Komisi II DPRD Simalungun menggelar rapat dengan pendapat (RDP) dengan dua LSM dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Simalungun, Kamis (14/4/2022). (Dok. IDN Times)
Ketua Komisi II DPRD Simalungun Maraden Sinaga mengatakan, dalam RDP yang pertama, komisinya telah mendapat penjelasan langsung dari dua organisasi yang mengadukan masalah ini. Kedua organisasi itu menduga adanya penjualan elpiji oplosan ukuran 5,5 kg, 12, kg dan 50 kg oleh PT HTJG.
Kedua organisasi itu meyakini PT HTJG menjual elpiji nonsubsidi yang dioplos dari elpiji 3 kg (subsidi). Pengoplosan dilakukan dengan memindahkan isi elpiji 3 kg ke elpiji 5,5 kg, 12 kg dan 50 kg dengan menggunakan alat khusus dan selang.
HTJG menjual elpiji hasil oplosan dengan harga yang jauh lebih murah dari harga pasar. Elpiji bahkan dijual di bawah harga resmi pengisian ulang di SPPBE. Kedua organisasi itu pun telah menunjukkan berbagai bukti yang dimilikinya dalam RDP Komisi II.
"Dalam RDP yang pertama, kedua pelapor sudah menjelaskan dan menunjukkan semua yang kita butuhkan untuk menjadi dasar mengadakan RDP lanjutan," terang Maraden.
Karena itu Komisi II akan mengadakan RDP lanjutan sebelum mengeluarkan rekomendasi, seperti pencabutan izin usaha dan sebagainya. Dalam RDP lanjutan nanti Komisi II akan meminta penjelasan serta klarifikasi dari Pertamina Patra Niaga dan PT HTJG mengenai dugaan tersebut.
Harfin Siagian, Direktur Eksekutif LBH Perjuangan Keadilan, menilai bila semua dugaan yang diadukan itu terbukti maka PT HTJG setidaknya telah melanggar lima aturan perundangan.
Yakni Pasal 40 angka 9 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 55 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta Pasal 8 ayat 1 huruf b dan c UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kemudian Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 21 UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Terkait dengan pelanggaran UU Tipikor, berdasarkan data dari klien mereka, LITPK, negara sedikitnya berpotensi mengalami kerugian sekitar Rp600 juta per bulan akibat kasus ini.