Kapal Ikan Vietnam ditangkap PSDKP di Laut Natuna Utara (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Dr. Anastasia Wiwik Swastiwi, M.A., dosen Hubungan Internasional Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau Ketika dikonfirmasi pada, Sabtu (7/6/2025) menjelaskan, lambannya proses ratifikasi disebabkan oleh berbagai faktor.
"Sengketa batas ZEE Indonesia-Vietnam bukan hanya soal menarik garis di peta. Administrasi pengelolaan kawasan perbatasan di kedua negara juga sangat kompleks," kata Wiwik, penulis buku Sejarah Wilayah Perbatasan Kepulauan Natuna, Mutiara di Ujung Utara, bersama dua rekannya, Prof. Dr. Djoko Marihandono dan Sandy Nur Ikfal Raharjo, M.Si. (Han.)
Menurut Wiwik, keterlambatan ratifikasi membuka peluang bagi negara ketiga, seperti Tiongkok, untuk memperkuat klaim sepihak di Laut Cina Selatan. "Ratifikasi ini bukan hanya tentang hubungan bilateral. Ini soal memperkuat posisi kita di hadapan Tiongkok yang tetap memaksakan klaim sembilan garis putus-putusnya."
Vietnam dan Indonesia sama-sama menolak klaim Tiongkok yang tidak diakui oleh UNCLOS 1982 dan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional tahun 2016. "Tanpa ratifikasi, kita kehilangan momentum untuk membangun blok perlawanan terhadap klaim sepihak itu."
Wiwik menambahkan, tanpa dasar hukum bersama, efektivitas penegakan hukum akan terus dipertanyakan. Indonesia memang memiliki dasar kuat lewat UNCLOS 1982 dan UU No. 5 Tahun 1983, tetapi delimitasi batas yang belum diratifikasi selalu membuka celah bagi Vietnam untuk membantah tindakan Indonesia.
Dari sisi hukum internasional, Wiwik menilai Indonesia memiliki pijakan kokoh. "Kita punya UNCLOS 1982, Deklarasi Djuanda, dan UU Kelautan 2014. Klaim sepihak Tiongkok tidak punya pijakan hukum. Indonesia juga tidak memiliki tumpang tindih klaim dengan Tiongkok, jadi kita tidak perlu bernegosiasi dengan mereka soal Laut Natuna Utara," paparnya.
Namun, tumpang tindih dengan Vietnam harus segera diselesaikan. "Kalau delimitasi ini rampung, akan lebih mudah mengelola sumber daya, melakukan patroli bersama, hingga mempercepat respons pencarian dan penyelamatan di laut," ujar Wiwik.
Wiwik menganggap absennya langkah cepat dari Presiden Prabowo bukan bentuk kelalaian, tetapi lebih karena proses politik yang berjalan. "Ratifikasi ini sudah masuk agenda DPR tahun ini. Tapi kita perlu ingat, semakin lama tertunda, semakin besar celah hukum yang bisa dimanfaatkan negara lain."
Menurutnya, diplomasi bukan sekadar menandatangani perjanjian. Ia menilai, Vietnam bisa saja menekan Indonesia dalam isu lain jika Pemerintah Indonesia tidak segera merapikan administrasi perbatasan. “Tapi saya kira, hubungan Indonesia dan Vietnam saat ini relatif seimbang."
"Ratifikasi akan memperjelas hak kita dalam menindak pelanggaran, melindungi sumber daya laut, dan menjaga stabilitas kawasan. Ini bukan sekadar formalitas, ini adalah garis pertahanan kita," lanjut Wiwik.
Dalam pernyataannya, Wiwik menegaskan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif bukan cuma peta. Itu adalah hak berdaulat untuk mengelola dan melindungi sumber daya Indonesia.
“Kalau kita lambat, kita memberi kesempatan negara lain untuk mencuri dan menggugatnya,” pungkasnya.