Suara Marniati, Guliran Siksaan di Rumoh Geudong

Banda Aceh, IDN Times - Suara Marniati (56) berubah parau. Matanya mulai berkaca-kaca. Bicaranya mulai terbata-bata. Pikirannya kalut kala mengingat Rumoh Geudong. Satu situs sejarah dari konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia (RI).
Bagi perempuan warga Tangse, Kabupaten Pidie, Aceh itu, Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) Sektor A-Pidie saat Darurat Operasi Militer (DOM) di Aceh kurun waktu 1989-1998 tersebut bagaikan momok menakutkan tetapi tidak boleh dilupakan.
“Saya sedih kalau ditanya Rumoh Geudong. Tidak bisa saya mengingatnya, trauma saya,” ucap Marniati memberanikan diri bercerita mengenai peristiwa dialaminya kala mendekam di bangunan yang terletak di Gampong Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie itu.
Ketika ditemui IDN Times jelang penghujung Juni 2023, perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai penjual kue tersebut ditemani anak keduanya, Dedi M Nur Dahri (26). Mereka merupakan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
1. Saya tidak lupa, tanggal 17 bulan tujuh tahun 97, saya sekeluarga dijemput paksa
Lupa? Marniati tidak lupa atas penyiksaan yang dialaminya saat di Rumoh Geudong. Dia secara tegas mengaku masih mengingat semua tindakan yang dibuat para tentara beserta cuak -sebutan untuk warga sebagai tenaga pembantu operasi- kala itu.
Kejadian bermula saat sejumlah tentara mendatangi kediaman Marniati di Tangse, pada Kamis, 17 Juli 1997, malam. Keluarganya dituding turut membantu kelompok GAM wilayah setempat. “Kami dijemput dari rumah. Dibilangnya kami membantu GAM,” ujarnya.
Tuduhan itu membuat Marniati yang sedang hamil enam bulan beserta Hanafiah -suami-, ayah serta anak keduanya dijemput paksa. Hanya anak pertama Marniati yang tidak dibawa karena ketika itu berada di rumah sang adik.
Tentara membawa Marniati beserta tiga keluarganya ke Pos Sattis di kawasan Lamlo, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie. Mereka yang disinggahkan bermalam, langsung mendapat penyiksaan.
“Malam Jumat, tanggal 17 bulan tujuh tahun 97. Kalau dibilang dan diingat tentunya saya tidak lupa,” ucapnya.
Tak tega melihat ayahnya disiksa hingga terluka parah. Marniati sempat menyuruh mereka yang melakukan penyiksaan di pos tersebut untuk membunuh dia dan keluarganya tanpa disiksa.
“Bunuh saja kami. Saya rela mati daripada disiksa,” ucapnya mengulang kembali.
Aparat yang melakukan penyiksaan saat itu malah ingin menembak Marniati dan keluarganya. Meski belakangan tindakan urung dilakukan hingga penyiksaan berhenti untuk malam itu. Sementara empat tahanan itu telah mandi darah.
Penyiksaan dialami Marniati beserta keluarga di Pos Sattis Lamlo belum berakhir. Malah malam itu menjadi awal dari penindasan lanjutan hingga membekas di ingatan perempuan berusia 56 tahun tersebut.
Jumat, 18 Juli 1997, malam, Marniati dipisahkan dari suami dan ayahnya. Dia beserta Dedi yang kala itu masih berusia 18 bulan, dibawa aparat ke Pos Sattis di Gampong Bili atau lebih dikenal Rumoh Geudong.
Di tempat tersebut, Marniati dan putranya dikurung dalam ruangan tanpa ada lampu sebagai penerangan. Bahkan perempuan itu harus menyuap putranya yang kerap menangis lantaran kalut tak kunjung surut.
Selama di tempat itu, penyiksaan terus saja dilancarkan kepada Marniati. Aparat yang melakukan penyiksaan hanya meminta agar perempuan itu mau memberitahu keberadaan anggota GAM.