Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
DSC08409.jpg
Suku Laut melintas di pesisir Bintan Timur, Kepulauan Riau, dengan latar belakang kawasan industri yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Galang Batang, Bintan, Kepulauan Riau (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

“Kamu terlambat lima menit…” sapa Minah sambil berusaha menapaki dataran lumpur yang terbentang luas—akibat air laut yang surut panjang. Perempuan 37 tahun itu berasal dari salah satu kelompok Suku Laut di pesisir Bintan Timur, Kepulauan Riau.

Lautan yang dulu jernih kini berubah menjadi hamparan lumpur pekat, hasil sedimentasi dari reklamasi laut yang dilakukan PT Bintan Alumina Indonesia (BAI). Tangan kiri Minah masih berlumur lumpur, matanya menatap jauh ke perbatasan antara lautan surut dan gugusan pulau kecil “…kami baru saja melepaskan penyu yang terjebak di kubangan lumpur pantai,” lanjutnya. Penyu itu adalah penyu sisik (Eretmochelys imbricata), reptil purba yang kini berstatus sangat terancam punah.

Penyu malang itu nyaris tak mampu bergerak. Lumpur yang menjebaknya bukanlah ciptaan pasang surut alami, melainkan endapan dari reklamasi dan pengerukan pantai. Hanya berjarak sekitar 1,3 kilometer dari tempat Minah berdiri, ribuan meter persegi laut telah berubah menjadi daratan baru—berlapis beton untuk pabrik, pelabuhan, pembangkit listrik, dan kawasan industri. Sejak lebih dari satu dekade, pesisir Bintan Timur telah dijadikan halaman depan industrialisasi alumina berskala raksasa.

Pada 2012 lalu, masyarakat pesisir dan Suku Laut terperanjat ketika lahan di Kampung Galang Batang, Desa Gunung Kijang, Bintan Kepulauan Riau, mulai dibuka, dan berlangsung tanpa tanpa adanya komunikasi terhadap Suku Laut maupun masyarakat pesisir sekitar. Buldozer dan alat berat bekerja tanpa henti—menandai awal pembangunan kawasan industri pengolahan bauksit menjadi alumina.

Proyek itu digarap oleh PT Bintan Alumina Indonesia (BAI)—perusahaan patungan antara China Nanshan Aluminum Singapore Co., Ltd, Indonesia MKU Mining Co., Ltd, dan Malaysia Qili Aluminum. Nanshan Aluminium Singapore adalah anak perusahaan Shandong Nanshan Aluminium Co., Ltd, produsen aluminium raksasa asal Tiongkok yang menguasai rantai dari manufaktur hingga distribusi.

Lima tahun kemudian, 2017, pemerintah memberikan dorongan besar. Keputusan Presiden Nomor 42 menetapkan Galang Batang sebagai Kawasan Ekonomi Khusus atau KEK ke-12 di Indonesia. Sejak itu, reklamasi di bibir pantai berjalan masif. Citra satelit mencatat, 3,91 kilometer garis pantai telah ditimbun—menghasilkan daratan baru seluas 1.460.000 meter persegi atau setara 146 hektar.

PT BAI membawa konsep “pelabuhan-listrik-alumina” dalam satu kawasan. Pabrik tahap pertama beroperasi penuh Oktober 2022 dengan kapasitas 2 juta ton alumina per tahun. Tak menunggu lama, lini kedua mulai dibangun dengan kapasitas serupa. Total investasi disebut mencapai Rp30 triliun, termasuk PLTU 160 MW dan pelabuhan dengan kapasitas muat 20 juta ton per tahun.

Kini, proyek telah memasuki fase hot commissioning—tahap uji coba produksi unit penggilingan dan pencairan bauksit. Perusahaan menargetkan pada 2027 dapat memproduksi aluminium ingot 1 juta ton per tahun dan carbon anode 520.000 ton per tahun. Mereka juga membangun gas plant yang mampu menghasilkan 1,9 miliar meter kubik gas per tahun, serta reservoir air raksasa untuk menopang kebutuhan industri.

Dorongan pemerintah belum berhenti. Berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 6 Tahun 2024, PT BAI melalui perusahaan barunya, PT Galang Batang Ekonomi Khusus (GBKEK) mendapat status Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk ekspansi ke Kampung Masiran dan Pulau Poto. Status ini diperkuat oleh Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2025-2029.

Pada Mei 2025, PT BAI bergabung dengan Aluminium Stewardship Initiative (ASI), lembaga internasional yang mengklaim mengawasi praktik industri aluminium berkelanjutan. Mereka menegaskan penggunaan teknologi efisien, rendah emisi, dan berkomitmen pada prinsip lingkungan global. Namun, di pesisir Bintan Timur, klaim itu tenggelam bersama lumpur yang menjerat seekor penyu di hadapan perempuan Suku Laut.

Ruang Hidup Suku Laut dan Biota Laut yang Mulai Rusak

Pria Suku Laut di Bintan Timur sedang mendayung sampan kecilnya dengan latar belakang industri (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Di pesisir dan pulau-pulau kecil Bintan Timur, penyu-penyu kehilangan jalur migrasi. Lumpur menutup perairan dangkal, hutan mangrove menyusut, dan Suku Laut yang dulunya hidup dari ombak kini berdampingan dengan deru mesin pabrik—suara gelombang tergantikan dentum industri.

Pagi itu, 27 Juli 2025, laut sedang surut di kawasan pesisir Kampung Galang Batang. Warga pesisir Bintan Timur sibuk mencari kerang, kepiting, gurita, dan ikan. Beberapa lelaki datang dengan tombak dan parang, sementara perempuan membawa “sungkil”—trisula kecil yang mereka gunakan untuk mengais di antara batu karang.

Suku Laut adalah satu dari beberapa kelompok adat maritim yang telah menetap lama di pesisir Bintan Timur. Jauh sebelum 1970, mereka selalu berlabuh di kawasan ini, setelah perjalanan panjang dari Pulau Air Kelat, Pulau Pongok, Pulau Mensemut dan berbagai kawasan lainnya di Kabupaten Lingga.

Minah, generasi ketiga Suku Laut di Bintan Timur selalu memulai harinya dengan menghabiskan waktu pagi dengan cara berburu ikan, gurita dan kepiting di karang pantai. Ia juga selalu memeriksa jerat kepiting di hutan mangrove—namun, beberapa tahun terakhir, hasilnya semakin menipis.

“Kepiting bangkang sudah susah dapat di hutan bakau, mereka kabur ke karang laut semua gara-gara suara berisik industri,” kata Minah. “Pun saya dapat kepiting bangkang di karang saat laut surut, dagingnya sudah tidak enak, dan sangat sedikit, hanya bisa dikonsumsi, tapi tidak laku dijual.”

Baginya, investasi bukanlah hal buruk. Yang ia pertanyakan adalah apakah manfaatnya bisa dirasakan semua orang. Di Bintan Timur, kehadiran PT BAI ia nilai justru merugikan masyarakat pesisir. Perekrutan tenaga kerja lokal memang dijanjikan, namun dampak terhadap laut dan kehidupan Suku Laut terasa nyata.

“Buktinya kegiatan mereka menimbun laut buat lautan pesisir di sekitar jadi berlumpur. Ditambah lagi suara industri yang sangat keras buat kepiting-kepiting bangkang tidak nyaman lagi di hutan bakau, mereka lari ke laut dan kami yang susah jadinya,” ujarnya.

