Perempuan Suku Laut sedang mendayung perahu kecilnya di pesisir Bintan Timur, Kepulauan Riau (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Di Bintan Timur, rumah panggung Suku Laut berdiri di atas lautan, bertumpu pada tiang-tiang kayu yang berpaut erat dengan ombak, pasang laut, dan angin. Tak ada jembatan yang menghubungkan rumah mereka dengan daratan. Untuk mencapainya, mereka harus menyeberangi lautan surut sejauh 500 meter dan menembus rapatnya hutan mangrove.
Kini, hanya tersisa 17 kepala keluarga yang bertahan di Suku Laut Kawal Laut. Jarak permukiman ini dengan pusat aktivitas industri PT BAI hanya 6,38 kilometer—terlalu dekat untuk tidak merasakan dampak. Kehadiran industri raksasa ini mengubah lanskap, dan secara perlahan, menggeser ruang hidup mereka. Dua keluarga memilih angkat kaki, meninggalkan kehidupan laut. Sementara lima belas keluarga lainnya tetap bertahan, menjaga rumah dan tradisi, seakan menantang arus besar yang mengikis wilayah mereka.
Di tengah komunitas kecil yang tersisa itu, muncul sosok penting yang menjadi penanda sejarah hidup mereka, sosok yang menjadi penjaga ingatan kolektif—Nenek Kancil, perempuan berusia 80 tahun, generasi pertama yang tersisa di Kawal Laut. Pada 30 Juli 2025, saya tiba di sana bersama Jembol—keturunan ketiga Suku Laut Kawal Laut, kami menemukan Nenek Kancil duduk bersimpuh di pelataran rumah panggungnya. Tangan tuanya cekatan menggulung daun nipa kering, mengubahnya menjadi rokok tradisional. Satu kebiasaan kecil yang entah sampai kapan bisa bertahan.
Nenek Kancil bukan hanya tokoh tua, tapi juga pewaris pengetahuan laut dan langit. Ia masih mengajarkan anak cucu cara membaca rasi bintang untuk memprediksi cuaca, musim migrasi ikan, dan arah pelayaran kedepannya.
“Nenek masih ajarkan anak cucu semua buat belajar (membaca) bintang. Semua yang kita butuhkan kelihatan jelas di sana,” katanya, senyum tipis Nenek Kancil membentuk garis di wajahnya yang penuh keriput.
Jembol tersenyum, tetapi sorot matanya bergetar. Saat ia menyebut soal ancaman yang mendekat, senyum Nenek Kancil pun meredup. “Sedih, tidak habis pikir. Hutan dibabat, laut mau dikeruk, kuburan sakral kita pun mau dibabat. Tolonglah itu dilihat mbol,” katanya sambil menyeka mata.
Ancaman yang dimaksud Jembol adalah pengembangan PSN Galang Batang di Kampung Masiran—hanya berjarak 1,04 kilometer dari permukiman mereka. Di sana, sejak 2020, warga sempat menolak rencana penguasaan lahan oleh PT BAI. Namun kini, 40 kepala keluarga di Kampung Masiran sudah direlokasi.
Yang membuat luka semakin dalam, di pesisir Kampung Masiran terdapat pemakaman Suku Laut Kawal Laut—tempat peristirahatan terakhir leluhur mereka. Di sana, keluarga rutin datang membawa makanan dan minuman kesukaan leluhur semasa hidup. Namun kini, hanya tiga meter dari makam itu, PT BAI sudah mulai melakukan pengerukan.
“Sedih hati saya melihat ini,” suara Jembol merendah. “Mereka melakukan semua ini tanpa bicara dengan kami, seperti tidak ada kesempatan bagi kami mempertahankan alam yang selama ini menghidupi kami.”
Dari bibir pantai, saya melihat hamparan lumpur yang telah berubah. Pemakaman Suku Laut Kawal Laut berdampingan dengan pohon nipah dan pandan—warisan tanam leluhur mereka yang kini tinggal menunggu mati akibat pengerukan parit oleh pihak perusahaan.
