Salah satu kawasan budidaya ikan air tawar di kawasan Kelurahan Sembulang, Pulau Rempang, Kota Batam (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Di tengah kegundahan, Bayu, seorang pembudidaya ikan berusia 43 tahun, mengenang harinya bersama warga melawan aparat yang menenteng senjata. “Kami meninggalkan ladang dan tempat budidaya ikan untuk mempertahankan hak kami. Kami berjuang dengan warga lainnya pada insiden 7 September 2023,” ungkapnya dengan suara bergetar. Namun, saat keberanian untuk melawan menggugah semangatnya, naluri untuk bertahan menariknya untuk bersembunyi ke dalam hutan.
Setelah situasi mulai mereda, Bayu dan pembudidaya ikan air tawar lainnya keluar dari lokasi persembunyian di hutan Pulau Rempang, kembali ke lahan mereka. Tiga hari bersembunyi membuat bibit ikan yang mereka budidayakan mati karena tidak terurus. Bayu menyadari akan ada dampak besar dari matinya ribuan bibit ikan yang seharusnya dapat tumbuh untuk memenuhi permintaan pasar lima bulan kedepan.
“Pasokan ikan kami berkurang drastis gara-gara bibit yang mati. Kami biasanya mengirim 800 kilogram ikan lele setiap harinya, kini cuma 350 sampai 400 kilogram. Sementara ikan patin dan nila yang biasanya bisa dipanen sebanyak 400 kilogram setiap hari, sekarang cuma bisa panen 200 sampai 250 kilogram saja,” keluh Bayu, mengingat ribuan bibit ikan mati terapung, seperti harapannya yang mulai terpasung.
Ia bercerita, hasil panennya diutamakan untuk memenuhi kebutuhan sejumlah pasar di Kota Batam, seperti pasar Botania 1, pasar Botania 2, pasar Bengkong, pasar Tos 3000 dan beberapa pasar basah lainnya.
Akibat dari gagal panen itu, Bayu turut menjadi saksi meningkatnya harga ikan air tawar di Kota Batam sejak September 2023 hingga Juli 2024. Bahkan, akibat besarnya permintaan pasar di Kota Batam saat itu, ia harus menjual ikan air tawar yang belum siap panen.
“Di Pulau Rempang, Kecamatan Galang ini, terdapat tiga pembudidaya ikan air tawar seperti lele, patin dan nila. Akibat bentrokan itu, membuat benih ikan selama beberapa bulan ke depan mati dan para pembudidaya harus menurunkan kualitas panen. Dampak lainnya terasa juga di Kota Batam saat harga ikan air tawar naik drastis,” lanjut Bayu dengan nada tegas.
Penolakan yang dilakukannya dan para pembudidaya lainnya bukan tanpa alasan. Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengusahaan (BP) Batam terus menggunakan upaya pengambilalihan lahan melalui sistem jual rugi, dan dinilai tidak dapat memberikan solusi apapun terkait lahan budidaya yang terdampak.
“Kalau solusinya di pindah ke Batam kami juga tidak mau karena bisa saja digusur kapanpun, di Batam kan semua tanahnya punya BP Batam. Harapan saya proyek ini tetap tidak berlangsung, kalau berlangsung juga hargailah baik-baik kami ini para petani, pembudidaya dan masyarakat tempatan, bukan main hajar saja seperti tahun lalu itu,” harapnya.
Sunardi saat membersihkan lahan pertaniannya dari rumput liar (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Di sisi perjuangan lainnya, Sunardi, seorang petani berusia 60 tahun, berbagi kisahnya tentang perjuangan mengolah satu hektare lahan pertanian miliknya di kawasan Sembulang. Ia menghadapi tantangan besar, bukan hanya dari alam, tetapi juga dari pemerintah yang mengabaikan haknya atas tanah di Pulau Rempang.
“Saya menanam timun, bayam, kangkung, dan sawi. Tiga bulan sekali, saya bisa memanen hasil kebun, rata-rata 350 kilogram setiap sayuran dan saya jual langsung ke pasar Tos 3000 Batam,” kata Sunardi.
