Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20250611-WA0004.jpg
Suku laut Air Mas, Tanjung Sauh, Batam saat mengolah gamat hasil tangkapan (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Intinya sih...

  • Suku Laut di Tanjung Sauh, Batam, mengalami kerusakan lingkungan akibat proyek pembangunan PSN, menyebabkan habitat laut rusak dan kehidupan laut lenyap.

  • Proyek PSN juga merampas ruang hidup Suku Laut di Desa Air Mas dengan pembukaan lahan dan penimbunan hutan mangrove tanpa transparansi dan partisipasi warga.

  • Suku Laut di Kepulauan Riau mengalami marginalisasi dan kriminalisasi atas ruang hidup dan budaya mereka, yang disebut sebagai "genosida budaya" oleh peneliti.

Di tengah gelombang laut Selat Singapura, Ira (38) masih melaut setiap pagi di sekitar Pulau Putri dan Lagoi—jauh dari kampung halamannya di Desa Air Mas, Pulau Tanjung Sauh, Batam, Kepulauan Riau.

Ia menyelam mencari gamat, sejenis hewan laut mirip teripang yang hidup di padang lamun. Dulu, gamat mudah ditemukan tak jauh dari desanya, namun kini, padang lamun itu mulai rusak, air keruh, dan kehidupan laut perlahan lenyap di perairan Tanjung Sauh.

"Air sekarang sudah tidak bagus. Keruh gara-gara aktivitas PSN," kata Ira, anggota komunitas Suku Laut Desa Air Mas, Sabtu (8/6/2025). "Dulu saya cari gamat di hutan laut sekitar Tanjung Sauh. Sekarang harus jauh ke Pulau Putri atau Lagoi."

Gamat yang ia dapatkan dijual ke Kota Tanjung Pinang seharga Rp470 ribu per kilogram setelah direbus dan dikeringkan.

Padang lamun, adalah habitat penting bagi gamat, dugong, dan berbagai spesies ikan kecil, merupakan bagian vital dalam rantai ekosistem pesisir. Kini, kawasan ini menjadi salah satu ekosistem yang paling terdampak akibat pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Tanjung Sauh.

Berdasarkan data Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (kini BRIN) mencatat, Indonesia telah kehilangan sekitar 30 persen luas padang lamun dalam dua dekade terakhir, sebagian besar akibat reklamasi dan pembangunan pelabuhan.

Ira dan istrinya, Sumiyati (36) menggantungkan hidup sepenuhnya pada laut. Seperti halnya keluarga Suku Laut lainnya, mereka lahir dan besar di atas perahu.

"Kami dilahirkan di bawah kajang (atap daun di perahu), semua di laut. Baru sekarang kami mau didaratkan, tapi kami tidak suka tinggal di darat, karena cari makan di laut," kata Sumiyati.

Kini, kehidupan itu berada di ujung tanduk. PSN yang mencakup rencana pembangunan pelabuhan, PLTU dan kawasan industri skala besar mulai berjalan di Tanjung Sauh, dengan nilai investasi yang ditargetkan mencapai Rp190 triliun secara bertahap hingga 20 tahun ke depan.

Ira pernah diminta bekerja membantu proyek pembukaan lahan di kawasan PSN Tanjung Sauh, tetapi memilih keluar. "Saya sempat kerja sama mereka, tapi tidak dikasih minum, saya berhenti. Lebih baik kerja di laut, lebih nyaman," ungkapnya.

Tak hanya ruang hidup yang menyempit, hak-hak mereka pun kerap terabaikan. Ira mengungkapkan, warga sempat diberi uang Rp5 juta sebagai kompensasi untuk pindah ke Pulau Ngenang—tapi prosesnya tak jelas.

"Kemarin sudah terima uang paku lima juta atas nama RT. Warga di sini tidak ada yang tanda tangan untuk pindah. Kami cuma ambil uang, bukan tanda tangan setuju pindah," ujar Ira.

Sumiyati juga meminta pemerintah turun tangan. Ia khawatir ruang hidup mereka akan sepenuhnya hilang akibat masuknya investasi asing.

"Pemerintah tolonglah perhatikan masyarakat, jangan perusahaan saja yang diuntungkan, sementara kami dirugikan," katanya, lirih.

