Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-06-27 at 22.37.46.jpeg
Kapal Ikan Vietnam ditangkap PSDKP saat melakukan penangkapan ikan secara ilegal di Laut Natuna Utara (Dok:Ditjen PSDKP)

Intinya sih...

  • Ratifikasi ZEE Laut Natuna Utara masih tertunda setelah lebih dari dua tahun.

  • Celah penegakan hukum yang lemah menyebabkan pelanggaran terus terjadi di ZEE Indonesia.

  • Lambannya proses ratifikasi membuka peluang bagi negara ketiga, seperti Tiongkok, untuk memperkuat klaim sepihak di Laut Cina Selatan.

Batam, IDN Times - Lebih dari dua tahun berlalu sejak Indonesia dan Vietnam menandatangani kesepakatan penting mengenai batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara, namun, hingga kini perjanjian tersebut belum juga diratifikasi. Di laut lepas itu, kapal-kapal ikan asing, terutama dari Vietnam, masih sering terlihat mencuri ikan di wilayah Indonesia. Sementara itu, di Jakarta, langkah pemerintah untuk meratifikasi kesepakatan ini berjalan lambat.

Di tengah ketidakpastian hukum tersebut, TNI Angkatan Laut (TNI AL) tetap menjalankan operasi pengamanan laut. Laksamana Tunggul dari Dinas Penerangan TNI AL menegaskan, Koarmada I secara rutin mengerahkan kapal perang dan pesawat udara untuk melakukan patroli di Laut Natuna Utara.

“Operasi Pengamanan Laut Natuna Utara tetap berjalan secara kontinyu di bawah BKO Guspurla I. TNI AL tetap hadir,” kata Laksma Tunggul, Senin (16/6/2025). Namun, ia mengakui, pemberlakuan perjanjian internasional seperti ini tetap menunggu ratifikasi melalui Undang-Undang. “Sementara ini prosesnya masih berjalan.”

Senada, Dirjen PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Pung Nugroho Saksono mengatakan, sepanjang tahun 2024, pihaknya telah berhasil menangkap 4 kapal ikan berbendera Vietnam.  Sementara di tahun 2025, hingga saat ini pihaknya telah menangkap 4 kapal ikan Vietnam di laut Natuna Utara.

“Ini merupakan bentuk komitmen Kementerian Kelautan Perikanan melalui PSDKP untuk menindak pelanggaran penangkapan ikan illegal di wilayah perairan Indonesia,” kata Pung, Sabtu (24/05/2025).

Celah Penegakan Hukum yang Lemah

Kapal Ikan berbendera Vietnam saat ditangkap PSDKP (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Sementara dokumen ratifikasi masih menunggu tanda tangan parlemen, pelanggaran terus terjadi di ZEE Laut Natuna Utara. Menurut Imam, analis senior di Indonesian Ocean Justice Initiative (IOJI), sejak 2024 ratusan kapal ikan Vietnam telah mundur dari perairan Indonesia. Tapi pelanggaran tidak berhenti.

"Puluhan hingga ratusan kapal Vietnam masih terpantau mencuri ikan di ZEE Indonesia. Ini masalah serius. Kita sudah punya kesepakatan, tapi tanpa ratifikasi, posisi kita selalu lemah dalam penegakan hukum," kata Imam, Minggu (15/6/2025).

Imam menyayangkan sikap diam sejumlah institusi negara. "Kementerian Luar Negeri, Sekretariat Kabinet, bahkan Presiden belum mengeluarkan sikap konkret dalam mendorong percepatan ratifikasi. Ini jadi celah yang dimanfaatkan negara lain," lanjutnya.

Bagi aparat seperti TNI AL dan Bakamla, absennya dasar hukum bersama membuat penindakan berada di wilayah abu-abu. Bila kapal asing membantah klaim wilayah, aparat Indonesia kesulitan membuktikan dasar hukum yang disepakati kedua belah pihak.

"Tanpa ratifikasi, penegakan hukum menjadi rapuh. Aparat kita kehilangan pijakan hukum yang kuat untuk menindak tegas pelanggaran yang terjadi di wilayah yang kita klaim," tegasnya.

Mengapa Ratifikasi Berlarut?

Kapal Ikan Vietnam ditangkap PSDKP di Laut Natuna Utara (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Dr. Anastasia Wiwik Swastiwi, M.A., dosen Hubungan Internasional Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau Ketika dikonfirmasi pada, Sabtu (7/6/2025) menjelaskan, lambannya proses ratifikasi disebabkan oleh berbagai faktor.

"Sengketa batas ZEE Indonesia-Vietnam bukan hanya soal menarik garis di peta. Administrasi pengelolaan kawasan perbatasan di kedua negara juga sangat kompleks," kata Wiwik, penulis buku Sejarah Wilayah Perbatasan Kepulauan Natuna, Mutiara di Ujung Utara, bersama dua rekannya, Prof. Dr. Djoko Marihandono dan Sandy Nur Ikfal Raharjo, M.Si. (Han.)

Menurut Wiwik, keterlambatan ratifikasi membuka peluang bagi negara ketiga, seperti Tiongkok, untuk memperkuat klaim sepihak di Laut Cina Selatan. "Ratifikasi ini bukan hanya tentang hubungan bilateral. Ini soal memperkuat posisi kita di hadapan Tiongkok yang tetap memaksakan klaim sembilan garis putus-putusnya."

