Potret udara kondisi Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis (11/12/2025) pasca diterjang banjir pada Rabu (26/11/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)
Gelondongan kayu yang ditemukan di Aceh Tamiang hanyalah temuan kecil. Temuan serupa juga terjadi di banyak titik banjir Sumatra. Fenomena ini menjadi indikasi kerusakan lingkungan yang masif dan berujung pada bencana. Deputi Direktur Program Seameo Biotrop yang juga mantan Kepala Pusat Studi Bencana IPB University Doni Yusri, menilai bencana alam diperparah dengan kondisi kerusakan kawasan penting di Sumatra. Salah satunya kawasan Bukit Barisan yang seharusnya menjadi benteng pertahanan alam.
"Dengan perubahan iklim ini kita tidak dapat menebak seberapa besar intensitas air dan seberapa besar daya lingkungan bisa menahannya. Apalagi iklim makin susah diprediksi perubahannya, ditambah daya lingkungan makin lemah," ungkapnya.
Doni kembali menegaskan, bencana di Sumatra bukan terjadi karena faktor alamiah. Kerusakan, baik secara legal maupun ilegal, telah membuat alam lambat meregenerasi dirinya.
Kayu-kayu raksasa yang menghantam rumah Muchtar bukanlah ulah alam semata. Penelusuran IDN Times melalui citra satelit (OSINT) menunjukkan bahwa di hulu, hutan yang dulu rimbun kini telah botak. Menggunakan pantauan Google Earth dan rekam jejak hingga 15 tahun terakhir, terlihat jelas pembukaan lahan terjadi di sejumlah kawasan terdampak. Di sekitar Muara Sibuntuon, Sibabangun, Tapanuli Tengah, terlihat perbedaan luasan wilayah vegetasi.
Pada 30 Desember 2020, belum terlihat adanya kebotakan di wilayah seluas 156.549 meter persegi. Tapi, per 1 Desember 2025, luasan tersebut sudah terlihat gundul dari citra satelit.
Kemudian, di wilayah Batang Toru, dekat kawasan hutan lindung, ada perbedaan besar yang tercipta selama 15 tahun. Sebuah wilayah seluas 1.168,31 hektare, pada 12 Desember 2010 masih didominasi area vegetasi. Namun, per 1 Desember 2025, wilayah tersebut sudah terbuka.
Bergeser ke wilayah Tapanuli Selatan, di dekat air terjun Lubuk Harapan, ada wilayah vegetasi yang kehilangan 47,62 hektare area hijaunya, ditinjau dari citra satelit per 1 Desember 2025. Padahal, pada 25 Juni 2020, area tersebut terlihat masih dipenuhi pepohonan. Area hijau yang hilang ini setara nyaris lima kali luas Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK).
"Pastinya, kalau di Indonesia, terutama di Pulau Sumatra, sejak 1990 sampai dengan tahun ini, tutupan hutan alaminya semakin tergerus gitu ya, semakin hilang. Bahkan sampai saat ini berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan, luas hutan di Pulau Sumatra itu secara keseluruhan hanya tinggal 11,6 juta hektare," kata Kepala Kampanye Kehutanan Greenpeace, Kiki Taufik kepada IDN Times.
"Jadi, luas tutupan hutan alami yang ada di Indonesia secara keseluruhan itu sekitar 89,5 juta hektare. Jadi artinya dengan sisa 11,6 juta artinya hanya sekitar 12 sampai 13 persen. Tutupan hutan yang ada di Pulau Sumatra," dia menambahkan.
Ekspansi perkebunan sawit di Sumatra juga dinilai berkontribusi pada hilangnya kawasan hutan. Data MapBiomas pada 2024 menunjukkan, area hijau di Sumatra Utara memiliki luas hingga 2.527.275 hektare, dengan 97,5 persen di antaranya merupakan hutan. Selain itu, ada juga area vegetasi lain seluas 544.963 hektare dan mangrove 55.094 hektare. Sementara, luas sungai, danau, hingga laut mencapai 148.433 hektare.
Kemudian, wilayah non-vegetasi yang didiami penduduk sebesar 197.639 hektare dari 208.648 hektare. Dari data yang didapat, sebesar 420 hektare merupakan area pertambangan.
