Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Pesta Adat Batak (IDN Times/Arifin Al Alamudi)
Ilustrasi Pesta Adat Batak (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Medan, IDN Times – Anggota Panitia Khusus Perubahan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Pansus Perubahan Perda KTR) DPRD Medan menyarankan kepada warga agar meniadakan penyajian rokok pada acara adat Batak. "Pasalnya merokok merusak kesehatan diri sendiri dan orang lain yang menghirup asapnya. Pada acara adat Batak seperti martumpol, pesta pernikahan dan acara adat lainnya, selalu ada rokok disajikan untuk hula-hula, tulang, dan rekan STM," saran Henry Jhon Hutagalung dari Fraksi PSI, Minggu (31/8/2025).

Usulan ini menuai tanggapan dari Pengamat Budaya Batak, Marojahan Andrian Manalu. Pria yang akrab disapa Ojax Manalu ini menuturkan bahwa bentuk kebudayaan yang sudah turun temurun tentu akan sulit diubah karena banyak unsur yang terkandung di dalamnya. Terlebih, tradisi ini sudah diadopsi serta diamini secara lisan oleh masyarakat luas.

“Sehingga sulit kita menerapkan jika merokok dilarang dalam adat Batak, karena itu sudah turun temurun bagian dari adat Batak. Bahkan, jika tidak memberikan rokok di meja raja-raja itu artinya pemilik acara tidak menghargai, tidak menghormati mereka. Itu sulit dilaksanakan. Kalau mau dilaksanakan butuh waktu panjang agar diterima, karena budaya tidak instan terjadinya,” papar Direktur Rumah Karya Indonesia (RKI) ini.

1. Dalam Budaya Batak, menyajikan rokok adalah tanda penghormatan pada tamu

Marojahan Andrian Manalu atau Ojax Manalu (Dok. Pribadi)

Pandangan Ojax, dalam adat suku Batak, rokok bukan sekadar suguhan, melainkan sebagai sarana alat menghargai raja-raja. “Dalam adat, menyediakan rokok kepada tamu yang datang adalah bentuk penghargaan. Rokok juga sebagai sarana untuk mencairkan suasana dan mengakrabkan diri antar pihak. Bahkan kalau tidak ada rokok disediakan, yang punya hajat bakal dianggap pelit,”sebutnya.

Sejalan dengan hal tersebut, Ojax berharap Rancangan Perda KTR Medan yang baru tidak secara langsung memaksa pelarangan rokok dalam kegiatan adat. Menurutnya, jika dipaksakan, akan terjadi situasi kontra dari masyarakat. Mengingat hal ini berkaitan dengan sesuatu yang sudah diyakini turun temurun.

“Bayangkan ada sesuatu yang biasa dilakukan, sudah turun temurun dilakukan, tiba-tiba dilarang. Tidak adil, ya. Saya belum bisa membayangkan jika rokok itu dilarang, karena itu bagian dari sosial budaya. Dalam ruang budaya Batak, rokok pun sudah dijauhkan dari anak-anak. Kalau ujug-ujug dibuat peraturan yang langsung melarang, pasti banyak dampak dan penolakan dari masyarakat Batak,” tambah Ojax.

2. DPRD jangan mencampuri urusan kearifan lokal

ilustrasi suku Batak (dok.commons.wikimedia.org/Pratechno)

Penolakan masyarakat terhadap usulan Henry untuk meniadakan penyajian rokok pada acara adat Batak pun sebetulnya sudah terlihat di media sosial seperti Tiktok. Dalam unggahan akun @ellatour_batakunique, sejumlah warganet mengkritisi wacana ini.

Akun Henri Hutasoit mempertanyakan “apakah tidak ada lagi yang lebih mendesak buah pikiran bapak ini untuk kehidupan rakyat, kok mencampuri urusan kearifan lokal.”

Senada, Mawi_Manalu berkomentar “masih banyak yang lebih fundamental dan mendesak di dalam masyarakat yang lebih penting diurus daripada sebuah rokok”. Ada juga komentar dari Robert Pardede yang menginginkan DPRD untuk memenuhi janji kampanye terlebih dahulu, alih-alih mencampuri urusan adat.

3. APINDO Minta Raperda KTR Medan Tidak Semakin Bebani Pelaku Usaha

Rapat Pansus Raperda KTR Medan, Senin (22/9/2025) (Dok. IDN Times)

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kota Medan meminta legislatif dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) agar tidak menekan dan membebani pelaku usaha. Hal ini mengingat tak sedikit dorongan implementasi Raperda KTR di beberapa daerah yang sangat ketat, pada akhirnya memukul industri hasil tembakau (IHT).

Salah satu anggota APINDO Kota Medan, yang mewakili elemen IHT yakni PT Sumatra Tobacco Trading Company (STTC) Siantar memaparkan bahwa pihaknya bukanlah anti-regulasi namun berharap Raperda KTR Medan yang lahir ke depan dapat menjadi regulasi yang adil, berimbang dan implementatif.

"Selama ini, apapun peraturan yang dibuat pemerintah, kami selalu mematuhi. Di sisi lain, peredaran rokok ilegal yang terang-terangan terjadi di depan mata tidak bisa ditangani oleh pemerintah dan penegak hukum. Industri rokok selama ini mendapatkan perlakuan (aturan) yang sangat memberatkan. Kami taati aturannya, tapi yang jadi masalah itu industri kita dirusak oleh rokok-rokok ilegal. Kami sudah udah melapor kemana-mana tapi tidak ada hasilnya,” papar Pin Pin, Public Relation PT STTC, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Pasus Raperda KTR DPRD Medan, Senin (22/9/2025).

Tekanan yang dialami industri tembakau, lanjut Pinpin, bukan saja peraturan seperti Raperda KTR, namun juga pajak dan cukai hasil tembakau (CHT) yang beberapa tahun terakhir ditargetkan semakin tinggi. Padahal pemerintah pusat dan daerah kerap menikmati kontribusi dari industri tembakau berupa dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT).

Yang juga menjadi sorotan APINDO terkait Raperda KTR Medan, agar aturan tersebut harus adil, berimbang dan tidak melebihi wewenang regulasi di atasnya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 2024.

"Kami juga berharap Raperda KTR harus mempertimbangkan keberlangsungan pedagang kecil dan retail di Kota Medan. Aturannya jangan keras-keras. Kasihani pedagang kecil, UMKM, dan retailer, jangan ada larangan-larangan penjualan yang memberatkan,"sebutnya.

Editorial Team