Ilustrasi Koperasi Merah Putih di Semarang. (IDN Times/Fariz Fardianto)
Secara pengalaman masa lalu pada pembentukan Koperasi Unit Desa (KUD) yang menunjukkan koperasi tersebut dibentuk secara “top-down”, tanpa kesiapan Sumber Daya Manusia yang memadai, cenderung mandek atau bahkan menjadi beban.
Lanjutnya, banyak koperasi desa sebelumnya gagal karena dikelola seadanya, tanpa akuntabilitas dan semangat kolektif yang kuat. Maka dari itu, penting untuk bertanya, apakah masyarakat benar-benar siap mengambil alih tanggung jawab kelembagaan ini. Apakah pendampingan dan pelatihan SDM sudah berjalan setara dengan semangat pembentukan koperasi yang massif. Apalagi pemerintah sedikit memaksakan diri untuk mendirikan lebih dari 80.000 Koperasi Desa Merah Putih.
Selain itu, fungsi koperasi yang menjalankan bisnis strategis, seperti distribusi LPG, sembako, dan obat bisa berpotensi menimbulkan gesekan dengan pelaku ekonomi lokal yang sudah lama beroperasi di desa, seperti pedagang kecil atau pengecer tradisional.
"Jika Koperasi Desa merah Putih dijalankan tanpa prinsip inklusif dan malah memonopoli akses barang subsidi, ia bisa berubah menjadi alat ekonomi eksklusif yang justru memarginalkan pelaku usaha lainnya. Hal ini perlu diantisipasi dengan regulasi yang jelas dan mekanisme pengawasan yang kuat agar koperasi tidak dikuasai segelintir elit lokal," jelas pengamat ekonomi di Sumut ini.
Sedangkan, Koperasi Desa Merah Putih memang memiliki peluang untuk berkembang, karena mendapat dukungan besar dari pemerintah. Namun juga mengemban banyak tantangan.
Program ini bisa menjadi instrumen transformasi ekonomi dari bawah, asalkan tidak hanya dibangun secara formal, tetapi juga disertai dengan proses pembelajaran, pengurus yang profesional, serta kesadaran kolektif masyarakat desa. Tanpa itu semua, koperasi hanya akan menjadi proyek seremonial yang meredup setelah euforia peresmian.
"Tetapi bila dijalankan dengan hati-hati, transparan, dan berbasis kebutuhan nyata warga, koperasi desa ini bisa menjadi tonggak penting menuju kemandirian ekonomi bangsa. Kita butuh koperasi yang bukan hanya hidup, tapi juga benar-benar menghidupi masyarakat banyak khususnya di perdesaan," tutur Benjamin.
Maka, jika melirik kebelakang lagi pada Koperasi Unit Desa ini sepertinya tidak jauh beda. Padahal, seperti yang diketahui bahwa KUD pada jamannya dulu tidak berjalan dengan baik atau tepat.
Dia menjelaskan secara bentuk, keduanya memang tampak serupa yaitu sama-sama koperasi yang berbasis desa dan bertujuan mendekatkan layanan ekonomi kepada masyarakat. Keduanya juga didorong oleh negara, dan sama-sama melibatkan peran pemerintah dalam pembentukan, pembinaan, hingga pembiayaan. Namun, kesamaan bentuk tidak serta-merta berarti kesamaan substansi dan pendekatan. Justru di sinilah letak pembeda yang penting untuk dianalisis.
KUD pada masa Orde Baru cenderung merupakan proyek negara yang sangat sentralistis, dengan pengelolaan yang top-down dan minim partisipasi warga. Banyak KUD dijalankan oleh perangkat desa atau tokoh lokal yang tidak benar-benar mewakili kepentingan kolektif.
Lanjutnya, KUD kala itu menjadi saluran distribusi berbagai program pemerintah misalnya pupuk, kredit, dan gabah. Tapi, tidak dikelola secara profesional dan cenderung birokratis. Akibatnya, KUD kehilangan semangat koperasi yaitu kekeluargaan, kepercayaan, dan keswadayaan warga.