Di tengah gelombang laut Selat Singapura, Ira (38) masih melaut setiap pagi di sekitar Pulau Putri dan Lagoi—jauh dari kampung halamannya di Desa Air Mas, Pulau Tanjung Sauh, Batam, Kepulauan Riau.
Ia menyelam mencari gamat, sejenis hewan laut mirip teripang yang hidup di padang lamun. Dulu, gamat mudah ditemukan tak jauh dari desanya, namun kini, padang lamun itu mulai rusak, air keruh, dan kehidupan laut perlahan lenyap di perairan Tanjung Sauh.
"Air sekarang sudah tidak bagus. Keruh gara-gara aktivitas PSN," kata Ira, anggota komunitas Suku Laut Desa Air Mas, Sabtu (8/6/2025). "Dulu saya cari gamat di hutan laut sekitar Tanjung Sauh. Sekarang harus jauh ke Pulau Putri atau Lagoi."
Gamat yang ia dapatkan dijual ke Kota Tanjung Pinang seharga Rp470 ribu per kilogram setelah direbus dan dikeringkan.
Padang lamun, adalah habitat penting bagi gamat, dugong, dan berbagai spesies ikan kecil, merupakan bagian vital dalam rantai ekosistem pesisir. Kini, kawasan ini menjadi salah satu ekosistem yang paling terdampak akibat pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Tanjung Sauh.
Berdasarkan data Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (kini BRIN) mencatat, Indonesia telah kehilangan sekitar 30 persen luas padang lamun dalam dua dekade terakhir, sebagian besar akibat reklamasi dan pembangunan pelabuhan.
Ira dan istrinya, Sumiyati (36) menggantungkan hidup sepenuhnya pada laut. Seperti halnya keluarga Suku Laut lainnya, mereka lahir dan besar di atas perahu.
"Kami dilahirkan di bawah kajang (atap daun di perahu), semua di laut. Baru sekarang kami mau didaratkan, tapi kami tidak suka tinggal di darat, karena cari makan di laut," kata Sumiyati.
Kini, kehidupan itu berada di ujung tanduk. PSN yang mencakup rencana pembangunan pelabuhan, PLTU dan kawasan industri skala besar mulai berjalan di Tanjung Sauh, dengan nilai investasi yang ditargetkan mencapai Rp190 triliun secara bertahap hingga 20 tahun ke depan.
Ira pernah diminta bekerja membantu proyek pembukaan lahan di kawasan PSN Tanjung Sauh, tetapi memilih keluar. "Saya sempat kerja sama mereka, tapi tidak dikasih minum, saya berhenti. Lebih baik kerja di laut, lebih nyaman," ungkapnya.
Tak hanya ruang hidup yang menyempit, hak-hak mereka pun kerap terabaikan. Ira mengungkapkan, warga sempat diberi uang Rp5 juta sebagai kompensasi untuk pindah ke Pulau Ngenang—tapi prosesnya tak jelas.
"Kemarin sudah terima uang paku lima juta atas nama RT. Warga di sini tidak ada yang tanda tangan untuk pindah. Kami cuma ambil uang, bukan tanda tangan setuju pindah," ujar Ira.
Sumiyati juga meminta pemerintah turun tangan. Ia khawatir ruang hidup mereka akan sepenuhnya hilang akibat masuknya investasi asing.
"Pemerintah tolonglah perhatikan masyarakat, jangan perusahaan saja yang diuntungkan, sementara kami dirugikan," katanya, lirih.
Suku Laut merupakan masyarakat adat yang telah menghuni perairan Kepulauan Riau selama berabad-abad. Gaya hidup nomaden, hidup di atas perahu, dan ketergantungan pada laut membentuk identitas mereka, namun kini, pembangunan yang mengatasnamakan kemajuan perlahan meminggirkan mereka.
"Kami merasa dikhianati. Tidak ada yang peduli," tutup Sumiyati.