Vietnam dan Indonesia sama-sama menolak klaim Tiongkok yang tidak diakui oleh UNCLOS 1982 dan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional tahun 2016. "Tanpa ratifikasi, kita kehilangan momentum untuk membangun blok perlawanan terhadap klaim sepihak itu."

Wiwik menambahkan, tanpa dasar hukum bersama, efektivitas penegakan hukum akan terus dipertanyakan. Indonesia memang memiliki dasar kuat lewat UNCLOS 1982 dan UU No. 5 Tahun 1983, tetapi delimitasi batas yang belum diratifikasi selalu membuka celah bagi Vietnam untuk membantah tindakan Indonesia.

Dari sisi hukum internasional, Wiwik menilai Indonesia memiliki pijakan kokoh. "Kita punya UNCLOS 1982, Deklarasi Djuanda, dan UU Kelautan 2014. Klaim sepihak Tiongkok tidak punya pijakan hukum. Indonesia juga tidak memiliki tumpang tindih klaim dengan Tiongkok, jadi kita tidak perlu bernegosiasi dengan mereka soal Laut Natuna Utara," paparnya.

Namun, tumpang tindih dengan Vietnam harus segera diselesaikan. "Kalau delimitasi ini rampung, akan lebih mudah mengelola sumber daya, melakukan patroli bersama, hingga mempercepat respons pencarian dan penyelamatan di laut," ujar Wiwik.

Wiwik menganggap absennya langkah cepat dari Presiden Prabowo bukan bentuk kelalaian, tetapi lebih karena proses politik yang berjalan. "Ratifikasi ini sudah masuk agenda DPR tahun ini. Tapi kita perlu ingat, semakin lama tertunda, semakin besar celah hukum yang bisa dimanfaatkan negara lain."

Menurutnya, diplomasi bukan sekadar menandatangani perjanjian. Ia menilai, Vietnam bisa saja menekan Indonesia dalam isu lain jika Pemerintah Indonesia tidak segera merapikan administrasi perbatasan. “Tapi saya kira, hubungan Indonesia dan Vietnam saat ini relatif seimbang."

"Ratifikasi akan memperjelas hak kita dalam menindak pelanggaran, melindungi sumber daya laut, dan menjaga stabilitas kawasan. Ini bukan sekadar formalitas, ini adalah garis pertahanan kita," lanjut Wiwik.

Dalam pernyataannya, Wiwik menegaskan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif bukan cuma peta. Itu adalah hak berdaulat untuk mengelola dan melindungi sumber daya Indonesia.

“Kalau kita lambat, kita memberi kesempatan negara lain untuk mencuri dan menggugatnya,” pungkasnya.

 

Risiko Diplomatik dan Potensi Konflik

Warga Negara Vietnam yang ditangkap PSDKP saatmelakukan penangkapan ikan ilegal di Laut Natuna Utara (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Dari perspektif Hukum Internasional, Ninne Zahara Silviani, dosen Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam menegaskan, ratifikasi perjanjian delimitasi ZEE sangat krusial. "Ratifikasi akan memberikan kepastian hukum atas batas yurisdiksi negara sesuai Pasal 74 UNCLOS 1982," kata Ninne, Minggu (6/6/2025).

Ia mengakui bahwa tanpa ratifikasi, aparat seperti TNI AL, Bakamla, dan PSDKP tetap bisa melakukan penegakan hukum, tetapi langkah mereka rentan diprotes. "Indonesia memang punya dasar hukum lewat UU No. 5 Tahun 1983 dan UNCLOS 1982. Namun, tanpa ratifikasi bilateral, garis batas ini tak punya kekuatan hukum bersama. Ini bisa memicu sengketa dan menyulitkan proses hukum kalau Vietnam mengklaim kapal mereka masih di wilayahnya."

Ninne menambahkan, pemerintah wajib melibatkan DPR untuk meratifikasi perjanjian batas wilayah negara, sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2000 dan putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XVI/2018.

Ia juga menyoroti potensi risiko bagi aparat di lapangan. "Kalau delimitasi belum sah, aparat kita rentan dianggap melanggar wilayah negara lain. Ini membuka risiko diplomatik dan bahkan konflik kecil di laut."

Menurut Ninne, transisi dari Presiden Jokowi ke Presiden Prabowo membawa perubahan arah politik luar negeri, termasuk kesepakatan Indonesia–Tiongkok pada November 2024 yang sempat memicu perdebatan.

"Kesepakatan itu dinilai sebagian pihak memperlemah posisi Indonesia di Laut Natuna Utara dan memberi celah pada klaim Tiongkok lewat nine-dash line,” tegasnya.

Ia menekankan, tanpa ratifikasi batas ZEE dengan Vietnam, posisi Indonesia akan semakin rentan terhadap manuver Tiongkok. "Nine-dash line sudah berkali-kali dibantah dunia, tapi Tiongkok tetap agresif. Kalau kita lambat, mereka akan terus memanfaatkan celah hukum ini."

Diakhir pernyataanya, ia meminta kepada Presiden Prabowo Subianto dan jajaran kabinetnya agar dapat menyelesaikan ratifikasi perjanjian batas ZEE Indonesia-Vietnam di Laut Natuna Utara secepatnya.

"Presiden Prabowo dan kabinetnya harus segera memperjelas posisi Indonesia dengan meratifikasi perjanjian ini. Ini langkah penting untuk memperkuat stabilitas kawasan dan mendukung aparat penegak hukum kita."

Editorial Team