Julhadi Siregar, Ketua Gapoktan Sawit Maju Bersama Kecamatan Muara Batangtoru, Tapanuli Selatan (IDN Times/Arifin Al Alamudi)
Saat ini Indonesia merupakan produsen sekaligus konsumen CPO (Crude Palm Oil) terbesar di dunia dengan jumlah produksi puncak hingga 34 juta ton pada tahun 2016. Sebanyak 70 persen dari hasil produksi tersebut dikonsumsi oleh pasar domestik. Permintaan yang tinggi telah mendorong ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Namun, sangat disayangkan bahwa terdapat ekspansi perkebunan kelapa sawit yang dilakukan di kawasan hutan yang bernilai ekologi tinggi, seperti lahan gambut, habitat kunci satwa liar, daerah tangkapan air, atau kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi.
Hal ini mengakibatkan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) tanah air tak diminati Eropa karena kampanye negatif tersebut.
Uni Eropa mensyaratkan tanaman yang digunakan untuk biodiesel harus berkelanjutan dan perkebunan kelapa sawit dinilai tidak bisa memenuhi ketentuan tersebut. Perkebunan kelapa sawit kerap dituding sebagai pemicu kebakaran hutan, deforestasi, dan mengancam kehidupan orangutan.
Sebagai upaya untuk menerapkan sawit berkelanjutan, Pemerintah Tapanuli Selatan dan CI Indonesia melalui program Good Growth Partnership (GGP)-UNDP, mendampingi dan memberikan Sekolah Lapang pada petani sawit di empat kecamatan.
“Sekarang sudah 706 petani. Targetnya sampai akhir tahun ini ada 1.000 petani yang kita dampingi dan ditargetkan memperoleh sertifikasi sawit yang berkelanjutan (RSPO),” kata Isner Manalu, Volcafe Project Manager Conservation International (CI) Indonesia.
Julhadi adalah salah seorang petani yang paling merasakan dampak dari pendampingan dan sekolah lapang ini.
Ia mengaku sudah menggantungkan hidup dari pohon sawit sejak belasan tahun lalu.
Warga Muara Manompas, Kecamatan Muara Batang Toru ini dulu menggunakan bibit sawit sembarangan. Menyemprot pupuk dan hama tidak sesuai aturan. Sehingga tak jarang saat panen, hanya muncul buah landak.
“Kejanggalan kami dulu banyak, seperti perawatan pakai pompa paten. Memang tanaman dan hama mati semua, tetapi ternyata merusak akar sawit dan tidak baik untuk lingkungan. Setelah datang CI, barulah kita tahu bagaimana bertani sawit yang juga memelihara lingkungan hidup. Dari mulai memilih bibit, aturan jumlah pelepah, cara memupuk, pengendalian gulma dan lain sebagainya. Sekarang buah sawit kami sudah mulai bagus dan sudah berisi, hasil panen meningkat 30 persen” ungkapnya.
Pengetahuan seperti ini, menurutnya akan membuat warga berhenti merambah hutan yang kebetulan berbatasan dengan Desa Muara Manompas. Petani diajarkan memaksimalkan lahan yang ada dan tidak lagi merusak hutan untuk membuka lahan baru.
“Kalau dulu panennya sedikit pasti warga berniat buka lahan baru lagi agar lebih luas. Sekarang masyarakat sudah sadar bahwa hutan harus dijaga dan dengan bertani sawit yang benar, maka hasil panen akan maksimal,” jelas Ketua Gapoktan Sawit Maju Bersama Kecamatan Muara Batangtoru ini.
Selain soal bertani sawit yang baik, para petani juga diajarkan tentang berorganisasi dan mengelola keuangan sendiri. Kini para petani diajak ikut dalam gabungan kelompok tani (Gapoktan) lalu mengikuti arisan.
“Fungsi arisan ini untuk membeli alat-alat produksi atau pupuk. Jadi siapa yang dapat arisan bulan ini misalnya, akan didampingi oleh CI Indonesia untuk membeli pupuk dan lain sebagainya. Jadi antarpetani saling bantu dan semua mendapatkan jumlah arisan yang sama, uangnya juga tidak boleh digunakan untuk kebutuhan lain,” ungkapnya.