Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20251021-WA0029.jpg
Deswita seorang pembimbing anak-anak dalam kegiatan Maghrib Mengaji di Masjid Al-Muawannah, Medan Sunggal (Dok. Istimewa)

Intinya sih...

  • Deswita, guru Maghrib Mengaji di Masjid Al-Muawannah, Medan Sunggal

  • Mengajarkan iqra dan Al-Qur’an dengan ketulusan dan kesabaran

  • Mengajar sebagai panggilan hati, menumbuhkan semangat mengaji di masjid

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times - Di kawasan Medan Sunggal, tepatnya di sekitar Masjid Al-Muawannah, suara anak-anak melantunkan ayat suci Al-Qur’an terdengar lembut menyapa sore yang beranjak malam. Setiap kali azan Maghrib berkumandang, saf depan masjid itu selalu dipenuhi wajah-wajah ceria anak-anak yang membawa iqra dan mushaf kecil di tangan.

Di antara mereka, tampak seorang perempuan berusia 63 tahun dengan senyum teduh dan suara lembut menyambut satu per satu muridnya. Dialah Deswita, sosok yang selama sepuluh tahun terakhir mendedikasikan hidupnya untuk membimbing anak-anak dalam kegiatan Maghrib Mengaji di Masjid Al-Muawannah, Medan Sunggal.

1. Berawal dari ruang tamu sederhana, Deswita menuntun anak-anak sekitar belajar iqra dan Al-Qur’an

Deswita seorang pembimbing anak-anak dalam kegiatan Maghrib Mengaji di Masjid Al-Muawannah, Medan Sunggal (Dok. Istimewa)

Sebelum dikenal sebagai guru Maghrib Mengaji di Masjid Al-Muawannah, Deswita telah lebih dulu mengajar anak-anak di rumahnya. Dari ruang tamu sederhana, beliau menuntun anak-anak sekitar belajar iqra dan Al-Qur’an, berbekal niat tulus untuk menebarkan ilmu agama.

“Dulu saya cuma ngajar anak-anak tetangga di rumah, sekadar mengisi waktu sore. Tapi lama-lama, semakin banyak yang datang,” kenangnya dengan senyum hangat.

Ketulusan dan kesabarannya dalam membimbing anak-anak membuat masyarakat sekitar menaruh kepercayaan besar kepadanya. Karena dedikasinya itu, Badan Kenaziran Masjid (BKM) Al-Muawannah kemudian memintanya bergabung sebagai guru dalam program Maghrib Mengaji pada tahun 2015.

Sejak saat itu, Ibu Deswita tak hanya mengajar di rumah, tetapi juga menjadi bagian dari gerakan keagamaan yang menyemarakkan semangat religius di lingkungan sekitar masjid.

2. Menumbuhkan semangat mengaji di masjid

Deswita seorang pembimbing anak-anak dalam kegiatan Maghrib Mengaji di Masjid Al-Muawannah, Medan Sunggal (Dok. Istimewa)

Kini, setiap sore menjelang malam, sekitar dua puluh anak rutin mengikuti kegiatan Maghrib Mengaji di Masjid Al-Muawannah. Di sana, mereka belajar membaca iqra dan Al-Qur’an, menulis huruf Arab, menghafal surat-surat pendek, serta memahami tajwid dasar.

Bagi Ibu Deswita, mengajar bukan sekadar membimbing membaca, tetapi juga menanamkan adab dan akhlak.“Saya ajarkan mereka untuk selalu hormat pada guru dan orang tua, juga supaya jujur saat belajar. Karena mengaji itu bukan hanya soal membaca, tapi juga belajar jadi pribadi yang baik,” ujarnya dengan lembut.

Kedekatan antara Ibu Deswita dan para muridnya begitu hangat. Pernah suatu kali beliau berhalangan hadir karena kurang sehat, namun anak-anak tetap datang ke masjid dan menunggu. “Mereka bilang, ‘Bu, ngaji aja di rumah Ibu.’ Saya terharu sekali. Bahkan waktu hujan deras pun, mereka rela datang dengan baju basah hanya untuk belajar,” kenangnya penuh haru.