Jembol berdiri di sana, memegang erat selembar daun nipah kering pemberian Nenek Kancil. Matanya menatap kosong ke arah pohon-pohon yang meranggas. Dengan suara lirih, ia berucap, “Kalau sudah hancur seperti ini, bisa jadi ini adalah rokok nipah terakhir yang bisa kami nikmati.”
Hanya tiga meter dari pemakaman tua itu, alat berat perusahaan telah mengoyak tanah menjadi alur parit yang panjang. Pengerukan tak hanya merusak bentang alam, tetapi juga merenggut ruang hidup tanaman-tanaman nipah yang selama ini menjadi penopang kehidupan Suku Laut Kawal Laut.
Untuk mencari tahu penyebabnya, saya mengambil sampel air di empat titik: laut, pinggir pantai, bagian tengah, dan selokan buatan perusahaan. Dari hasil pengujian lab, hasil analisis menunjukkan satu hal menarik. Derajat keasaman air (pH) masih dalam kondisi relatif normal, berkisar 7.0–7.7. Secara teori, tanaman seperti nipah masih bisa bertahan di rentang ini.
Namun, kisah berbeda dituturkan oleh angka salinitas. Sampel dari laut mencatat kadar garam 3,6 permil. Di bagian tengah dan selokan, nilainya 2,7 hingga 2,8 permil. Angka itu mungkin terlihat kecil di atas kertas. Tetapi, bagi tanaman air tawar seperti nipah, kadar ini sudah cukup mematikan.
Dalam tubuh nipah, akar berjuang menyerap air yang justru makin asin. Daun pun cepat mengering, batang melemah, hingga akhirnya mati akibat keracunan garam. Begitulah yang kini tampak di lokasi: nipah-nipah yang dulu kokoh berdiri kini meranggas, pucuknya menguning, seperti sedang pelan-pelan menyerah.
Ironisnya, hanya satu titik yang masih menunjukkan kondisi mendekati layak: di pinggir pantai, dengan salinitas 0,4 permil. Tetapi itu pun tak sepenuhnya alami. Saat sampel diambil, air tengah menggenang karena surut. Bukan air laut, melainkan genangan sesaat.
Artinya jelas: bukan pH yang membunuh nipah, melainkan salinitas tinggi yang masuk bersama air asin ke parit-parit buatan. Sebuah perubahan yang perlahan merenggut kehidupan tanaman-tanaman nipah.
Bagi Suku Laut, kehilangan nipah bukan sekadar kehilangan tumbuhan. Itu berarti hilangnya penopang tradisi, perlindungan alami pantai, dan bagian dari identitas mereka. Bersama makam leluhur yang terancam tergusur, hilangnya nipah adalah tanda bahwa sejarah mereka perlahan digali, dihapus, dan ditenggelamkan oleh parit industri.
Lalu, Jembol mengajak saya melangkah ke lautan yang tengah surut, menunjuk sebuah patok bertuliskan BAI. Ironisnya, patok itu berdiri di atas wilayah laut surut Kampung Masiran—lahan yang dulunya menjadi bagian dari ekosistem hidup mereka.
“Di alur itu, ujungnya adalah rumah relokasi warga Kampung Masiran. Akan dibangun sebagai tempat wisata. Selain itu perusahaan juga akan membangun pelabuhan besar serta akan dilakukan pendalaman alur,” jelasnya.
Rencana pendalaman alur itu, menurut Jembol, akan menjadi bencana bagi ekosistem sekitar—karena, air laut tak mengenal batas buatan manusia. Setiap perubahan akan merambat, merusak hutan bakau, mematikan bubu kepiting yang biasa dipasang para ibu, dan menghapus mata pencaharian.
“Alur ini berjarak 900 meter dari pemukiman kami. Ibu-ibu biasanya membantu suaminya menaruh bubu kepiting di hutan ini, sementara para suami turun ke laut mencari ikan,” katanya.
Rumah-rumah panggung di kejauhan tampak terapung di garis tipis antara daratan dan laut—garis yang makin kabur di tengah gempuran distrubsi industri ekstraktif. Kini, di perairan yang sama—Bintan Timur, ancaman baru hadir. Pembangunan industri skala besar masuk tanpa persetujuan, menggusur ruang hidup yang telah diwariskan turun-temurun.
