Batam, IDN Times - Perubahan iklim tidak lahir dari ruang hampa. Ia bertumbuh dari keputusan energi yang diambil di darat, namun dampaknya lebih cepat tiba di laut. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara menjadi salah satu sumber utama emisi gas rumah kaca yang mempercepat pemanasan global, sekaligus mengubah ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat yang bergantung padanya.
Di wilayah kepulauan seperti Provinsi Kepulauan Riau, panas yang terperangkap di atmosfer meresap ke laut, mengacaukan pola angin, arus, dan musim ikan. Laut yang selama ratusan tahun dapat “dibaca” oleh masyarakat adat seperti Suku Laut dan Bajau kini menjadi semakin sulit diprediksi. Ironisnya, di tengah komitmen transisi energi rendah karbon, pembangunan PLTU baru justru terus didorong untuk menopang kawasan industri di pesisir.
Kepulauan Riau menjadi salah satu contohnya. Komitmen Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dalam mendorong transisi energi menuju sumber bersih kembali dipertanyakan, setelah dua proyek PLTU swasta berbahan bakar batu bara muncul dalam rencana pengembangan kawasan industri strategis di wilayah ini. Kehadiran pembangkit baru itu dinilai bertolak belakang dengan narasi pengurangan emisi yang kerap disuarakan pemerintah daerah.
Proyek PLTU swasta pertama direncanakan di kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) Galang Batang, Kabupaten Bintan. Kawasan ekonomi berbasis industri logam tersebut dikelola PT Galang Batang Kawasan Ekonomi Khusus (GBKEK), afiliasi PT Bintan Alumina Indonesia (BAI). Pembangunan kawasan ini ditujukan untuk mendukung ekspansi produksi material turunan alumina yang selama ini masih bergantung pada impor.
Di Kampung Masiran, Kabupaten Bintan, perusahaan ini tengah memperluas rantai industri penunjang alumina, termasuk pembangunan fasilitas produksi soda kostik serta pelabuhan kontainer baru bersama mitra dari Singapura dan Tiongkok. Nilai investasi proyek ini diperkirakan mencapai Rp30 triliun.
Ekspansi industri tersebut juga akan diperluas ke Pulau Poto, yang dirancang sebagai klaster kawasan industri berskala besar. Kawasan ini direncanakan menampung industri otomotif, baja, petrokimia, mesin, elektronik, hingga galangan kapal. Untuk menunjang aktivitas tersebut, perusahaan menyiapkan pembangunan pelabuhan logistik dan reklamasi pelabuhan dengan nilai investasi sekitar Rp50 triliun.
Guna memenuhi kebutuhan energinya, pengelola kawasan berencana membangun PLTU baru berkapasitas 900 megawatt (MW). “Target realisasinya lima tahun,” ujar Direktur PT GBKEK sekaligus Direktur Utama PT Bintan Alumina Indonesia, Santoni, pada 29 Juli 2025.
Saat ini, struktur kepemilikan PT BAI dikuasai 72,7 persen oleh Global Aluminum International Pte Ltd, perusahaan patungan Nanshan Aluminum Singapore Pte Ltd (95 persen) dan Redstone Group (5 persen). Sementara itu, Press Metal Aluminium Holdings Bhd menguasai 25 persen saham, dan PT Mahkota Karya Utama memiliki 2,3 persen saham.
Di tengah dominasi investasi asing pada proyek energi dan industri di Bintan tersebut, rencana pembangunan PLTU berbahan bakar batu bara juga meluas ke wilayah lain di Kepulauan Riau.
Selain di Bintan, proyek PLTU swasta juga mencuat di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan PSN di Pulau Tanjung Sauh, Batam. Kawasan ini dikembangkan oleh PT Batamraya Sukses Perkasa, anak usaha Panbil Group. Total nilai investasi proyek ini direncanakan mencapai Rp190 triliun dalam kurun waktu 20 tahun.
Dalam tujuh tahun terakhir, Panbil Group menandatangani sejumlah nota kesepahaman dengan investor dari Tiongkok, Singapura, dan Jepang. Chairman Panbil Group, Johanes Kennedy Aritonang menyebut industri yang akan masuk mencakup sektor ringan hingga berat. “China tetap menjadi yang pertama dan terbesar,” katanya kepada IDN Times beberapa waktu lalu.
Pengembangan KEK Tanjung Sauh mencakup area seluas 840,67 hektare, terdiri atas 703,8 hektare daratan dan 136,87 hektare perairan. Perusahaan mengklaim telah menguasai 502,15 hektare atau sekitar 59,7 persen lahan melalui kombinasi hak guna bangunan (HGB), ganti rugi lahan, serta kontrak sewa jangka panjang.
Sebagai penopang energi kawasan, Panbil Group menyiapkan pembangkit listrik dengan kombinasi tenaga surya dan PLTU berbahan bakar batu bara. “Kapasitasnya 2 x 150 MW,” kata Direktur Utama PT Batamraya Sukses Perkasa, Anwar, pada 29 November 2025. Hingga kini, investor penyandang dana pembangunan pembangkit tersebut belum diumumkan secara terbuka.
Rencana pembangunan dua PLTU baru ini dinilai berlawanan dengan arah kebijakan transisi energi Kepulauan Riau, terutama setelah Gubernur Kepri Ansar Ahmad secara terbuka menyatakan bahwa batu bara tidak lagi menjadi pilihan energi masa depan daerah. Di tengah tekanan krisis iklim dan komitmen pengurangan emisi, keputusan memperluas pembangkit fosil justru menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi arah pembangunan energi di provinsi kepulauan tersebut.
