Remaja Belawan Diduga Ditembak Kapolres, KontraS: Usut Transparan!

Medan, IDN Times – Tewasnya Muhammad Syuhada (16) diduga karena tembakan dari Kapolres Belawan Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Oloan Siahaan, memantik kritik keras dari pegiat Hak Asasi Manusia (HAM).
Untuk diketahui, Syuhada dinyatakan meninggal dunia pada hari Minggu (4/5/2025) setelah mendapat luka tembakan di perut sebelah kanannya. Penembakan itu disebut dilakukan saat Oloan hendak membubarkan tawuran yang meluas ke arah Jalan Tol Belawan.
Belum ada yang menyebut secara pasti bahwa Syuhada juga bagian dari para pemuda yang tawuran.
1. KontraS mendesak pengusutan tuntas dan transparan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatra Utara melontar kritik keras. KontraS mendesak pengusutan tuntas kasus penembakan itu.
“Proses pengusutannya selain dilaksanakan secara transparan dan profesional, juga dilakukan dalam rangka melindungi harkat, martabat serta rasa keadilan bagi korban dan keluarganya. Jangan sampai korban dibunuh dua kali, satu kali dibunuh nyawanya oleh peluru polisi, kedua kali dibunuh karakternya melalui stigma yang dilekatkan, bahwa korban pelaku tawuran yang pantas mendapatkan tindakan tegas dan terukur,” ujar Kepala Operasional KontraS Sumut Adinda Zahra Noviyanti dalam keterangan tertulis, Selasa (6/5/2025).
Hal ini, kata Dinda –sapaan akrabnya--, perlu ditegaskan. Karena, sering kali polisi mencari pembelaan dengan melekatkan stigma terhadap korban penembakan polisi.
“Tindakan tegas dan terukur dilakukan untuk menghentikan aksi terduga pelaku kejahatan atau tersangka dengan cara melumpuhkan bukan justru merenggut nyawa,” katanya.
2. Pengusutan kasus harus dibarengi implementasi standar HAM
KontraS juga menyoroti pembentukan tim khusus untuk menyelidiki kasus dugaan penembakan itu. Mereka mendesak transparansi pengusutan kasus harus dibarengi dengan standar dan ukuran penggunaan kekuatan yang bisa diakses serta dibuktikan kepada publik. Standar dan ukuran tersebut bisa mengacu pada beberapa aturan konkret seperti PERKAP 1/2009 Tentang Penggunaan Kekuatan, PERKAP 8/2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, maupun PERPOL 1/2022 Tentang Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api.
KontraS juga menyoroti soal narasi yang beredar pasca penembakan. Jamak publik seolah mendukung kepolisian menggunakan kekerasan dalam upaya penegakan hukum.
“Dukungan publik terhadap personel yang menggunakan kekerasan dalam penegakan hukum ini hanya akan berkontribusi melahirkan aparat kepolisian yang dikemudian hari semakin ‘ringan tangan’ menggunakan senjata api. Dalam banyak kasus, cukup dengan pernyataan; ‘tindakan tegas dan terukur’ atau ‘pelaku melawan saat ditangkap’, asas-asas legalitas, proporsionalitas dan nesesitas yang harusnya jadi fondasi utama penggunaan kekuatan sering kali luput dari perhatian kita,” tukasnya.
3. Penggunaan kekerasan tidak mengurai akar permasalahan
Tawuran di Kota Medan seakan menjadi tren buruk belakangan hari. Saban kali tawuran terjadi di beberapa kawasan Kota Medan. Belawan menjadi salah satu lokasi yang sering terjadi.
Menurut KontraS penggunaan kekerasan sama sekali tidak mengurai akar persoalan pada kasus tawuran.
“Menolak penggunaan senjata api dalam pengendalian massa tawuran bukan berarti KontraS Sumut mendukung kejahatan. Hanya saja, penggunaan kekerasan sama sekali tidak mengurai akar persoalan utama tawuran yang saat ini didominasi oleh mereka yang masih masuk dalam kategori usia anak,” katanya.
Kasus penembakan ini bukan pertama kali terjadi. Bagi KontraS, sudah sepatutnya penggunaan senjata api oleh personel kepolisian dievaluasi secara total. “Pimpinan Polri wajib mengetatkan pengawasan, memastikan aspek legalitas dan prosedur penggunaan senjata api berjalan sebagaimana mestinya,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kapolda Sumatra Utara Irjen Whisnu Hermawan Februanto menjelaskan bahwa pihaknya akan membuat tim khusus untuk menyelidiki masalah ini, baik melibatkan Propam, Krimum, hingga Labfor. Oloan juga sudah dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Kapolres untuk kepentingan penyelidikan.
"Untuk memastikan bahwa tindakan dari Kapolres benar atau tidak, kami memohon melaporkannya kepada Mabes Polri untuk bisa memeriksa Kapolres secara transparan dan meminta persetujuan dari Mabes Polri untuk menonaktifkan Kapolres sementara waktu. Biar diperiksa dulu, agar tidak menggangu ya. Karena ini kita transparan,” ungkap Whisnu.