3. Mengajar sebagai panggilan hati

Deswita seorang pembimbing anak-anak dalam kegiatan Maghrib Mengaji di Masjid Al-Muawannah, Medan Sunggal (Dok. Istimewa)

Bagi Deswita, mengajar Al-Qur’an bukanlah pekerjaan, melainkan bentuk pengabdian dan ibadah. Di usia yang tidak lagi muda, ia merasa setiap kesempatan mengajar adalah karunia yang harus disyukuri. “Saya ini sebenarnya sudah tua, kalau belajar mungkin susah paham. Tapi Allah kasih saya kemampuan untuk mengajar anak-anak. Itu bukan karena saya pintar, tapi karena Allah yang menolong. Mungkin karena keikhlasan juga, Allah bukakan jalan,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.

Selama bertahun-tahun, Dewsita telah membimbing banyak anak hingga mampu membaca Al-Qur’an dengan lancar. Ada yang kini beranjak dewasa, melanjutkan pendidikan, bahkan sudah berkeluarga. Namun bagi Ibu Deswita, kebahagiaan sejati adalah ketika murid-muridnya tumbuh menjadi generasi yang cinta Al-Qur’an. “

Kadang kalau bertemu di jalan, mereka menyapa dengan sopan, bilang ‘Bu, saya dulu ngaji sama Ibu.’ Rasanya hati ini hangat sekali. Itu rezeki yang tidak ternilai,” ujarnya dengan senyum penuh syukur.

4. Kisah yang membekas di hati

Deswita seorang pembimbing anak-anak dalam kegiatan Maghrib Mengaji di Masjid Al-Muawannah, Medan Sunggal (Dok. Istimewa)

Dari sekian banyak pengalaman mengajar, ada satu kisah yang tak pernah ia lupakan. Ia pernah membimbing seorang anak dengan keterbatasan dalam berkomunikasi yang hanya bisa memahami ucapan orang dengan membaca gerakan bibir. Prosesnya tidak mudah, tetapi Ibu Deswita tak pernah menyerah.

Hari demi hari, ia sabar menuntun anak itu hingga akhirnya mampu membaca Al-Qur’an dengan lancar. “Itu pengalaman paling berharga dalam hidup saya. Setiap kali dia berhasil membaca, saya menangis haru. Saya tahu, itu semua karena pertolongan Allah,” tuturnya lirih.

Kini, selain mengajar anak-anak di Maghrib Mengaji, Deswita juga kerap diminta memberikan bimbingan Al-Qur’an kepada keluarga-keluarga di sekitar lingkungan masjid. Kepercayaan itu menjadi bukti bahwa ketulusan dan keikhlasannya benar-benar dirasakan masyarakat.

5. Pijar keikhlasan yang tak pernah padam

Deswita seorang pembimbing anak-anak dalam kegiatan Maghrib Mengaji di Masjid Al-Muawannah, Medan Sunggal (Dok. Istimewa)

Setiap selesai mengajar, Ibu Deswita memiliki kebiasaan yang menyentuh hati.“Saya sering mengusap kepala anak-anak dan berdoa dalam hati, semoga ilmu yang saya ajarkan bermanfaat buat mereka. Kalau nanti saya sudah gak ada, semoga mereka terus ingat dan bisa mengamalkannya,” ucapnya pelan, dengan nada penuh kasih.

Setiap sore menjelang malam, suasana Masjid Al-Muawannah kembali hidup oleh semangat anak-anak yang mengaji. Di antara suara tadarus mereka, terselip doa dan harapan seorang guru yang terus berjuang menyalakan cahaya ilmu di tengah masyarakat.

Kisah Ibu Deswita mengajarkan bahwa dakwah tidak selalu dilakukan dari mimbar besar, tetapi juga bisa tumbuh dari kesederhanaan, dari keikhlasan seorang guru yang mencintai ilmunya. “Selama saya masih bisa, saya akan terus mengajar. Karena bagi saya, mengajar itu bukan pekerjaan. Itu panggilan hati,” tutupnya dengan senyum yang menenangkan.

Editorial Team