Saat berkarang di laut surut, Minah juga kerap menemukan penyu yang terjebak di kubangan lumpur—termasuk pagi ini. "Saya taunya itu penyu, tapi banyak yang bilang kalau itu Penyu Sisik, dan setiap saya menemukan penyu, pasti mereka sedang berusaha keluar dari kubangan lumpur,” tegasnya.

Usai menemui Minah, saya meninggalkan surut pantai berlumpur itu. Perahu bergerak perlahan, menyusuri jalur yang mungkin pernah dilintasi induk penyu ketika mencari pantai sepi di antara pulau-pulau kecil. Namun, dari kejauhan, pemandangannya mulai berubah—di sela pulau-pulau kecil, bangunan industri menjulang tinggi, menutupi siluet pepohonan kelapa.

Kapal-kapal logistik berperut baja hilir mudik, mengangkut bauksit dari Kalimantan dan batu bara untuk menghidupi perut PLTU. Lalu lintas raksasa ini telah mengubah wajah laut, dan mengancam jalur pulang para penyu yang selama ratusan tahun setia kembali ke Bintan Timur.

Menurut peta migrasi World Wide Fund for Nature (WWF)-Indonesia, pesisir Bintan Timur adalah salah satu jalur strategis penyu dari Thailand dan Malaysia untuk singgah dan bertelur. Banyak pulau kecil di kawasan ini yang masih relatif bebas dari industri. Penyu Hijau atau Chelonia mydas kini berstatus terancam punah, sementara Penyu Sisik berstatus sangat terancam punah.

Amandine Vuylsteke, Marine Conservation Officer & Marine Biologist di Pulau Nikoi dan Pulau Cempedak menjelaskan, pesisir Bintan Timur, termasuk Nikoi dan Cempedak, masih menjadi salah satu kawasan peneluran penyu paling penting dan relatif terjaga di Indonesia bagian barat. Pantai-pantainya yang belum berkembang, dengan kondisi alami gelap pada malam hari, menciptakan suasana tenang dan aman yang dibutuhkan penyu untuk bertelur.

“Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan terutama Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) rutin bertelur di kawasan ini. Mereka memilih pantai dengan pasir lembut, vegetasi alami, dan minim gangguan cahaya. Bahkan di Nikoi, ada laporan penyu yang tetap bertelur di sekitar area wisata seperti Sunset Bar—menunjukkan betapa kuatnya insting alami mereka meski menghadapi tekanan manusia,” kata Amandine, 10 Agustus 2025.

Namun, ia memperingatkan bahwa ancaman terhadap habitat penyu semakin nyata. Sejumlah bagian pesisir Bintan Timur sudah mengalami pembangunan pesisir, reklamasi, erosi pasir, polusi cahaya, serta lalu lintas kapal industri dan logistik yang padat. “Gangguan-gangguan itu tidak hanya membuat proses peneluran semakin sulit, tetapi juga dapat membingungkan tukik ketika mencari jalan menuju laut. Habitat yang rusak berarti populasi penyu akan runtuh pelan-pelan,” katanya.

Amandine menekankan bahwa aktivitas manusia selalu menjadi faktor penentu. Penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan, lalu lintas kapal, serta pembangunan industri adalah risiko jangka panjang. Sebaliknya, pariwisata berbasis konservasi yang dikelola dengan baik terbukti mampu menjadi sekutu bagi perlindungan habitat penyu.

Ia juga menyoroti bahwa hingga kini belum ada program khusus penandaan atau pelacakan migrasi penyu di Bintan Timur. Pengetahuan yang tersedia masih terbatas pada pemantauan sarang dan pencatatan penemuan. “Padahal, penelitian regional menunjukkan penyu sisik di sini kemungkinan bermigrasi hingga Malaysia, sementara penyu hijau bisa menempuh perjalanan jauh ke Laut Cina Selatan dan Laut Sulu. Untuk memahami siklus hidup penuh mereka, kita perlu dukungan riset jangka panjang, termasuk penggunaan teknologi identifikasi foto wajah penyu yang kini sudah sukses dipakai di berbagai belahan dunia,” jelasnya.

Menurut Amandine, sejumlah program konservasi di Nikoi dan Cempedak sudah berjalan intensif. Setiap hari ada patroli pantai, perlindungan sarang dengan pagar, pemantauan suhu dan kelembaban pasir, serta pelepasan ribuan tukik ke laut setiap tahun dengan tingkat keberhasilan penetasan yang tinggi. Edukasi bagi wisatawan, sekolah, dan masyarakat lokal juga dilakukan untuk memperluas pemahaman akan pentingnya penyu.

Namun, tantangan besar masih menanti. “Sampah laut, polusi, lalu lintas kapal, pembangunan industri di sekitar Kawasan Konservasi Laut Bintan, hingga lemahnya penegakan hukum dapat merusak semua usaha yang sudah dilakukan. Tanpa pendanaan jangka panjang, riset migrasi, regulasi kuat untuk membatasi polusi cahaya, serta keterlibatan penuh masyarakat pesisir, semua capaian bisa hilang begitu saja,” tegasnya.

Menurutnya, penyu bukan sekadar satwa laut yang melintas di perairan Bintan Timur, melainkan bagian penting dari siklus ekologi. “Penyu membutuhkan puluhan tahun untuk kembali bertelur di pantai kelahirannya. Jika habitat mereka rusak sekarang, kita bukan hanya kehilangan penyu, tetapi juga keseimbangan laut yang selama ini menopang kehidupan masyarakat pesisir,” ujarnya memberi peringatan.

Ancaman industri tak hanya menghantui penyu dan Suku Laut, gugusan terumbu karang di sekitar Pulau Poto—tempat biota laut hidup kini juga terancam. Pulau seluas 5.505.357 meter persegi tersebut ditargetkan akan dibangun industri otomotif, industri peleburan baja, industri kilang minyak dan petrokimia, industri mesin, industri elektronik, galangan perbaikan kapal, pelabuhan logistic bersekala besar, hingga area reklamasi pelabuhan.

Seorang penyelam profesional menelusuri hamparan terumbu karang di perairan Bintan Timur, Kepulauan Riau (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Untuk menilai kesehatan ekosistem laut, satu tim penyelam yang dipimpin oleh Rio pada, 27 Juli 2025 mulai melakukan pemantauan di sekitar laut Pulau Poto—yang terletak 2,5 kilometer dari bibir pantai terdekat PT BAI. Mereka menggunakan metode sensus visual dari ASEAN-Australia Project (Dartnall & Jones, 1986). Penilaian dilakukan pada transek sepanjang 70 meter, dengan kedalaman rata-rata 6–9 meter.

"Kami mencatat kehadiran ikan-ikan indikator, seperti Chaetodon Octofasciatus dan Chelmon Rostratus, dua spesies kupu-kupu karang yang sensitif terhadap degradasi lingkungan," kata Rio. "Yang lebih penting, kami juga melihat penyu sisik—spesies sangat terancam punah menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature)."

Temuan penyu sisik bukan sekadar penanda keanekaragaman hayati, tapi bukti kuat bahwa kawasan ini adalah habitat penting bagi spesies langka, bukan zona kosong yang bisa dikembangkan seenaknya.

Ekosistem yang kompleks juga tercermin dari banyaknya ikan seperti Caesio cuning (ekor kuning) yang hidup berdampingan dengan ikan-ikan dari keluarga Apogonidae, Pomacentridae, hingga Labridae. Semua ini menandakan bahwa sistem ekologis di bawah permukaan laut Pulau Poto masih berfungsi secara sehat dan stabil.

