisian malah dikatakan direktur LBH Banda Aceh itu, meminta pihak keluarga korban untuk menghadirkan saksi yang melihat langsung dua anak itu diperkosa jika benar ada tindakan pemerkosaan. Padahal, bukti visum serta trauma yang dialami korban, sudah cukup menjadi alat bukti.
"Berdasarkan hasil visum ada luka di alat vital korban dan ada trauma. Artinya tindak pidana itu ada," kata Syahrul selaku kuasa hukum," ujar Syahrul.
Mendapat kabar bahwa pelaku yang melakukan kasus kekerasan seksual terhadap anaknya tidak bisa dijerat hukum, membuat ibu korban frustasi. Bagaimana tidak. Masa depan buah hatinya yang saat kejadian berusia empat tahun serta enam tahun, hilang dan hanya meninggalkan trauma. Sedangkan pelaku masih bebas berkeliaran tanpa diyura. Mirisnya lagi, perempuan yang harus mandiri menghidupi anak-anaknya pascameninggal sang suami itu, malah bahkan dianggap gila.
"Orang tuanya diklaim gila atau stres. Orang tua mana yang tidak gila karena dua anaknya mengalami pemerkosaan."
"Padahal hasil pemeriksaan psikolog bahwa keterangan si anak itu benar adanya kejadian dan pelakunya adalah yang dilaporkan," tegas Syahrul dalam ceritanya.
Persoalan kedua yang di-SP3kan juga terjadi di Banda Aceh. Kali ini, anak tindakan kekerasan seksual kembali menjadi korban dengan pelaku yang pernah memperkosanya. Padahal kala itu pelaku berstatus tahanan dan masih harus menjalani sisa hukuman cambuk dari tindakan yang diperbuatnya.
Kasus pelaku membawa kabur korban dan melakukan persetubuhan ini kemudian dilaporkan ke Polresta Banda Aceh, pada 23 Maret 2020. Laporan sempat diterima, belakangan dikarenakan status hukum yang belum habis dijalani pelaku, berujung pembebasan perkara atau laporan kedua tidak ditindaklanjuti lagi.
Itu tertera dalam Surat Keputusan Nomor: S.TAP/315/XII/RES.I.25/2020 tentang Penghentian Penyidikan. Surat ditandatangani Kepala Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polresta Banda Aceh, AKP Muhammad Ryan Citra Yudha, pada 23 Desember 2020.
"Padahal dalam kasus ini waktunya berbeda dan polanya juga berbeda, meskipun korbannya sama. Itu ditolak," ucap Syahrul.
Sebagai tambahan, eksekusi hukuman cambuk terhadap terpidana RN (28), pemerkosa anak di Banda Aceh terhenti pada sabetan ke-52. Ia yang divonis 175 kali cambuk menyerah karena punggungnya mengalami luka lecet berat. Eksekusi dihentikan dan akan dilanjutkan sampai waktu yang belum ditentukan.
Adanya waktu senggang untuk tahap pemulihan yang diberikan dan bisa kembali kekediaman dikatakan Syahrul, ternyata dimanfaatkan oleh pelaku sekaligus terpidana itu. pelaku dinilai kembali melakukan tindak pidana penculikan diserta pemerkosaan terhadap anak dengan korban yang sama.
Sementara itu, kasus kekerasan seksual terhadap anak ketiga berakhir dengan SP3 terjadi di Kabupaten Pidie Jaya. Dalih yang sama dikatakan direktur LBH Banda Aceh, juga disampaikan oleh pihak kepolisian seperti kasus pertama sebelumnya, yakni dengan alasan tidak cukup bukti berupa saksi.
"Kasus ini diberhentikan 17 Oktober 2020, dengan alasan tidak cukup bukti. Tidak ada saksi yang melihat terjadinya pemerkosaan itu," ungkap Syahrul.