Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20250917-WA0022(1).jpg
Reklamasi yang dilakukan oleh PT Tanjung Gundap Perkasa di hutan lindung Sei Pelengut Batam (Dok: Akar Bhumi Indonesia)

Batam, IDN Times - Aktivitas penimbunan lahan di kawasan Kampung Tua Dapur 12, Kota Batam, Kepulauan Riau, menuai keresahan masyarakat pesisir dan nelayan. Hasil verifikasi lapangan NGO lingkungan Akar Bhumi Indonesia menemukan kegiatan reklamasi merusak ekosistem mangrove dan aliran sungai di sekitar Sungai Cantik yang bersebelahan dengan Dapur Arang.

Penimbunan yang dilakukan PT Tanjung Gundap Perkasa dengan luas sekitar satu hektar itu diduga telah masuk ke dalam kawasan Hutan Lindung Sei Pelunggut. Kerusakan mangrove serta terganggunya aliran sungai berdampak langsung pada perairan Dapur 12, Pulau Labu, dan Pulau Buluh. Air laut yang biasanya jernih berubah keruh kecokelatan, terutama saat musim hujan dan pasang, sehingga mempersulit nelayan tradisional menangkap ikan dan udang.

“Sudah jelas ada mangrove yang ditimbun dan aliran sungai terganggu. Dampaknya langsung terasa pada nelayan yang tidak bisa lagi beraktivitas seperti biasa. Hasil tangkapan berkurang, pendapatan juga turun,” kata Mahendra, nelayan Pulau Labu, Selasa (17/9/2025).

1. Nelayan terdampak turun pendapatan

Ilustrasi nelayan pesisir (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Ketua Akar Bhumi Indonesia, Soni Riyanto mengatakan, akibat dari aktivitas ini, diperkirakan 600 nelayan tradisional dari tiga pulau terdampak reklamasi tersebut.

Di Pulau Buluh saja terdapat sekitar 800 kepala keluarga, dengan 60-70 persen warganya bergantung pada sektor perikanan tangkap. Kondisi perairan yang keruh membuat hasil tangkapan menurun drastis, sehingga ekonomi nelayan terpukul.

"Kami mendesak perusahaan membuka ruang dialog, melakukan pemulihan lingkungan, dan memberikan kompensasi atas kerugian nelayan. Mereka juga meminta pemerintah memperketat pengawasan dan menindak tegas perusahaan yang terbukti merusak lingkungan," kata Soni, Minggu (22/9/2025).

2. Potensi pelanggaran hukum lingkungan

Plang perusahaan PT Tanjung Gundap Perkasa di kawasan hutan lindung Sei Pelengut Batam (Dok:Akar Bhumi Indonesia)

Menurut Soni, aktivitas reklamasi berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Masyarakat, khususnya nelayan, tidak menolak pembangunan, tetapi jangan sampai pembangunan mengorbankan nelayan kecil. Perusahaan seharusnya mau duduk dan mendengarkan apa yang dialami masyarakat,” ujarnya.

Pihaknya juga menyatakan akan melaporkan dugaan pelanggaran ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, ketiadaan pos pengawasan Gakkum KLHK di Kepulauan Riau membuat penanganan kasus lingkungan berjalan lambat.

3. Pemerintah didesak bertindak tegas

Hutan lindung Sei Pelengut yang mulai rusak akibat aktivitas Reklamasi PT Tanjung Gundap Perkasa (Dok:Akar Bhumi Indonesia)

Sementara itu, pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan meminta pemerintah pusat memberi perhatian lebih pada kasus reklamasi di Batam.

"Kami juga sudah memberikan tembusan laporan kepada Direktorat Pengamanan Aset BP Batam,” kata Hendrik.

Menurut Hendrik, pemisahan kembali Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi dua lembaga bisa memberi peluang memperkuat penanganan kasus lingkungan di Indonesia.

“Jangan sampai efisiensi anggaran justru membuat boros daya dukung lingkungan. Pemerintah harus menjaga keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan kelestarian lingkungan,” tutupnya.

Hingga berita ini diterbitkan, PT Tanjung Gundap Perkasa belum memberikan pernyataan resmi terkait aktivitas pengerusakan yang dilakukan. Hingga berita ini diterbitkan, upaya konfirmasi masih terus dilakukan kepada pihak perusahaan.

Editorial Team