Namun, penyelam juga menemukan gejala awal krisis: sedimentasi dari aktivitas industri, bekas galian jalur kapal, dan dampak dari operasi tambang milik PT BAI. Karang-karang yang dulunya berwarna kini mulai memucat, tertutup debu lumpur industri.

Rudiansyah, penyelam dari Black Coral Dive Center yang berlisensi penilai terumbu karang bersertifikat BNSP, membawa pendekatan yang lebih teknis. Ia menggunakan metode Underwater Photo Transect (UPT), dilengkapi perangkat lunak Coral Point Count with Excel extensions (CPCe).

Dengan alat ini, ia memotret transek karang dan menganalisis tutupan hidup—suatu pendekatan ilmiah yang menghasilkan data kuantitatif mengenai kesehatan terumbu.

"Hasilnya mengejutkan sekaligus menyedihkan," ungkap Rudi sambil menunjukkan grafik dari laptopnya. "Tutupan karang hidup di kisaran 46,25 persen hingga 66,3 persen. Menurut KEPMEN LH No 4 Tahun 2001, itu masuk kategori sedang hingga baik."

Jenis-jenis karang yang dominan adalah Coral Massive (CM), Submassive Coral (CS), dan Acropora Branching. Ini menandakan bahwa kawasan ini pernah dan masih memiliki lingkungan optimal, untuk pertumbuhan karang keras. Namun, kondisi ini kini terancam oleh padatnya sedimen, terutama di perairan dekat jalur dermaga yang sudah dikeruk untuk aktivitas industri di PT BAI.

"Kalau dibiarkan, karang-karang ini akan mati dalam kurun waktu tiga tahun, kamu akan kembali dan menemukan hanya pecahan-pecahan batu putih di dasar laut," ungkapnya.

Sementara Rudi menghitung dari foto, Mustakim menyelam lebih dalam. Ia adalah spesialis makro biota laut di Pulau Bintan—penyelam yang mahir mencari dan mengenali makhluk-makhluk kecil di dunia bawah laut yang sering diabaikan.

Di kedalaman 22,3 meter, Mustakim menemukan surga kecil yang lain: anemon laut, ikan Nemo (Amphiprioninae), kepiting laba-laba (Spider Crab), Nudibranch berwarna-warni, Cowries, Transparent Shrimp, dan bahkan Giant Clam—kerang raksasa yang termasuk spesies dilindungi.

"Kalau laut ini rusak, kamu tak hanya kehilangan karang. Kamu kehilangan dunia kecil yang menopang seluruh jaringan kehidupan di atasnya," tegas Mustakim. "Dan ini adalah indikator awal. Kalau mereka hilang, itu tanda awal bencana besar."

Genosida Budaya Suku Laut di Bintan Timur

Perempuan Suku Laut sedang mendayung perahu kecilnya di pesisir Bintan Timur, Kepulauan Riau (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Di Bintan Timur, rumah panggung Suku Laut berdiri di atas lautan, bertumpu pada tiang-tiang kayu yang berpaut erat dengan ombak, pasang laut, dan angin. Tak ada jembatan yang menghubungkan rumah mereka dengan daratan. Untuk mencapainya, mereka harus menyeberangi lautan surut sejauh 500 meter dan menembus rapatnya hutan mangrove.

Kini, hanya tersisa 17 kepala keluarga yang bertahan di Suku Laut Kawal Laut. Jarak permukiman ini dengan pusat aktivitas industri PT BAI hanya 6,38 kilometer—terlalu dekat untuk tidak merasakan dampak. Kehadiran industri raksasa ini mengubah lanskap, dan secara perlahan, menggeser ruang hidup mereka. Dua keluarga memilih angkat kaki, meninggalkan kehidupan laut. Sementara lima belas keluarga lainnya tetap bertahan, menjaga rumah dan tradisi, seakan menantang arus besar yang mengikis wilayah mereka.

Di tengah komunitas kecil yang tersisa itu, muncul sosok penting yang menjadi penanda sejarah hidup mereka, sosok yang menjadi penjaga ingatan kolektif—Nenek Kancil, perempuan berusia 80 tahun, generasi pertama yang tersisa di Kawal Laut. Pada 30 Juli 2025, saya tiba di sana bersama Jembol—keturunan ketiga Suku Laut Kawal Laut, kami menemukan Nenek Kancil duduk bersimpuh di pelataran rumah panggungnya. Tangan tuanya cekatan menggulung daun nipa kering, mengubahnya menjadi rokok tradisional. Satu kebiasaan kecil yang entah sampai kapan bisa bertahan.

Nenek Kancil bukan hanya tokoh tua, tapi juga pewaris pengetahuan laut dan langit. Ia masih mengajarkan anak cucu cara membaca rasi bintang untuk memprediksi cuaca, musim migrasi ikan, dan arah pelayaran kedepannya.

“Nenek masih ajarkan anak cucu semua buat belajar (membaca) bintang. Semua yang kita butuhkan kelihatan jelas di sana,” katanya, senyum tipis Nenek Kancil membentuk garis di wajahnya yang penuh keriput.

Jembol tersenyum, tetapi sorot matanya bergetar. Saat ia menyebut soal ancaman yang mendekat, senyum Nenek Kancil pun meredup. “Sedih, tidak habis pikir. Hutan dibabat, laut mau dikeruk, kuburan sakral kita pun mau dibabat. Tolonglah itu dilihat mbol,” katanya sambil menyeka mata.

Ancaman yang dimaksud Jembol adalah pengembangan PSN Galang Batang di Kampung Masiran—hanya berjarak 1,04 kilometer dari permukiman mereka. Di sana, sejak 2020, warga sempat menolak rencana penguasaan lahan oleh PT BAI. Namun kini, 40 kepala keluarga di Kampung Masiran sudah direlokasi.

Yang membuat luka semakin dalam, di pesisir Kampung Masiran terdapat pemakaman Suku Laut Kawal Laut—tempat peristirahatan terakhir leluhur mereka. Di sana, keluarga rutin datang membawa makanan dan minuman kesukaan leluhur semasa hidup. Namun kini, hanya tiga meter dari makam itu, PT BAI sudah mulai melakukan pengerukan.

“Sedih hati saya melihat ini,” suara Jembol merendah. “Mereka melakukan semua ini tanpa bicara dengan kami, seperti tidak ada kesempatan bagi kami mempertahankan alam yang selama ini menghidupi kami.”

Dari bibir pantai, saya melihat hamparan lumpur yang telah berubah. Pemakaman Suku Laut Kawal Laut berdampingan dengan pohon nipah dan pandan—warisan tanam leluhur mereka yang kini tinggal menunggu mati akibat pengerukan parit oleh pihak perusahaan.

Jembol berdiri di sana, memegang erat selembar daun nipah kering pemberian Nenek Kancil. Matanya menatap kosong ke arah pohon-pohon yang meranggas. Dengan suara lirih, ia berucap, “Kalau sudah hancur seperti ini, bisa jadi ini adalah rokok nipah terakhir yang bisa kami nikmati.”

Hanya tiga meter dari pemakaman tua itu, alat berat perusahaan telah mengoyak tanah menjadi alur parit yang panjang. Pengerukan tak hanya merusak bentang alam, tetapi juga merenggut ruang hidup tanaman-tanaman nipah yang selama ini menjadi penopang kehidupan Suku Laut Kawal Laut.