Perempuan Suku Laut sedang mencari ikan di pesisir Bintan Timur (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Jika Jembol mewakili suara komunitas yang terdampak langsung, perspektif akademik memberi gambaran lebih luas tentang sejarah dan dinamika sosial mereka. Wengki Ariando, peneliti yang saat ini terafiliasi dengan Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) Leiden, Belanda, hampir satu dekade meneliti masyarakat nomaden laut di Asia Tenggara. Ia pernah bekerja bersama komunitas Sama-Bajau di Indonesia, Malaysia dan Filipina, serta komunitas Moken di Thailand, hingga Suku Laut di Kepulauan Riau.
Menurut Wengki, dinamika relasi Suku Laut dan kebudayaan Melayu dapat terlihat jelas di Kabupaten Lingga. Di wilayah itu, ia menemukan setidaknya 31 kampung Orang Laut, jumlah yang jauh lebih besar dibanding Bintan atau Batam. Secara historis, komunitas ini memiliki keterhubungan erat dengan Kesultanan Riau-Lingga.
“Menurut narasi orang tua di Lingga, mereka dulu bagian dari kelompok dominan kerajaan. Itu bisa ditelusuri lewat kisah lisan (oral stories) maupun peta pembagian wilayah Kesultanan abad ke-18 hingga 19,” kata Wengki, 23 Agustus 2025.
Namun di Bintan Timur, khususnya di Kawal Laut dan Panglong, narasi dan cerita mengenai keterikatan mereka dengan kelompok dominan Malayu tidak terlihat signifikan. Yang menarik, di kawasan ini, Orang Laut hidup berdekatan dengan komunitas Sama-Bajau yang bermigrasi dari timur Indonesia. “Mereka hidup berdampingan, dan ketika ditelusuri, banyak dari mereka memiliki relasi positif pada saat mencari di laut. Hal ini menunjukan solidaritas masyarakat kemaritiman yang kuat,” ungkapnya.
Bintan Timur menjadi unik dalam sejarah Suku Laut. Selain karena pertemuan dua komunitas maritim—Suku Laut dan Sama-Bajau, wilayah ini juga menyimpan alasan mengapa sebagian dari mereka berhenti berkelana.
Teluk Bintan Timur sejak lama menjadi tempat persinggahan Suku Laut ketika musim monsun utara. Ombak besar dan angin kencang membuat Suku Laut dari berbagai daerah termasuk dari Kabupaten Lingga memilih berteduh di teluk ini, hingga terkadang 70-100 sampan kajang berkumpul dalam satu waktu. Dari kebiasaan bermusim itu, sebagian komunitas kemudian menetap, apalagi ketika mereka mulai masuk dalam sistem ekonomi patron-klien dengan para toke dan pedagang di darat.
Namun, perubahan pola hidup itu juga membawa kerentanan baru: ketergantungan pada sistem ekonomi pasar berbasis darat, dan semakin sempitnya ruang hidup akibat ekspansi pembangunan pesisir yang eksploitatif.
Fenomena ini oleh Wengki disebut sebagai coastal grabbing—perampasan wilayah pesisir dan laut. “Kalau dulu kita kenal istilah land grabbing di darat, di Kepulauan Riau praktik serupa kini terjadi di pesisir dan laut,” katanya.
Di Kabupaten Lingga, Suku Laut berhadapan dengan tambang pasir dan tambak udang. Di Batam, ancaman datang dari PSN di Pulau Tanjung Sauh. Sedangkan di Bintan Timur, PSN kawasan industri Galang Batang menjadi persoalan besar bagi komunitas Suku Laut dan Bajau. “Pembangunan selalu memakai kacamata darat. Padahal, wilayah yang dianggap kosong itu sebenarnya ruang hidup dan berpenghidupan atau bahkan sakral bagi masyarakat laut,” tambahnya.
Situasi ini, menurut Wengki, adalah bentuk nyata genosida budaya. “Suku Laut di Bintan dan Kepulauan Riau sedang dipaksa untuk didaratkan (forced adaptation), demi pembangunan yang tidak berpihak pada mereka. Kalau identitas mereka hilang, kita kehilangan jejak nenek moyang pelaut. Mereka ini yang tersisa dari semboyan itu,” tegasnya.
