Medan, IDN Times - Ada satu julukan Medan yang kurang populer digunakan, yakni Paris Van Sumatra.
Jika Kota Bandung di Jawa Barat dijuluki Paris Van Java, maka Kota Medan disebut sebagai Paris-nya Sumatera. Julukan ini diberikan oleh orang-orang Belanda di era kolonial sebagai penguasa perkebunan tembakau Deli, Sumatera Timur di akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad Ke-20.
Seorang sejarawan, Dr. Phil. Ichwan Azhari menceritakan bahwa dahulunya kawasan tersebut merupakan kawasan perdagangan dan perkantoran, tempat berlangsung interaksi antara komunitas internasional maupun asing (Eropa, Amerika, Jepang, Cina, India, hingga Arab) pengusaha perkebunan, tenaga ahli, bankir, birokrat kota, pengusaha hotel, pedagang termasuk pecah belah atau supermarket (warenhuis) juga pengusaha Indonesia, pedagang batik, kain, kelontong, jurnalis (kantor pewarta deli), komunitas keagamaan Islam (mesjid gang bengkok), Hindu (kawasan.jalan Hindu), dan lainnya.
Jalanan pun kian sepi, tak ada hiruk pikuk dan padat seperti sekarang. Arsitekturnya, mencirikan suatu zaman tertentu, era arsitektur eropa di Asia. Apalagi, dahulunya memiliki fasilitas khusus trotoar untuk pejalan kaki, dan yang paling terpenting masih adanya kampung-kampung di sekitarnya.
“Jadi suasana waktu itu nampak sebagai suatu ruang hidup kota yang nyaman, menyenangkan walau tetap sibuk dengan berbagai aktifitas kotanya,” ucap Ichwan.
Namun, seiring waktu berjalan. Saat ini kawasan itu sudah bukan untuk aktifitas komunitas asing lagi. Anomali, hiruk-pikuk, membuat tidak nyaman, juga arsitekturnya yang kacau.
IDN Times mengulas sedikit tentang bangunan kota bersejarah yang saat ini sedang tahap revitalisasi.