Untuk mencari tahu penyebabnya, saya mengambil sampel air di empat titik: laut, pinggir pantai, bagian tengah, dan selokan buatan perusahaan. Dari hasil pengujian lab, hasil analisis menunjukkan satu hal menarik. Derajat keasaman air (pH) masih dalam kondisi relatif normal, berkisar 7.0–7.7. Secara teori, tanaman seperti nipah masih bisa bertahan di rentang ini.

Namun, kisah berbeda dituturkan oleh angka salinitas. Sampel dari laut mencatat kadar garam 3,6 permil. Di bagian tengah dan selokan, nilainya 2,7 hingga 2,8 permil. Angka itu mungkin terlihat kecil di atas kertas. Tetapi, bagi tanaman air tawar seperti nipah, kadar ini sudah cukup mematikan.

Dalam tubuh nipah, akar berjuang menyerap air yang justru makin asin. Daun pun cepat mengering, batang melemah, hingga akhirnya mati akibat keracunan garam. Begitulah yang kini tampak di lokasi: nipah-nipah yang dulu kokoh berdiri kini meranggas, pucuknya menguning, seperti sedang pelan-pelan menyerah.

Ironisnya, hanya satu titik yang masih menunjukkan kondisi mendekati layak: di pinggir pantai, dengan salinitas 0,4 permil. Tetapi itu pun tak sepenuhnya alami. Saat sampel diambil, air tengah menggenang karena surut. Bukan air laut, melainkan genangan sesaat.

Artinya jelas: bukan pH yang membunuh nipah, melainkan salinitas tinggi yang masuk bersama air asin ke parit-parit buatan. Sebuah perubahan yang perlahan merenggut kehidupan tanaman-tanaman nipah.

Bagi Suku Laut, kehilangan nipah bukan sekadar kehilangan tumbuhan. Itu berarti hilangnya penopang tradisi, perlindungan alami pantai, dan bagian dari identitas mereka. Bersama makam leluhur yang terancam tergusur, hilangnya nipah adalah tanda bahwa sejarah mereka perlahan digali, dihapus, dan ditenggelamkan oleh parit industri.

Lalu, Jembol mengajak saya melangkah ke lautan yang tengah surut, menunjuk sebuah patok bertuliskan BAI. Ironisnya, patok itu berdiri di atas wilayah laut surut Kampung Masiran—lahan yang dulunya menjadi bagian dari ekosistem hidup mereka.

“Di alur itu, ujungnya adalah rumah relokasi warga Kampung Masiran. Akan dibangun sebagai tempat wisata. Selain itu perusahaan juga akan membangun pelabuhan besar serta akan dilakukan pendalaman alur,” jelasnya.

Rencana pendalaman alur itu, menurut Jembol, akan menjadi bencana bagi ekosistem sekitar—karena, air laut tak mengenal batas buatan manusia. Setiap perubahan akan merambat, merusak hutan bakau, mematikan bubu kepiting yang biasa dipasang para ibu, dan menghapus mata pencaharian.

“Alur ini berjarak 900 meter dari pemukiman kami. Ibu-ibu biasanya membantu suaminya menaruh bubu kepiting di hutan ini, sementara para suami turun ke laut mencari ikan,” katanya.

Rumah-rumah panggung di kejauhan tampak terapung di garis tipis antara daratan dan laut—garis yang makin kabur di tengah gempuran distrubsi industri ekstraktif. Kini, di perairan yang sama—Bintan Timur, ancaman baru hadir. Pembangunan industri skala besar masuk tanpa persetujuan, menggusur ruang hidup yang telah diwariskan turun-temurun.

Perempuan Suku Laut sedang mencari ikan di pesisir Bintan Timur (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Jika Jembol mewakili suara komunitas yang terdampak langsung, perspektif akademik memberi gambaran lebih luas tentang sejarah dan dinamika sosial mereka. Wengki Ariando, peneliti yang saat ini terafiliasi dengan Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) Leiden, Belanda, hampir satu dekade meneliti masyarakat nomaden laut di Asia Tenggara. Ia pernah bekerja bersama komunitas Sama-Bajau di Indonesia, Malaysia dan Filipina, serta komunitas Moken di Thailand, hingga Suku Laut di Kepulauan Riau.

Menurut Wengki, dinamika relasi Suku Laut dan kebudayaan Melayu dapat terlihat jelas di Kabupaten Lingga. Di wilayah itu, ia menemukan setidaknya 31 kampung Orang Laut, jumlah yang jauh lebih besar dibanding Bintan atau Batam. Secara historis, komunitas ini memiliki keterhubungan erat dengan Kesultanan Riau-Lingga.

“Menurut narasi orang tua di Lingga, mereka dulu bagian dari kelompok dominan kerajaan. Itu bisa ditelusuri lewat kisah lisan (oral stories) maupun peta pembagian wilayah Kesultanan abad ke-18 hingga 19,” kata Wengki, 23 Agustus 2025.

Namun di Bintan Timur, khususnya di Kawal Laut dan Panglong, narasi dan cerita mengenai keterikatan mereka dengan kelompok dominan Malayu tidak terlihat signifikan. Yang menarik, di kawasan ini, Orang Laut hidup berdekatan dengan komunitas Sama-Bajau yang bermigrasi dari timur Indonesia. “Mereka hidup berdampingan, dan ketika ditelusuri, banyak dari mereka memiliki relasi positif pada saat mencari di laut. Hal ini menunjukan solidaritas masyarakat kemaritiman yang kuat,” ungkapnya.

Bintan Timur menjadi unik dalam sejarah Suku Laut. Selain karena pertemuan dua komunitas maritim—Suku Laut dan Sama-Bajau, wilayah ini juga menyimpan alasan mengapa sebagian dari mereka berhenti berkelana.

Teluk Bintan Timur sejak lama menjadi tempat persinggahan Suku Laut ketika musim monsun utara. Ombak besar dan angin kencang membuat Suku Laut dari berbagai daerah termasuk dari Kabupaten Lingga memilih berteduh di teluk ini, hingga terkadang 70-100 sampan kajang berkumpul dalam satu waktu. Dari kebiasaan bermusim itu, sebagian komunitas kemudian menetap, apalagi ketika mereka mulai masuk dalam sistem ekonomi patron-klien dengan para toke dan pedagang di darat.

Namun, perubahan pola hidup itu juga membawa kerentanan baru: ketergantungan pada sistem ekonomi pasar berbasis darat, dan semakin sempitnya ruang hidup akibat ekspansi pembangunan pesisir yang eksploitatif.

Fenomena ini oleh Wengki disebut sebagai coastal grabbing—perampasan wilayah pesisir dan laut. “Kalau dulu kita kenal istilah land grabbing di darat, di Kepulauan Riau praktik serupa kini terjadi di pesisir dan laut,” katanya.

Di Kabupaten Lingga, Suku Laut berhadapan dengan tambang pasir dan tambak udang. Di Batam, ancaman datang dari PSN di Pulau Tanjung Sauh. Sedangkan di Bintan Timur, PSN kawasan industri Galang Batang menjadi persoalan besar bagi komunitas Suku Laut dan Bajau. “Pembangunan selalu memakai kacamata darat. Padahal, wilayah yang dianggap kosong itu sebenarnya ruang hidup dan berpenghidupan atau bahkan sakral bagi masyarakat laut,” tambahnya.