Suku Laut merupakan masyarakat adat yang telah menghuni perairan Kepulauan Riau selama berabad-abad. Gaya hidup nomaden, hidup di atas perahu, dan ketergantungan pada laut membentuk identitas mereka, namun kini, pembangunan yang mengatasnamakan kemajuan perlahan meminggirkan mereka.

"Kami merasa dikhianati. Tidak ada yang peduli," tutup Sumiyati.

Hutan Mangrove Tinggal di Peta

Alat berat sedang melakukan penimbunan hutan mangrove di Pulau Tanjung Sauh, Batam (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Siang itu, suara dentuman mesin ekskavator bergema hingga ke bibir pantai Pulau Tanjung Sauh. Hanya sekitar 1,2 kilometer dari kampung Suku Laut di Desa Air Mas, puluhan alat berat meratakan hutan mangrove dan menimbun kawasan pesisir. PSN di Tanjung Sauh bergerak cepat—dan menyisakan kecemasan.

Kasim (43), Suku Laut yang telah dua dekade tinggal di Desa Air Mas hanya bisa mengelus dada melihat kampung halamannya perlahan berubah.

"Kami kerja mancing, pasang kelong, bubu kepiting, udang. Sekarang mau cari lima kilo ikan saja susah," kata Kasim saat ditemui di rumah panggungnya yang menghadap laut.

Dulu, sekali melaut Kasim bisa membawa pulang 30 hingga 40 kilogram ikan karang dan ikan putih. Tapi sejak lahan dibuka dan aliran sungai ditimbun, air laut menjadi keruh. Habitat kepiting bangkang, salah satu hasil tangkapan andalan warga sudah mulai menghilang bersama lenyapnya bentangan mangrove.

"Awalnya mereka bilang cuma ratakan hutan darat. Ternyata mangrove juga ditimbun. Jelas kami tidak terima. Ini soal perut. Kalau mangrove hilang, kami makan apa?" katanya dengan suara meninggi.

Desa Air Mas dihuni lebih dari 40 kepala keluarga, mayoritas Suku Laut. Mereka menggantungkan hidup dari hasil laut dan pesisir. Namun proyek pembangunan pelabuhan dan kawasan industri yang dikerjakan oleh Panbil Group berlangsung tanpa transparansi dan partisipasi warga, kata Kasim.

"Dulu RT kami masih tinggal di sini. Jadi kalau ada keluhan, bisa langsung disampaikan. Tapi sejak lima bulan lalu dia pindah. Sekarang kami bingung mau mengadu ke siapa," ujarnya.

Pantauan langsung IDN Times di lapangan memperlihatkan pembukaan lahan skala besar tengah berlangsung di Pulau Tanjung Sauh. Hutan mangrove digusur alat berat, pesisir ditimbun, bukit-bukit dipotong.

Ekosistem mangrove yang sebelumnya tercatat dalam Peta Mangrove Nasional kini menyusut drastis. Padahal kawasan ini dihuni oleh jenis-jenis khas seperti Rhizophora, Bruguiera, dan Avicennia—yang selama ini menjadi pelindung alami garis pantai serta rumah bagi biota laut.

"Sekarang mangrove cuma ada di atas peta. Di lapangan, tinggal jadi tumpukan tanah," ucap Kasim, lirih.

Sonny Riyanto, Ketua Akar Bhumi Indonesia menyebut, pembangunan di Tanjung Sauh tak sejalan dengan komitmen perlindungan lingkungan yang selama ini diklaim pemerintah.

"Sejauh ini kami melihat pembangunan yang tidak mengikuti kaidah. Laut langsung ditimbun, mangrove dihancurkan, tanpa pengganti. Ini sangat ironis," kata Sonny.

Ia menegaskan, mangrove bukan sekadar pelindung dari abrasi. Ia adalah habitat penting bagi ikan, kepiting, udang, dan kerang—sumber pangan utama masyarakat pesisir.

"Kalau mangrove dan bukit digunduli, saat musim hujan lumpur akan turun ke laut. Sedimentasi meningkat, air keruh, dan biota pesisir hancur," ujarnya. "Ekosistem rusak, masyarakat yang menanggung."

