Doni juga mengatakan, WALHI juga menemukan fakta bahwa pada November 2014, ada unjuk rasa besar-besaran menolak keberadaan SMGP. Dalam unjuk rasa itu satu orang tewas, belasan lainnya dibawa ke kantor polisi.
Pada April 2016, Komunitas Mandailing Perantauan sudah mempertanyakan ke Kementrian ESDM terkait dengan akuisisi 100 persen PT SMGP kepada KS Orka (Singapura). Komunitas Mandailing Perantauan merasa di curangi karena tenyata PT SMGP hanya menjadi agen asing untuk menguasai lahan di Mandailing Natal.
Di dalam Permen ESDM no 37 Tahun 2018 tentang Penawaran wilayah kerja panas bumi, pemberian izin panas bumi dan penugasan pengusahaan panas bumi. Pemegang izin berkewajiban memahami dan menaati K3 baik wargapun juga masyarakat yang berada di sekitar lokasi . Selain itu perusahaan juga wajib melakukan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan dilokasi PLTP.
“Dengan adanya kejadian ini, tentu kita semua ikut berbelasungkawa atas meninggalnya saudara-saudara kita di sana. Kita juga berharap semua keluarga korban bisa tetap tabah dan kuat menghadapi semua ini. Kejadian ini menjadi pelengkap catatan buruknya penerbitan izin, perencanaan, pelaksaan hingga pengoperasian PLTP Sorik Marapi ini,” ungkap Doni.
“kejadian bocornya pipa gas ini menjadi bukti ketidakmampuan perusahaan dalam menjalankan kewajibannya. Pun demikian dengan praktik-praktik pembebasan lahan yang sudah digarap turun temurun oleh warga sorik marapi kemudian pada SK 44 tahun 2005, dan SK 579 Tahun 2014 kemudian di tetapkan sebagai kawasan hutan dan cenderung dipaksakan untuk menyokong PSN 35.000 MW. Tentunya kita sangat berharap bahwa Kementrian ESDM bisa mengambil sikap dengan mengevaluasi izin PLTP ini, karena tidak menutup kemungkinan kedepan akan semakin banyak yang akan menjadi korban, baik masyarakat juga lingkungan akibat aktivitas PLTP ini. Demikian juga dengan pencemaran lingkungan yang akibat kebocoran pipa ini harus segera di tangani oleh perusahaan,” imbuhnya.