Unjuk rasa masyarakat menolakan penertiban di Bumi Perkemahan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, Rabu (9/11/2022). (Istimewa)
Darmawan juga mengatakan, warga sudah memiliki alas hak sejak era Soekarno sebagai presiden. Saat itu, mereka diberikan surat kepemilikan tanah dengan dasar Undang – undang Darurat 1954.
Polemik terjadi pada 1970. Saat itu, Pemerintah Daerah (Pemda) Deliserdang mengambil lahan dari warga secara paksa.
“Masyarakat yang tidak mau meninggalkan lahan ini disebut PKI pada masa itu,” kata Darmawan.
Pemda Deli Serdang kemudian menggunakan lahan itu sebagai lokasi perhelatan Jambore Nasional Pramuka pada 1977. Pemda Deli Serdang menerbitkan surat pinjam pakai kepada masyarakat. Namun, sampai saat ini, kata Darmawan, lahan itu tidak dikembalikan.
“Masyarakat telah ditipu oleh panitia Jambore Pemda Deli Serdang dan Pemprov Sumut,” ungkap Darmawan.
Kemudian, pada 1988 Gubernur Sumatra Utara menerbitkan Surat Keputusan Hak Pakai untuk Kwartir Daerah Pramuka Sumatra Utara. Surat ini terbit tanpa diketahui oleh masyarakat Desa Bandar Baru, Kecamatan Sibolangit.
Belakangan polemik itu muncul lagi. Pemerintah Provinsi Sumut membentuk tim terpadu untuk menertibkan pemukim di sana. Mereka kemudian menerbitkan surat peringatan pertama dan kedua.
“Pembentukan tim ini tanpa melibatkan masyarakat Bandar Baru. Dengan ini kami menolak SP1 dan SP2 tersebut tempat terkecuali tak ada tawar-menawar,” tegas Darmawan.
Warga tetap bertahan di lahan tersebut. Mereka bersikukuh memiliki alas hak. “Mohon bantuan kepada Presiden Indonesia Joko Widodo untuk membantu masyarakat Bandar Baru dalam menyelesaikan permasalahan tanah ini,” ungkapnya.