Di lokasi yang sama, Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan mengatakan, proyek ini menghadirkan tantangan besar bagi lingkungan dan kehidupan sosial warga. Ia menyoroti belum terlihatnya kejelasan dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

"Kami menduga izin lingkungan belum ada. Karena itu kami melihat pembangunan berlangsung brutal dan asal-asalan," kata Hendrik.

Menurutnya, kawasan yang kini digarap investor itu masuk dalam Peta Mangrove Nasional. Ia menegaskan, kawasan mangrove tak hanya terbatas pada hutan lindung, tapi juga mencakup wilayah-wilayah di luar kawasan konservasi formal.

"Pemerintah seharusnya menyusun AMDAL kawasan, agar pembangunan bisa meminimalkan kerusakan. Tapi ini seperti jalan dulu, pikir belakangan," ujarnya.

Hendrik juga mengingatkan bahwa Batam merupakan wilayah kepulauan kecil yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 juncto UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-undang itu mewajibkan negara memprioritaskan perlindungan ekosistem dan keberlanjutan pulau kecil.

"Ini yang jadi kekhawatiran kami. Pulau kecil seharusnya diselamatkan, bukan dijadikan ladang ekspansi industri," tegasnya.

Menanam di Tengah Busung Pasir

Masyarakat setempat melakukan advorestasi di selat perairan Pulau Tanjung Sauh, Batam (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Di tengah selat antara Pulau Tanjung Sauh dan Pulau Ngenang, warga mulai membangun harapan. Dengan cara sederhana dan swadaya, mereka melakukan advorestasi—penanaman mangrove di atas busung, gundukan pasir yang sebelumnya tak memiliki vegetasi.

Penanaman mangrove di atas busung pasir ini dilakukan dengan teknik penanaman dengan sistem hamparan. Dengan luas 500 meter persegi, proses advorestasi yang dilakukan masyarakat tergolong sukses, dan tanaman mangrove telah mampu bertahan selama 5 tahun terakhir.

"Advorestasi ini bentuk reklamasi alami yang benar," kata Sonny. "Tanaman mangrove akan menahan sedimentasi, bahkan bisa membentuk pulau baru. Di daerah kepulauan, ini penting sekali."

Meski belum terukur pasti, Akar Bhumi Indonesia memperkirakan tingkat keberhasilan advorestasi ini bisa mencapai 30–50 persen, tergantung kondisi perairan.

"Yang dilakukan masyarakat ini sangat berbeda dengan proyek PSN. Warga ingin memulihkan alam. Pembangunan malah merusaknya," ujar Sonny.

Menurut Sonny, Pemerintah Indonesia terus menggembar-gemborkan perluasan kawasan mangrove secara nasional. Namun di lapangan, cerita berbeda—di Pulau Tanjung Sauh, yang terjadi justru sebaliknya: kerusakan masif, dan ketimpangan dalam menentukan arah masa depan.

Genosida Budaya Suku Laut di Kepri

Seorang perempuan suku laut di Kampung Panglong, Desa Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Pembangunan pesat di wilayah pesisir Kepulauan Riau, khususnya kawasan industri, pariwisata, dan perumahan, telah menimbulkan dampak serius bagi komunitas adat Suku Laut. Mereka kini dihadapkan pada marginalisasi dan bahkan kriminalisasi atas ruang hidup dan budaya mereka, sebuah kondisi yang digambarkan sebagai "genosida budaya" oleh Wengki Ariando, peneliti Nomad Laut dari Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Asia Tenggara dan Karibia (KITLV).

Wengki yang telah melakukan penelitian ekstensif bersama tim riset BRIN di Suku Laut, termasuk di Tanjung Sauh, Batam mengungkapkan bahwa, cerita penderitaan ini serupa di berbagai kampung pesisir.

"Tidak hanya di Tanjung Sauh. Di beberapa kampung lain seperti Caros dan Tanjung Gundap, ceritanya mirip: Suku Laut terdampak perluasan perumahan dan kawasan pariwisata atau relasi kekuasaan dengan masyarakat dominan, termasuk pemerintah," kata Wengki, Selasa (10/6/2025).

