Medan, IDN Times - Polemik royalti musik kembali mencuat setelah kasus Mie Gacoan di Bali digugat karena memutar lagu tanpa izin. Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan merek besar dan menimbulkan diskusi publik tentang batasan, kewajiban, serta kesadaran hukum di ruang komersial.
Di balik kasus tersebut, kafe, restoran, hingga penyelenggara resepsi di berbagai daerah sebenarnya menghadapi situasi serupa. Mereka sering kali memutar musik sebagai bagian dari pengalaman pelanggan. Namun, terbentur aturan royalti yang dianggap membebani. Di sisi lain, musisi merasa hak ekonomi mereka harus dihargai lewat sistem royalti yang jelas dan adil.
Lalu, sejauh mana aturan bisa berjalan efektif di daerah, dan apakah mekanisme distribusi royalti benar-benar sampai pada musisi yang berhak?
Di Kota Medan, Pengamat Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) sekaligus dosen tetap Fakultas Hukum di UMSU, Dr. Ida Nadirah menjelaskan bahwa posisi hukum royalti di Indonesia sudah jelas memiliki kekuatan yang pasti karena merupakan hak ekonomi dari si pencipta diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 ayat 2 UU nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak cipta dan pengaturan terkait pemungutan royalti lagu dan musik diatur dalam PP nomor 56 tahun 2021 dan Permenkumham nomor 20 Tahun 2021 tentang LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) sebagai lembaga dibentuk pemerintah untuk menetapkan tarif, menghimpun, dan menyalurkan royalti secara nasional.
Terkait regulasi saat ini, menurutnya bagi pencipta secara normatif sudah melindungi. Namun, dari pihak pengguna di lapangan masih kurang jelas terkait regulasi penentuan standar besarnya tarif yang harus dibayar, mekanisme penarikan tarif, pengelolaan LKMN yang belum transparan dan belum merata dalam pendistribusian.
"Bagi UMKM yang merasa tarif terlalu tinggi atau tidak proporsional dengan skala usaha," katanya pada IDN Times.