"Sebelum semua ini rusak dan jadi kawasan industri, mari kita menyelam sekali lagi,” kata Rio Martadi usai berdoa bersama para penyelam—sebelum turun ke laut. Suaranya teredam pelan di antara gemuruh angin laut timur Pulau Bintan.
Di pesisir timur Pulau Bintan, Kepulauan Riau, tersembunyi sebuah gugusan kecil bernama Pulau Poto. Namanya jarang terdengar di meja perundingan wisata nasional, apalagi dalam daftar tujuan pelesir arus utama.
Tapi bagi mereka yang pernah menyelam di bawahnya, Pulau Poto adalah surga yang belum tercemar. Karang-karangnya masih kokoh berdiri, ikan-ikan karang berseliweran, dan sesekali, jika beruntung, seekor penyu sisik melintas diam-diam.
Namun, 'surga' bawah laut ini sedang di ujung tanduk. Pulau Poto telah masuk dalam skema Proyek Strategis Nasional (PSN) Toapaya yang dikembangkan oleh PT Galang Batang Kawasan Ekonomi Khusus (GBKEK). Rencana besarnya adalah membangun kilang minyak, kompleks petrokimia, dan pelabuhan bersekala besar—sebuah kawasan industri raksasa akan dibangun di atas dan di sekitar pulau kecil itu.
Di tengah bayangan ambisi industrialisasi di pesisir ini, 27 April 2025, sekelompok penyelam profesional memutuskan untuk bertindak. Mereka memilih untuk menyelam, mengumpulkan data, merekam bukti, dan mengangkat kisah dari dasar laut Pulau Poto.