Situasi ini, menurut Wengki, adalah bentuk nyata genosida budaya. “Suku Laut di Bintan dan Kepulauan Riau sedang dipaksa untuk didaratkan (forced adaptation), demi pembangunan yang tidak berpihak pada mereka. Kalau identitas mereka hilang, kita kehilangan jejak nenek moyang pelaut. Mereka ini yang tersisa dari semboyan itu,” tegasnya.

Genosida budaya itu tampak dalam pemaksaan cara hidup darat yang memutus interaksi biokultural—hubungan saling membentuk antara budaya dan lingkungan laut. Lebih jauh dari itu, Laut bagi mereka adalah ruang kultural, spiritual, sosial, dan intelektual yang menjadi landasan kehidupan mereka. Jika dipisahkan dari laut, mereka kehilangan bukan hanya mata pencaharian, tetapi juga identitas kebudayaan dan sejarah.

Bagi Wengki, solusi harus dimulai dengan pengakuan atas fluid territorial atau teritori yang mengalir. Tidak seperti konsep kepemilikan tanah mutlak, Suku Laut memiliki pola akses yang berpindah mengikuti musim, kearifan lokal, dan tradisi berkelana mereka. Selain itu, penguatan gerakan kolektif juga mendesak. Selama ini perjuangan Suku Laut dan Sama-Bajau berjalan sendiri-sendiri dan tersegmentasi. Padahal, tantangan yang mereka hadapi bersifat bersama.

Perempuan dan anak-anak pun perlu dilibatkan. Dalam keseharian, perempuan Suku Laut ikut melaut dan menopang ekonomi keluarga, sementara anak-anak adalah pewaris pengetahuan tradisional. Namun, banyak dari mereka kini makin jauh dari kearifan lokal.

“Edukasi bisa dimulai sederhana, misalnya dengan menghadirkan kembali orang tua atau nelayan untuk mengajarkan tradisi. Itu membuat anak-anak bangga dengan identitasnya,” jelas Wengki.

Indonesia adalah negara maritim dengan lebih dari 17.000 pulau. Namun, definisi masyarakat adat yang dipakai negara sering bias daratan. Akibatnya, komunitas maritim seperti Suku Laut dan Sama-Bajau terpinggirkan dua kali—pertama oleh pembangunan, kedua pengakuan oleh hukum.

“Sebenarnya kalau digabung, populasi mereka (Suku Laut dan Sama-Bajau) cukup besar, bahkan lebih banyak daripada beberapa kelompok adat di daratan. Tapi hak mereka kerap diabaikan,” katanya.

Menurutnya, kerja penelitian ini bukan sekadar akademik, melainkan juga advokasi. “Saya tertarik karena mereka bukan kelompok kecil. Mereka punya sejarah, jumlah besar, dan hak untuk mempertahankan ruang hidup. Tantangannya global, tapi suara mereka sering hilang dan terlupakan dalam setiap diskusi Mayarakat Adat. Di sinilah kita harus ikut memperkuat, dari riset hingga gerakan,” tutupnya.

Peta wilayah wilayah kekuasaan Kesultanan Riau-Lingga pada abad ke-19 yang menyebut adanya wilayah yang ditempati Suku Laut (Dok: Lembaga Kesultanan Riau-Lingga)

Kehadiran Suku Laut di berbagai wilayah Provinsi Kepulauan Riau sejak lama telah tercatat dalam arsip kolonial. Pada tahun 1889, seorang pejabat Belanda, K.F. Holle, menyusun sebuah peta dengan skala 1:750.000 berjudul Schets-Taalkaart van den Riouw en Lingga-Archipel. Peta itu bukan sekadar gambaran geografis, melainkan juga memuat keterangan mengenai wilayah kekuasaan Kesultanan Riau-Lingga pada abad ke-19.

Menariknya, dalam peta tersebut Holle turut menandai keberadaan komunitas yang ia sebut sebagai “Orang Laoetsch”—nama yang merujuk pada Suku Laut. Jejak mereka digambarkan tersebar di berbagai kawasan strategis, mulai dari Lingga, Batam, Karimun, hingga Bintan Timur. Catatan itu menegaskan bahwa Suku Laut telah lebih dulu hadir dan membentuk peradabannya jauh sebelum lahirnya Republik Indonesia.

Sejalan dengan pandangan Wengki, peneliti lain di Indonesia juga menyoroti hal yang sama, meski dengan titik tekan berbeda. Dedi Supriadi Adhuri, Peneliti Ahli Utama di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali menegaskan pentingnya menempatkan komunitas pesisir, terutama Suku Laut, sebagai subjek dalam pembangunan nasional.

Latar belakangnya sebagai antropolog membuat Dedi menaruh perhatian pada masyarakat marjinal yang hidup di simpang jalan antara tradisi, ekologi, dan industrialisasi. Dengan latar belakang itu, ia menyaksikan langsung bagaimana pembangunan kerap menyingkirkan komunitas pesisir dari ruang hidupnya.

“Saya mempelajari bahwa kebijakan pembangunan di Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang bias daratan. Posisi komunitas pesisir dan Suku Laut sangat marjinal. Mereka tidak hanya tidak dilibatkan dalam desain kebijakan, tetapi juga menjadi korban dari marginalisasi itu,” kata Dedi, 23 Agustus 2025.

Dalam penelitiannya, Dedi menemukan bahwa Suku Laut di Bintan Timur masih mempertahankan tradisi leluhur dalam mengelola laut. Mereka membatasi diri untuk tidak mengeksploitasi sumber daya laut secara berlebihan, baik karena nilai budaya maupun keterbatasan teknologi.

Kearifan ini, kata Dedi, sejalan dengan prinsip konservasi global yang sedang didorong dunia internasional melalui skema other effective area-based conservation measures (OECM).

“Praktik tradisional Suku Laut justru menjadi rujukan global bagaimana komunitas lokal bisa menjaga keberlanjutan laut,” katanya.

Namun, kearifan itu kini terhimpit oleh pembangunan industri. Pembabatan mangrove, reklamasi, dan ekspansi pabrik telah mengubah ekosistem pesisir yang selama ini menjadi ruang hidup Suku Laut di pesisir Bintan Timur.

Selain kehilangan ruang hidup di daratan, Suku Laut juga menghadapi tekanan dari laut. Aktivitas kapal penangkap ikan skala besar di wilayah tangkap mereka mengurangi ketersediaan ikan. Migrasi ikan yang biasanya menuju pesisir terhenti karena jaring kapal industri.

“Akibatnya, hasil tangkap Suku Laut dan nelayan pesisir makin sedikit. Mereka terhimpit di darat oleh industri, di laut oleh kapal-kapal besar. Ini masalah serius yang harus dipikirkan bersama,” ungkapnya.

Dedi menekankan dua hal sebagai jalan keluar. Pertama, negara perlu memperketat pengawasan agar kapal industri tidak merambah ke wilayah tangkap nelayan kecil. “Kalau tidak dibatasi, mereka akan terus kehilangan sumber penghidupan,” ujarnya.

Kedua, pembangunan industri di darat harus diminimalkan dampaknya. Ia mencontohkan keruhnya perairan akibat sedimentasi dari pembukaan lahan besar-besaran. “Kalau pembangunan tidak dikontrol, masyarakat pesisir akan kehilangan ruang hidupnya,” tambahnya.

Sebagai alternatif, ia menekankan pentingnya pembangunan berbasis ekowisata inklusif yang ramah lingkungan. Model ini, menurutnya, bisa memberikan manfaat ekonomi sekaligus melibatkan masyarakat tanpa mengorbankan ekosistem.