Luasan pertanian dan perkebunan di Sumatra Utara saat ini tercatat 3.807.756 hektare. Komposisinya, 2.115.976 hektare area kebun sawit, lalu 1.213.595 hektare pertanian lain, 395.543 hektare lahan sawah padi, dan 82.641 merupakan pertanian kayu kertas.
Dibandingkan dengan 10 tahun lalu, perkembangan luasan lahan tambang dan kelapa sawit menjadi yang paling besar pertumbuhannya. Di 2014, luasan tambang di Sumatra Utara mencapai 156 hektare. Sementara, pada 2024 menyentuh 420 hektare.
Secara spesifik melihat formasi lahan di Tapanuli Tengah, perluasan paling signifikan terjadi pada area perkebunan kelapa sawit. Pada 2014, luasan kelapa sawit di Tapanuli Tengah baru 35.089 hektare. Tapi, 10 tahun kemudian sudah mencapai 45.390 hektare. Perluasan wilayah kelapa sawit sudah terlihat sejak 1995. Areanya terus meningkat setiap tahunnya, hingga 2024 lalu. Peningkatan luasan perkebunan ini juga terjadi pada sejumlah daerah terdampak lainnya.
Selain perkebunan, aktivitas pertambangan juga memberi andil dalam kerusakan lingkungan. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyatakan berdasarkan data yang diolah dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), terlihat Sumatra telah diperlakukan sebagai zona pengorbanan untuk tambang minerba.
Sedikitnya menurut data JATAM, ada 1.907 wilayah izin usaha pertambangan minerba aktif dengan total luas 2.458.469 hektare di Sumatra. Kepadatan izin ini, kata Melky, terkonsentrasi di Bangka Belitung (443 izin), Kepulauan Riau (338), Sumatra Selatan (217), Sumatra Barat (200), Jambi (195), dan Sumatra Utara (170).
"Sementara, provinsi lain seperti Lampung, Bengkulu, Aceh, dan Riau juga dijejali puluhan hingga ratusan izin di darat maupun laut," ujarnya.
Melky menegaskan, banjir bandang di Sumatra sebagai akibat dari campur tangan manusia. Pengaruh siklon senyar sebagai efek cuaca ekstrem tidak bisa menjadi narasi tunggal dalam bencana Sumatra.
Pemerintah juga mengamini banjir yang terjadi disebabkan oleh kerusakan lingkungan. Salah satu yang mengamininya adalah Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.
"Tuhan sudah memberikan peringatan lewat peristiwa di Aceh, Sumatra Barat dan Sumatra Utara bahwa kita tidak menjaga hutan lindung. Apa yang kemudian terjadi? Lalu terjadi longsor, banjir, dan memakan korban lebih dari 900 jiwa. Ini kesalahan siapa? Kesalahan kita semua karena tidak menjaga sistem kita," ujar Sjafrie seperti dikutip dari Unhas TV, Jumat (12/12/2025).
Soal kerusakan lingkungan itu juga disampaikan tersirat oleh Presiden Prabowo Subianto ketika mengunjungi Kabupaten Aceh Tamiang, Jumat (12/12/2025). Dia mengingatkan soal pentingnya menjaga lingkungan.
"Kita sekarang harus waspada, hati-hati. Kita harus jaga lingkungan kita. Alam kita harus kita jaga, kita tidak boleh tebang pohon sembarangan," ujar Prabowo di posko pengungsian sebagaimana dikutip dari akun YouTube Sekretariat Presiden, Jumat.
Muchtar, Herman, Saimah dan warga lainnya yang menjadi penyintas bukanlah angka semata. Mereka membutuhkan aksi nyata pemerintah dalam tata kelola hutan dan lingkungan yang baik. Sehingga mereka tidak lagi menjadi korban. Jangan sampai, pidato tentang menjaga alam hanyalah bunyi - bunyian semata.
Banjir bandang dan longsor membuat Sekumur harus merasakan kiamat kecil. Mereka belum tahu, kapan kondisi akan membaik. Apakah Sekumur harus merasakan kehilangan kampung keempat kalinya? Tentu warga tidak ingin. Butuh keberpihakan pemerintah, untuk membuat Sekumur dan daerah lain yang terdampak.