Bersama dengan studi kasus lainnya dari Nomad Laut Indonesia, hasil penelitian ini juga telah didokumentasikan dalam buku Merampas Laut, Merampas Hidup Nelayan: Coastal and Marine Grabbing yang sudah terbit di awal tahun 2025.

Di Pulau Caros misalnya, rencana pembangunan pelabuhan oleh perusahaan telah membuat nelayan Suku Laut kehilangan ruang tangkap mereka dan mengancam praktik budaya maritim. Hal serupa terjadi di Tanjung Gundap, di mana ancaman penggusuran halus melalui negosiasi relokasi dan hilangnya akses ke mata pencarian dan ruang laut menjadi kenyataan pahit.

Menurut Wengki, masalah ini berakar pada politik ekologi pembangunan di Kepulauan Riau yang gagal memberikan ruang perlindungan bagi identitas Suku Laut sebagai masyarakat adat.

"Identitas yang semestinya dilibatkan dalam konteks pembangunan yang dilakukan di wilayah adat (laut dan pesisir) mereka," tegasnya. Ia juga menyoroti minimnya penguatan budaya dalam konteks pengakuan yang inklusif terhadap identitas Suku Laut.

Meskipun riset menunjukkan Suku Laut cenderung menghindari konflik, mereka bukan berarti menerima begitu saja kondisi ini. Wengki mendengar langsung penolakan warga Tanjung Sauh terhadap relokasi ke darat.

"Mereka bilang, kalau harus tinggal di darat, bagaimana mau menangkap ikan? Bagaimana mau pasang kelong? Atau bagaimana mau melabuhkan perahu? Kalau dijauhkan dari laut, mereka kehilangan hidup," ungkap Wengki, menekankan bahwa bagi Suku Laut, jarak dari laut bukan sekadar lokasi, melainkan kehilangan jati diri.

Wengki menjelaskan, Suku Laut adalah komunitas maritim Asia Tenggara yang hidupnya berorientasi penuh pada laut. "Laut bukan hanya sumber makan, tapi juga ruang spiritual, ruang sosial, dan ruang kehidupan," katanya.

Ketika mereka dipaksa didaratkan, "biokultural" mereka perlahan menghilang. Konsep biokultural ini menekankan bahwa manusia dan kebudayaannya tidak bisa dipisahkan dari lingkungan biologis tempat mereka hidup, dan sebaliknya. Interaksi antara keduanya saling membentuk dan memengaruhi.

Isu yang menimpa Suku Laut di Kepulauan Riau ini, kata Wengki, juga ditemukan di negara lain seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura, yang juga memiliki komunitas Suku Laut. Ia mengkritik minimnya perhatian dari berbagai pihak terhadap komunitas Suku Laut di Kepri.

"Tak ada paguyuban atau asosiasi yang secara konsisten menyuarakan nasib mereka di ruang-ruang kebijakan pembangunan," keluhnya. Bahkan kampus-kampus maritim di Batam dan sekitarnya dinilai abai dalam penguatan gerakan dan hak masyarakat termarjinalkan.

"Ada kampus maritim, tapi sejauh ini saya belum melihat mereka bicara soal Suku Laut di luar menjadikan mereka sebagai objek riset saja," lanjutnya.

Ketimpangan akses terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan mata pencarian dinilai masih jauh dari kata layak. Wengki tak ragu menyebut kondisi ini sebagai bentuk genosida budaya.

"Suku Laut di Batam dan Kepri sedang dipaksa untuk didaratkan, demi pembangunan yang tidak berpihak pada mereka. Itu genosida budaya," ujarnya.

Ia menyimpulkan bahwa banyak pihak gagal memahami Suku Laut karena terjebak dalam cara pandang daratan, yang menilai budaya sendiri lebih unggul dari budaya lain—sebuah bentuk etnosentrisme. Padahal, Indonesia memiliki warisan maritim yang kaya dan selama ini tertinggal di masyarakat Suku Laut dan kelompok Nomad Laut lainnya.

"Kalau identitas mereka hilang, kita kehilangan jejak nenek moyang pelaut. Mereka ini yang tersisa dari semboyan itu," pungkas Wengki.

Editorial Team