Namun, bagi sebagian peneliti dan pegiat lingkungan, persoalan ini tidak cukup dijawab dengan mitigasi. Mereka menilai, jika ancaman ekologis dan sosial terlalu besar, opsi ekstrem yang perlu dipertimbangkan adalah menghentikan sama sekali pembangunan industri di kawasan pesisir tertentu, seperti Pulau Poto dan sebagian Bintan Timur.

“Kalau pembangunan terus dipaksakan, hilangnya mangrove, rusaknya terumbu karang, dan tersingkirnya komunitas adat akan jadi harga yang terlalu mahal. Tidak ada gunanya bicara investasi jika ekosistem hancur dan masyarakat adat kehilangan lautnya,” tegasnya.

Menurutnya, negara perlu berani mengambil sikap: menunda bahkan menghentikan pembangunan di kawasan yang terbukti kritis secara ekologi dan sosial. “Solusi ekstrem ini memang berat, tapi bisa menjadi pilihan terakhir demi keberlanjutan jangka panjang,” tutupnya.

Ekspansi Raksasa Industri di Bintan

Pria Suku Laut mencari nafkah di pesisir, sementara di belakangnya berdiri megah industri PT BAI. Kontras antara tradisi dan proyek strategis nasional tampak nyata di garis pantai (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Santoni, Direktur PT GBKEK dan PT BAI membeberkan rencana ambisius perusahaan dalam memperluas investasi dari kawasan industri Galang Batang ke Kampung Masiran dan Pulau Poto. Proyek ini masuk dalam daftar PSN dan diproyeksikan menggelontorkan dana hingga Rp80 triliun dalam lima tahun ke depan.

Menurut Santoni, geliat investasi di GBKEK telah menjadi motor pertumbuhan ekonomi Bintan pascapandemi. “Berdasarkan laporan BPS, pertumbuhan investasi di Bintan mencapai 8,9 persen—tertinggi di Kepri,” kata Santoni, 29 Juli 2025.

Di Kampung Masiran, GBKEK tengah mengembangkan jalur industri turunan alumina, khususnya produksi soda kostik yang selama ini diimpor dari Jepang, Tiongkok, Iran, dan Timur Tengah. Rencananya, pelabuhan kontainer baru juga akan dibangun, bekerja sama dengan mitra dari Singapura dan Tiongkok. Total investasi di kawasan ini diperkirakan mencapai Rp30 triliun.

“Kepri tidak punya pelabuhan ekspor yang memadai. Pelabuhan kami di PT BAI sudah yang terbaik, dan kami ingin replikasi fasilitas itu di Masiran,” kata Santoni. Mayoritas modal, menurutnya, berasal dari investor asing.

Sementara itu, Pulau Poto disampaikannya akan disiapkan untuk menjadi basis industri petrokimia, termasuk produksi etana dan etilena, dengan kapasitas hingga dua juta ton. Selain itu, pabrik baja daur ulang akan dibangun untuk mendukung program padat karya. Investasi di kawasan ini disebut lebih besar, yakni sekitar Rp50 triliun, dengan dukungan infrastruktur pelabuhan berskala besar.

“Semua bahan pendukung industrinya impor, jadi pelabuhannya harus lebih besar,” kata Santoni.

Menanggapi kabar penolakan warga, Santoni mengklaim mayoritas masyarakat di Kampung Masiran dan Kampung Tenggel di Pulau Poto telah menjual tanahnya. “Kalau ada penolakan, warga tidak mungkin mau melepas tanahnya. Di Kampung Tenggel, 99 persen sudah menjual, hanya segelintir yang masih menolak,” ucapnya.

Ia juga menegaskan tidak akan menyentuh tanah makam Suku Laut. “Kalau warga setuju direlokasi, kami siapkan lahan pemakaman lima hektar. Kami rapikan dan bangun kembali makam di lokasi baru,” ujarnya.

Menjawab pertanyaan mengenai dampak reklamasi di area PT BAI, Santoni mengakui adanya konsekuensi lingkungan selama proses pembangunan berlangsung. “Pembangunan yang belum selesai pasti ada dampaknya. Kita kan permasalahkan, lebih manfaat banyak atau merugikan banyak,” kata dia.

Soal izin, Santoni menyebut proses masih berjalan dan tergantung pemerintah. Ia juga mengakui, selama mereka beroprasi di Bintan, kajian lingkungan dilakukan hanya di awal proyek. Sementara uji tuntas atau due diligence yang seharusnya dilakukan setiap satu tahun sekali tidak pernah dilakukan. “Hasil kajian awal itu baik. Kami tidak lakukan tahunan,” katanya.

Santoni menutup dengan membandingkan KEK di Kepri dengan kawasan serupa baru di Singapura dan Malaysia. “Mereka meniru cara kita dan berebut investor. Infrastruktur lengkap pasti mendatangkan modal,” katanya.

Namun, klaim perusahaan ini bertolak belakang dengan suara masyarakat, seperti halnya di Kampung Tenggel, Pulau Poto.

Di tengah klaim perusahaan tentang persetujuan masyarakat, suara penolakan justru mengalun dari Kampung Tenggel, Pulau Poto. Andi Suratno (40), nelayan dan masyarakat asli kampung itu menegaskan bahwa 130 kepala keluarga di Kampung Tenggel masih solid mempertahankan tanah mereka.

“Tidak ada, tidak benar. Semua warga di Kampung Tenggel sampai saat ini masih berupaya mempertahankan hak atas tanahnya,” kata Andi tegas, 1 Agustus 2025.

Untuk memahami lebih jauh kondisi kehidupan masyarakat, mari menilik keseharian mereka. Kampung Tenggel berdiri di Pulau Poto sejak 1983. Di sanalah para nelayan pesisir menggantungkan hidup, berlayar dengan kapal 1-5 GT, mengandalkan teknik tradisional: menyelam hingga kedalaman 20 meter dengan bantuan kompresor, lalu menaruh bubu di dasar laut. Selain itu ada juga masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari mencari kepiting bangkang di hutan mangrove Pulau Poto.

“Kami naruh bubu di sekitar Pulau Poto dan mencari kepiting bangkang dari hutan bakau. Kalau Pulau Poto ini dijadikan kawasan industri, mau kemana lagi kami cari ikan dan kepiting?” keluhnya.

Pernyataan Andi selaras dengan data resmi yang menunjukkan kontribusi besar sektor perikanan di Bintan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, volume produksi perikanan dari penangkapan di Kabupaten Bintan tercatat 50.606 ton dengan nilai produksi mencapai Rp756,3 miliar. Dari angka tersebut, wilayah Bintan Timur menyumbang 12.875 ton hasil tangkapan. Namun, Andi mengatakan angka itu kini nyaris tak relevan dengan kondisi di lapangan.

“Itu tahun 2015. Kalau sekarang sudah susah. Kami tidak bisa lagi mencari ikan di tepian karena sudah ada industri (PT BAI), dan harus mencari ikan lebih jauh ke laut. Sekarang, sehari paling cuma dapat 10–15 kilogram ikan, sangat merosot,” katanya.

Meski begitu, masyarakat tidak sepenuhnya menutup pintu terhadap investasi. Masyarakat Kampung Tenggel, kata Andi, tidak menolak semua bentuk investasi, namun yang mereka harapkan adalah jenis investasi yang menjaga keseimbangan lingkungan.

