Seorang Masyarakat Kampung Tua Pasir Panjang sedang membawa Bunga Mayang dan Pulut Paha (IDN Times / Putra Gema Pamungkas)
Saat ini, Budaya Melayu di Pulau Rempang berada di ujung tanduk titik kehancuran setelah keasliannya dianulir pemerintah usai adanya rencana investasi bersekala jumbo.
Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengusahaan (BP) Batam bekerjasama dengan pengembang swasta, PT Makmur Elok Graha (MEG) untuk mengelola kawasan Pulau Rempang sebagai proyek Rempang Eco City. Di dalam proyek ini, secara perdana PT MEG menggandeng Xinyi Glass Holdings Ltd, produsen kaca dan panel surya asal China.
Rencana investasi tahap awal di Pulau Rempang ini, Xinyi Glass akan menggelontorkan investasi sebesar Rp178 triliun. Investasi ini juga akan menghasilkan investasi sebesar Rp381 triliun pada tahun 2080 mendatang.
Di dalam tahapannya, terdapat penolakan dari masyarakat asli Pulau Rempang dan gejolak pertama pecah pada 7 September 2023 lalu. Pecahnya aksi penolakan ini terjadi ketika BP Batam bersama para personel yang dipersenjatai memaksa memasuki wilayah Pulau Rempang. Masyarakat kalah saat itu, 12 orang diamankan pihak kepolisian.
Selanjutnya, gerakan lebih besar terjadi pada 11 September 2023 lalu, di mana saat itu ribuan para pendukung dari berbagai penjuru Indonesia memusatkan perhatiannya atas kasus agraria yang terjadi di Pulau Rempang.
Saat itu, ribuan massa aksi solidaritas untuk Rempang melakukan aksi penolakan di depan gedung BP Batam, Kota Batam. Massa aksi tidak bisa dibendung dan pengerusakan gedung BP Batam oleh massa susupan terjadi.
Pihak kepolisian tidak tinggal diam, menggunakan peralatan lengkap pihaknya melakukan pukul mundur massa aksi dan diakhiri dengan ditangkapnya 35 massa aksi. Total 42 orang diamankan dan proses hukumnya berjalan hingga saat ini.
Profesor Abdul Malik menilai, langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk memaksa masyarakat Pulau Rempang menerima investasi ini adalah suatu kejahatan yang serius.
"Tidak tau saya apa itu kriminal kalau mempertahankan kampung halamannya, bagi saya manusiawi jika setiap orang mempertahankan rumahnya. Yang sangat kita miris itu adalah, ini kan di bangsa kita sendiri yang menurut dari kajian-kajian saya selama ini, Belanda saja dahulu tidak melakukan hal-hal seperti ini. Kelebihan Belanda itu menjajah kita tapi tidak menggusur orang-orang," lanjutnya.
Agar investasi ini dapat terus berjalan, ia menilai agar pemerintah tidak melakukan relokasi terhadap masyarakat setempat, melainkan dapat memperdayakan masyarakat untuk kembali mengedepankan nilai-nilai sejarah budaya.
Dengan masuknya investasi yang besar dan nilai budaya yang istimewa, Pulau Rempang dinilai kedepannya akan menjadi lokasi investasi yang baik dengan mengedepankan nilai-nilai sejarah masyarakat setempat.
"Jadi jangan dipindahkan. Biarkan mereka (masyarakat) tetap berada di kampungnya dan investasi berjalan secara berdampingan. Pemerintah dapat memperdayakan masyarakat setempat melalui pariwisata yang kaya akan budaya, seperti di Jogja," tutupnya.