Genosida budaya itu tampak dalam pemaksaan cara hidup darat yang memutus interaksi biokultural—hubungan saling membentuk antara budaya dan lingkungan laut. Lebih jauh dari itu, Laut bagi mereka adalah ruang kultural, spiritual, sosial, dan intelektual yang menjadi landasan kehidupan mereka. Jika dipisahkan dari laut, mereka kehilangan bukan hanya mata pencaharian, tetapi juga identitas kebudayaan dan sejarah.
Bagi Wengki, solusi harus dimulai dengan pengakuan atas fluid territorial atau teritori yang mengalir. Tidak seperti konsep kepemilikan tanah mutlak, Suku Laut memiliki pola akses yang berpindah mengikuti musim, kearifan lokal, dan tradisi berkelana mereka. Selain itu, penguatan gerakan kolektif juga mendesak. Selama ini perjuangan Suku Laut dan Sama-Bajau berjalan sendiri-sendiri dan tersegmentasi. Padahal, tantangan yang mereka hadapi bersifat bersama.
Perempuan dan anak-anak pun perlu dilibatkan. Dalam keseharian, perempuan Suku Laut ikut melaut dan menopang ekonomi keluarga, sementara anak-anak adalah pewaris pengetahuan tradisional. Namun, banyak dari mereka kini makin jauh dari kearifan lokal.
“Edukasi bisa dimulai sederhana, misalnya dengan menghadirkan kembali orang tua atau nelayan untuk mengajarkan tradisi. Itu membuat anak-anak bangga dengan identitasnya,” jelas Wengki.
Indonesia adalah negara maritim dengan lebih dari 17.000 pulau. Namun, definisi masyarakat adat yang dipakai negara sering bias daratan. Akibatnya, komunitas maritim seperti Suku Laut dan Sama-Bajau terpinggirkan dua kali—pertama oleh pembangunan, kedua pengakuan oleh hukum.
“Sebenarnya kalau digabung, populasi mereka (Suku Laut dan Sama-Bajau) cukup besar, bahkan lebih banyak daripada beberapa kelompok adat di daratan. Tapi hak mereka kerap diabaikan,” katanya.
Menurutnya, kerja penelitian ini bukan sekadar akademik, melainkan juga advokasi. “Saya tertarik karena mereka bukan kelompok kecil. Mereka punya sejarah, jumlah besar, dan hak untuk mempertahankan ruang hidup. Tantangannya global, tapi suara mereka sering hilang dan terlupakan dalam setiap diskusi Mayarakat Adat. Di sinilah kita harus ikut memperkuat, dari riset hingga gerakan,” tutupnya.
Peta wilayah wilayah kekuasaan Kesultanan Riau-Lingga pada abad ke-19 yang menyebut adanya wilayah yang ditempati Suku Laut (Dok: Lembaga Kesultanan Riau-Lingga)
Kehadiran Suku Laut di berbagai wilayah Provinsi Kepulauan Riau sejak lama telah tercatat dalam arsip kolonial. Pada tahun 1889, seorang pejabat Belanda, K.F. Holle, menyusun sebuah peta dengan skala 1:750.000 berjudul Schets-Taalkaart van den Riouw en Lingga-Archipel. Peta itu bukan sekadar gambaran geografis, melainkan juga memuat keterangan mengenai wilayah kekuasaan Kesultanan Riau-Lingga pada abad ke-19.
Menariknya, dalam peta tersebut Holle turut menandai keberadaan komunitas yang ia sebut sebagai “Orang Laoetsch”—nama yang merujuk pada Suku Laut. Jejak mereka digambarkan tersebar di berbagai kawasan strategis, mulai dari Lingga, Batam, Karimun, hingga Bintan Timur. Catatan itu menegaskan bahwa Suku Laut telah lebih dulu hadir dan membentuk peradabannya jauh sebelum lahirnya Republik Indonesia.
Sejalan dengan pandangan Wengki, peneliti lain di Indonesia juga menyoroti hal yang sama, meski dengan titik tekan berbeda. Dedi Supriadi Adhuri, Peneliti Ahli Utama di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali menegaskan pentingnya menempatkan komunitas pesisir, terutama Suku Laut, sebagai subjek dalam pembangunan nasional.