“Ya jujur saja, kami lebih dukung investasi pariwisata. Mereka itu lebih paham dan menjaga lingkungan. Laut pun tetap bersih, dan kami masih bisa mencari ikan,” ujarnya.

Karang di pesisir Bintan Timur terbalut lumpur hasil sedimentasi Reklamasi industri (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Untuk menelusuri lebih jauh kondisi laut yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat, saya bersama seorang rekan bernama Di Fang, seorang seniman yang telah lama merekam suara dan gambar dari bawah laut di berbagai belahan dunia—melakukan sebuah perjalanan kecil untuk mendengarkan apa yang sedang dikatakan laut Bintan Timur. Kami menurunkan alat perekam bawah laut di lima titik lokasi, mulai dari perairan sekitar permukiman Suku Laut Kawal Laut hingga pesisir yang berhadapan langsung dengan kawasan industri.

Pada tiga titik pertama, laut masih berbicara dengan bahasanya sendiri :

1.    Di titik ke-1 (0°59’14,382” N; 104°38’24,738” E), lokasi pesisir Kawal Laut, arus yang deras bercampur dengan suara perahu-perahu nelayan yang lalu lalang, riuh aktivitas desa, dan gelombang yang pecah di permukaan.

2.    Di titik ke-2 (0°58’52,998” N; 104°39’15,99” E), area yang menjadi habitat penyu dan lumba-lumba, terdengar percikan lembut saat satwa itu berenang di antara riak laut.

3.    Di titik ke-3 (0,96440° N; 104,65670° E), lokasi masyarakat Bintan Timur kini mencari ikan, suara laut memantulkan ketukan halus karang yang saling beradu, seakan membentuk harmoni purba.

Namun, suasana berubah drastis ketika kami tiba di titik ke-4 (0,93750° N; 104,66850° E), titik terdekat dengan kawasan industri milik PT BAI. Dari atas perahu, suara riuh industri itu terdengar jauh, samar, bahkan seakan tidak begitu mengganggu telinga kami. Namun, begitu perekam diturunkan ke dalam air, telinga kami dihantam getaran monoton yang menusuk, sebuah dentuman mekanis yang berulang tanpa henti. Di dalam air, suara-suara industri merambat lebih cepat dan lebih jauh daripada di udara—menjadi bising yang mencemari ruang hidup biota laut.

Di Fang menatap layar laptopnya dengan wajah serius. “Di sini, laut sudah kehilangan musiknya,” ucapnya pelan kepada saya. Tidak ada lagi percakapan ekosistem, tidak terdengar bisikan kehidupan laut. Yang ada hanyalah dengung mesin yang menyingkirkan harmoni berusia ratusan tahun.

Rekaman itu memperkuat kesaksian masyarakat pesisir Bintan Timur. Ketika laut dipenuhi kebisingan industri, ikan kehilangan bahasa dan arah. Karena itulah jaring-jaring nelayan di sepanjang pesisir Bintan Timur semakin sering kembali kosong.

Perjalanan kami berakhir di titik ke-5 (0,98330° N; 104,64630° E), tepat menghadap ke area pemakaman Suku Laut Kawal Laut. Laut di sana kembali terdengar hening, namun bukan hening yang damai. Lebih seperti sebuah ruang yang pernah penuh nyawa, kini teredam oleh suara asing yang terus menghantui dari kejauhan.

Sementara itu, untuk mendapatkan data hasil perikanan tangkap di Bintan Timur, upaya konfirmasi dilakukan kepada Kepala Dinas Perikanan Bintan, M. Fachrimsyah. Ia menjelaskan, sejak 2017, kewenangan pencatatan data hasil perikanan tangkap nelayan berada di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepulauan Riau.

“Untuk setiap kecamatan kami tidak ada datanya. Kewenangan menghitung data ada di DKP Kepri,” kata Fachrimsyah, 13 Agustus 2025. Upaya konfirmasi turut dilakukan kepada Kepala DKP Kepri, Said Sudrajad melalui pesan singkat maupun telepon dalam beberapa waktu, namun hingga berita ini diterbitkan, belum mendapatkan tanggapan.

Meski demikian, proyek-proyek ini meninggalkan pertanyaan, bagaimana nasib komunitas pesisir, Suku Laut, dan ekosistem laut Bintan Timur jika investasi raksasa ini benar-benar menelan pulau-pulau kecilnya?

Selain pemerintah, organisasi lingkungan juga angkat bicara. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau menilai, perkembangan industri ekstraktif di wilayah pesisir, termasuk KEK dan PSN di Bintan Timur telah mengancam ruang hidup masyarakat dan merusak ekosistem laut.

Pulau-pulau kecil di pesisir Bintan Timur, Kepulauan Riau, berdampingan dengan kawasan industri yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Direktur Eksekutif Daerah WALHI Riau, Boy Jerry Even Sembiring menjelaskan, pola ekspansi investasi di pulau-pulau kecil beroperasi layaknya mesin kapitalisme yang akumulatif, ekspansif, dan abai terhadap keberlanjutan.

“Kapitalisme itu tidak melihat identitas negara. Karakteristiknya akumulatif, ekspansif, dan merusak ruang hidup. Di pulau kecil, bibir pantai adalah ruang tinggal dan laut adalah sumber kehidupan utama. Kebijakan investasi di wilayah ini membuat masyarakat adat dan pesisir berada di bawah ancaman bencana kehancuran kehidupannya,” kata Boy, 5 Agustus 2025.

Ia mengingatkan, dalam konteks krisis iklim, masyarakat pesisir merupakan kelompok rentan. Laju investasi tanpa perlindungan lingkungan, menurutnya akan menghancurkan komunitas sekaligus alam yang menopang hidup mereka.

Boy menanggapi pernyataan Direktur PT GBKEK dan PT BAI, Santoni yang mengaku tidak melakukan uji tuntas atau due diligence dalam pengembangan PSN di Bintan. Menurutnya, hal ini merupakan kejanggalan serius.

“Kalau proses due diligence atau FPIC (free, prior, informed consent) tidak dilakukan, masyarakat tidak akan pernah mendapatkan informasi utuh terkait ancaman atau rencana bisnis di ruang hidup mereka,” tegas Boy. “Kalau perusahaan tidak melakukan uji tuntas dan tidak memperkirakan dampak buruknya, kelengkapan dokumen perizinannya wajib dipertanyakan. Itu artinya ada prosedur keliru sejak perencanaan,” ujarnya.

WALHI juga menyoroti dampak reklamasi di kawasan PT BAI, bagian dari GBKEK yang menyebabkan lumpur menumpuk di bibir pantai sekitar. Kondisi itu bahkan sempat menjebak penyu sisik di area berlumpur. Ketika dikonfirmasi, pihak perusahaan menyebut dampak lingkungan sebagai hal wajar selama pembangunan berlangsung.

Bagi Boy, pernyataan itu menunjukkan kelalaian. “Ini bukti dari awal operasi, proyek PSN tidak hanya menghancurkan kehidupan nelayan, tapi juga habitat penyu sisik yang menjadi lokasi bertelur. Jawaban ‘masih konstruksi’ itu tidak rasional. Begitu kawasan menjadi area kerja mereka, tanggung jawab penuh melekat atas apa yang terjadi,” tegasnya.

Menurutnya, ketiadaan mitigasi terhadap habitat penyu sisik dan keberadaan komunitas Suku Laut mengindikasikan dokumen AMDAL belum ada, atau tidak dijalankan. “Kalau ada amdal, pasti risiko ini sudah terpetakan. Ini cacat fatal dalam proses pembangunan,” tambahnya.