Di atas lahan pertaniannya, Sunardi bercerita ketika ia didatangi sekelompok orang, termasuk 7 polisi dan perwakilan BP Batam, yang ingin mendata lahan. Ketidakjelasan dan ketidakpastian mengganggu pikirannya saat itu.
“Mereka tidak bisa memberi jawaban tentang tanah saya. Ini adalah sumber kehidupan saya, mana mau saya tandatangan,” ungkapnya.
Dengan kehadiran PSN ini, Sunardi dan beberapa petani lainnya merasa berseberangan dengan pemerintah. Banyak dari mereka merasa terpinggirkan karena sumber penghidupan mereka berada di atas tanah yang diambil alih paksa oleh pemerintah untuk proyek PSN Eco-City.
“Pemerintah harus mendengarkan suara masyarakat. Tanpa masyarakat, keputusan yang diambil tidak akan pernah adil,” tegas Sunardi sambil meratap jauh ke ujung ladangnya.
Sunardi tetap berharap, suatu hari keadilan akan berpihak kepada mereka. Namun, dalam bayang-bayang penggusuran, ketidakpastian tetap menghantui pikirannya. Seperti halnya Bayu yang setiap hari berjuang untuk bertahan hidup di tanah yang pernah dia sebut rumah.
Masyarakat Pulau Rempang, Kota Batam melakukan seruan penolakan PSN Rempang Eco-City (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Terpisah, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-LBH Pekanbaru, Andri Alatas mengatakan, hingga saat ini pihaknya menerima banyak pengaduan dari petani terkait pematokan dan pemetaan ilegal yang dilakukan oleh BP Batam di lahan pertanian masyarakat. Banyak juga petani melaporkan pemaksaan untuk direlokasi, dan diminta mengosongkan lahan yang dianggap dikuasai secara ilegal.
Andri menilai, proses pengambilalihan lahan petani untuk proyek Rempang Eco-City adalah bentuk kesewenang-wenangan yang berpotensi melanggar hak atas tanah, dan mencederai semangat reforma agraria di Indonesia.
Meskipun BP Batam menyatakan bahwa kawasan Rempang dan Galang berada di bawah Hak Pengelolaan sesuai dengan Kepres No 41 Tahun 1973 dan Kepres No 28 Tahun 1992. Hal ini dinilai tidak bisa menjadi legitimasi untuk mengambil alih tanah yang sudah dikelola masyarakat secara turun-temurun.
"Menurut PP 24 Tahun 1997, pendaftaran hak atas tanah berdasarkan kenyataan penguasaan fisik harus diperhatikan. UU Pokok Agraria juga menegaskan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial," kata Andri.
Ia menambahkan, petani di Pulau Rempang dan Galang telah berkontribusi besar dalam memenuhi kebutuhan pangan di sektor pertanian untuk Kota Batam dan sekitarnya.
Sebagai langkah hukum, LBH Pekanbaru mendorong petani di Pulau Rempang untuk mengajukan permohonan pemblokiran agar Kementerian ATR/BPN tidak mengeluarkan sertifikat HPL kepada BP Batam. Dengan alasan status clean and clear yang belum terpenuhi. Selain itu, para petani dan pengelola sektor penghasil pangan lainnya juga disarankan untuk mengajukan permohonan TORA (Tanah Objek Reforma Agraria).
LBH Pekanbaru menilai bahwa pengalihfungsian tanah masyarakat untuk menjadi PSN Rempang Eco-City merupakan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas tanah. "Pemerintah seharusnya melakukan redistribusi tanah, tetapi sebaliknya malah memberikan pengelolaan tanah kepada entitas bisnis, yang mengancam ribuan masyarakat," tegas Andri.
Pihaknya meminta pemerintah Indonesia untuk membatalkan PSN Rempang Eco-City dan mengembalikan hak atas lahan kepada seluruh masyarakat di Pulau Rempang. Hal ini, menurut LBH Pekanbaru, merupakan langkah penting untuk mengatasi konflik agraria yang semakin meningkat.