Latar belakangnya sebagai antropolog membuat Dedi menaruh perhatian pada masyarakat marjinal yang hidup di simpang jalan antara tradisi, ekologi, dan industrialisasi. Dengan latar belakang itu, ia menyaksikan langsung bagaimana pembangunan kerap menyingkirkan komunitas pesisir dari ruang hidupnya.
“Saya mempelajari bahwa kebijakan pembangunan di Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang bias daratan. Posisi komunitas pesisir dan Suku Laut sangat marjinal. Mereka tidak hanya tidak dilibatkan dalam desain kebijakan, tetapi juga menjadi korban dari marginalisasi itu,” kata Dedi, 23 Agustus 2025.
Dalam penelitiannya, Dedi menemukan bahwa Suku Laut di Bintan Timur masih mempertahankan tradisi leluhur dalam mengelola laut. Mereka membatasi diri untuk tidak mengeksploitasi sumber daya laut secara berlebihan, baik karena nilai budaya maupun keterbatasan teknologi.
Kearifan ini, kata Dedi, sejalan dengan prinsip konservasi global yang sedang didorong dunia internasional melalui skema other effective area-based conservation measures (OECM).
“Praktik tradisional Suku Laut justru menjadi rujukan global bagaimana komunitas lokal bisa menjaga keberlanjutan laut,” katanya.
Namun, kearifan itu kini terhimpit oleh pembangunan industri. Pembabatan mangrove, reklamasi, dan ekspansi pabrik telah mengubah ekosistem pesisir yang selama ini menjadi ruang hidup Suku Laut di pesisir Bintan Timur.
Selain kehilangan ruang hidup di daratan, Suku Laut juga menghadapi tekanan dari laut. Aktivitas kapal penangkap ikan skala besar di wilayah tangkap mereka mengurangi ketersediaan ikan. Migrasi ikan yang biasanya menuju pesisir terhenti karena jaring kapal industri.
“Akibatnya, hasil tangkap Suku Laut dan nelayan pesisir makin sedikit. Mereka terhimpit di darat oleh industri, di laut oleh kapal-kapal besar. Ini masalah serius yang harus dipikirkan bersama,” ungkapnya.
Dedi menekankan dua hal sebagai jalan keluar. Pertama, negara perlu memperketat pengawasan agar kapal industri tidak merambah ke wilayah tangkap nelayan kecil. “Kalau tidak dibatasi, mereka akan terus kehilangan sumber penghidupan,” ujarnya.
Kedua, pembangunan industri di darat harus diminimalkan dampaknya. Ia mencontohkan keruhnya perairan akibat sedimentasi dari pembukaan lahan besar-besaran. “Kalau pembangunan tidak dikontrol, masyarakat pesisir akan kehilangan ruang hidupnya,” tambahnya.
Sebagai alternatif, ia menekankan pentingnya pembangunan berbasis ekowisata inklusif yang ramah lingkungan. Model ini, menurutnya, bisa memberikan manfaat ekonomi sekaligus melibatkan masyarakat tanpa mengorbankan ekosistem.
Namun, bagi sebagian peneliti dan pegiat lingkungan, persoalan ini tidak cukup dijawab dengan mitigasi. Mereka menilai, jika ancaman ekologis dan sosial terlalu besar, opsi ekstrem yang perlu dipertimbangkan adalah menghentikan sama sekali pembangunan industri di kawasan pesisir tertentu, seperti Pulau Poto dan sebagian Bintan Timur.
“Kalau pembangunan terus dipaksakan, hilangnya mangrove, rusaknya terumbu karang, dan tersingkirnya komunitas adat akan jadi harga yang terlalu mahal. Tidak ada gunanya bicara investasi jika ekosistem hancur dan masyarakat adat kehilangan lautnya,” tegasnya.
Menurutnya, negara perlu berani mengambil sikap: menunda bahkan menghentikan pembangunan di kawasan yang terbukti kritis secara ekologi dan sosial. “Solusi ekstrem ini memang berat, tapi bisa menjadi pilihan terakhir demi keberlanjutan jangka panjang,” tutupnya.