WALHI juga menyoroti penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) swasta atau captive power dalam proyek PSN di Bintan dengan kapasitas 160 megawatt. Meski legal, penggunaan PLTU dianggap bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi. Ditambah lagi di dalam kawasan KEK Galang Batang, proses pembangunan PLTU baru dengan kapasitas 900 megawatt juga akan berlangsung di kawasan tersebut.

“PSN yang menggunakan PLTU swasta melanggar semangat komitmen iklim. Ini paradoks kebijakan. PLTU merugikan ekosistem pesisir, menghasilkan emisi karbon tinggi, dan meracuni masyarakat,” ujar Boy.

Ia menegaskan, kontradiksi tersebut menjadi alasan sah bagi masyarakat untuk menuntut keadilan iklim. “PSN-PSN yang menghancurkan lingkungan dan bertentangan dengan komitmen iklim harus dihentikan,” tegasnya.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau berencana mengevaluasi menyeluruh pelaksanaan PSN Galang Batang di pesisir Bintan Timur. Langkah ini ditempuh setelah adanya kekhawatiran masyarakat akan potensi kerusakan ekosistem laut di sekitar lokasi proyek.

Wakil Gubernur Kepulauan Riau, Nyanyang Haris Patimura mengatakan, kawasan itu menyimpan kekayaan bawah laut yang masih terjaga. Dari hasil eksplorasi awal, sedikitnya 450 spesies laut tercatat, sekitar 60 persen di antaranya berada dalam kondisi baik.

“Memang ada investasi di sana, tetapi ekosistem laut juga penting. Kita akan duduk bersama tokoh masyarakat dan pemuda untuk mencari solusi terbaik agar investasi tidak merusak lingkungan,” kata Nyanyang, 8 Agustus 2025.

Evaluasi tidak hanya menyasar aktivitas di lapangan, tetapi juga dokumen Amdal proyek. Dinas lingkungan hidup akan dilibatkan untuk meninjau ulang rencana dan pelaksanaan proyek yang berada di wilayah pesisir yang sensitif.

Nyanyang menegaskan, pemerintah daerah tidak menutup pintu bagi investasi. Namun, katanya, pembangunan harus berjalan seiring dengan upaya menjaga keseimbangan alam.

“Kita bukan sedang menolak, tetapi menyelaraskan kepentingan. Jangan sampai investasi justru merusak apa yang selama ini terjaga,” tutupnya.

Benteng Hutan Mangrove di Kepri Terancam

Kehadiran industri di pesisir Bintan Timur mengancam kelestarian hutan mangrove (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Sorot mata Hendrik, pendiri NGO Akar Bhumi Indonesia, menajam ketika membicarakan kondisi mangrove di Provinsi Kepri. “Kerusakan mangrove di Kepri sudah sampai tahap mengkhawatirkan. Kalau ini dibiarkan, kita bukan hanya kehilangan pohon, tapi kehilangan benteng hidup yang melindungi pesisir,” kata Hendrik, 9 Agustus 2025.

Kekhawatiran itu punya dasar yang jelas. Akar Bhumi Indonesia mencatat, Kepri masih memiliki 66.943 hektar hutan mangrove. Di dalamnya, Bintan menyimpan bentang mangrove penting: hutan mangrove lebat 8.800 hektar, mangrove sedang 101 hektar, dan mangrove jarang 255 hektar. Angka ini bukan hanya statistic, mereka adalah benteng alami yang menahan abrasi, menjadi rumah ribuan spesies laut, dan menopang ekonomi nelayan selama ratusan tahun.

Namun, benteng ini kini rapuh. Bukan hanya karena pembalakan liar, tetapi juga laju masif pengembangan kawasan industri di pesisir.

Dalam satu dekade terakhir, Kepri terutama di Kota Batam dan Kabupaten Bintan menjadi magnet investasi industri skala besar. Di Galang Batang, Bintan Timur, pesisir direklamasi untuk membangun pelabuhan, pabrik pengolahan bauksit menjadi alumina, pembangkit listrik, hingga infrastruktur pendukung lainnya. Proyek-proyek ini mendapat payung hukum sebagai Kawasan Ekonomi Khusus dan Proyek Strategis Nasional.

Secara ekonomi, industri menjanjikan lapangan kerja dan pertumbuhan investasi. Tapi bagi Hendrik, lokasinya sering kali terlalu dekat, bahkan tumpang tindih dengan kawasan mangrove. Reklamasi dan pembangunan di area ini bukan hanya memusnahkan mangrove secara fisik, tapi juga mengubah arus dan sedimentasi laut, yang dalam jangka panjang dapat mematikan ekosistem di sekitarnya.

“Kerusakan mangrove itu efek domino. Abrasi meningkat, habitat ikan hilang, masyarakat pesisir kehilangan mata pencaharian,” katanya.

Hutan mangrove kata Hendrik adalah pertahanan alami. Akar-akar bakau mengikat tanah, menahan gelombang, dan mencegah abrasi. Ia juga menjadi tempat berkembang biak ikan, udang, kepiting—rumah bagi burung migran, reptil, dan mamalia laut langka, serta penyerap karbon yang efisien hingga empat kali lipat lebih banyak dibandingkan hutan tropis daratan.

Dengan luasan 66.943 hektar, potensi mangrove Kepri untuk menyerap emisi karbon dan menjaga kestabilan ekosistem laut sangat besar. Kehilangannya berarti meningkatnya emisi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kerentanan desa-desa pesisir terhadap bencana seperti badai dan gelombang tinggi.

Pemerintah dan investor sering menjadikan pengembangan kawasan industri pesisir sebagai simbol kemajuan. Namun, pertanyaan yang jarang diajukan adalah: berapa harga lingkungan yang harus dibayar?

Hendrik menegaskan, investasi bukan masalah, yang keliru adalah menempatkan industri di kawasan dengan fungsi ekologis tinggi. Di banyak negara, industri diarahkan ke wilayah yang sudah terdegradasi. Di Kepri, pendekatan ini belum sepenuhnya diterapkan. Akibatnya, konflik ruang antara industri dan ekosistem alami terus terjadi.

Akar Bhumi Indonesia mendorong moratorium alih fungsi mangrove, terutama kategori lebat seperti di Bintan. Penegakan hukum ketat terhadap perusakan mangrove, penataan tata ruang berbasis ekologi, pelibatan nelayan dalam perencanaan dan pengawasan kawasan, serta pengembangan ekowisata mangrove menjadi langkah yang mendesak.

“Mangrove adalah benteng terakhir yang memisahkan daratan Kepri dari kekuatan laut. Menebangnya hari ini untuk industri sama saja menebang masa depan kita sendiri,” tutup Hendrik.

Kepri masih punya 66.943 hektar alasan untuk mempertahankan mangrove. Namun, jika pengembangan industri terus mengabaikan ekologi, alasan itu akan hilang—bersama benteng yang selama ini menjaga kehidupan di masyarakat pesisir.

Di lautan surut Bintan Timur yang dipenuhi lumpur sedimentasi reklamasi itu, Minah kembali menurunkan seekor penyu sisik ke laut. Ombak kecil dan deru suara industri dari bawah laut menyambut penyu itu, dan membawanya menyelam lebih jauh ke perairan yang lebih dalam.

Minah tersenyum melepas kepergian penyu itu. “Selama masih ada laut, mungkin kita semua masih bisa hidup, yang penting laut tidak rusak.”

Editorial Team