Tersangka kasus perdagangan sisik tenggiling MHY dibawa petugas usai konferensi pers di Kota Medan, Selasa (26/11/2024). MHY bersama dua prajurit TNI dan satu polisi diduga kompak melakoni perdagangan 1,2 ton sisik tenggiling di Kabupaten Asahan, Sumatra Utara. (Saddam Husein for IDN Times)
Fakta persidangan terkait dugaan Amir yang juga terlibat dalam perdagangan satwa lainnya, memantik komentar pegiat konservasi. Indra dari Aliansi Bela Satwa mengatakan, seorang pelaku perdagangan, biasanya tidak hanya memerdagangkan satu jenis satwa. Apa lagi, jika melihat Amir yang memiliki peran sebagai penghubung atau middleman.
“Dalam pengalaman kami memantau kasus perdagangan satwa, satu pelaku perdagangan biasanya tidak hanya menjual satu jenis saja. Dia akan mencarikan permintaan pembeli. Karena mereka ini biasanya berjejaring. Mulai dari tingkat pemburu, sampai pembelinya,” katanya.
Oleh karena itu, Indra mendorong aparat penegak hukum, atau Jaksa dalam kasus ini, mengusut dugaan keterlibatan pihak lainnya.
“Fakta persidangan menyebut bahwa terdakwa memiliki kolega yang punya kulit harimau. Ini perlu diusut juga. Sehingga terungkap jaringan luas perdagangan satwa,” kata Indra.
Aliansi Bela Satwa mendorong proses hukum yang berkeadilan. Baik keadilan ekologi, dan bagi para pelaku.
“Kami mendorong hukuman yang berperspektif kepada keadilan ekologi. Karena perbuatan mereka sudah membuat kerugian yang begitu besar,” pungkasnya.
Sebelumnya, kasus ini terungkap dalam operasi gabungan Polisi Militer TNI AD, Polda Sumut dan Bala Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan wilayah Sumatra pada 11 November 2024 lalu. Dalam operasi ini, petugas menyita total 1,18 ton sisik tenggiling. Amir ditangkap petugas bersama dua prajurit TNI Rahmadani Syahputra dan Muhammad Yusuf Siregar serta seorang Anggota Polri Bripka Alfi Hariadi Siregar.
Yusuf dan Rahmadani sudah menjalani proses persidangan di Mahkamah Peradilan Militer di Kota Medan. Sementara Bripka Alfi, disebut-sebut belum diproses hukum.
Dalam kasus ini, keempatnya diduga menyebabkan kerugian lingkungan begitu besar. Direktorat Jenderal Gakkum LHK Rasio Ridho Sani mengungkapkan valuasi ekonomi yang dilakukan Kementerian LHK bersama dengan ahli dari IPB University, bahwa 1 ekor trenggiling mempunyai nilai ekonomis berkaitan dengan lingkungan hidup sebesar Rp. 50,6 juta. Untuk mendapatkan 1 kg sisik trenggiling, 4-5 ekor trenggiling dibunuh. Dengan dibunuhnya 5.900 ekor trenggiling, maka kerugian lingkungan mencapai Rp. 298,5 miliar.