Persidangan TNI Bunuh Remaja, Aktivis HAM di Medan Lakukan Aksi Simbolik

Medan, IDN Times - Aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) melakukan aksi simbolik di Pengadilan Militer I-02 Medan. Aksi dengan mengenakan ikat kepala bertuliskan kalimat-kalimat protes ini dihelat saat sidang replik 2 anggota TNI yang membunuh remaja di bawah umur, Selasa (22/7/2025).
Bagi massa aksi, apa yang saat ini mereka tunjukan merupakan wujud dari pembelaan terhadap keluarga korban. Tuntutan Oditur kepada 2 terdakwa berupa hukuman 18 bulan dan 1 tahun penjara, masih dinilai sangat rendah.
1. Oditur tolak alasan TNI membunuh remaja karena pengamanan PON

Pelaku penembakan sampai mengakibatkan seorang remaja di bawah umur berinisial MAF meninggal dunia hari ini menjalani sidang replik. Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisko tampak berpakaian dinas lengkap mengikuti sidang di ruangan Sisingamangaraja XII, Pengadilan Militer I-02 Medan.
Mayor Tecki selaku Oditur sidang ini mengatakan bahwa ia menolak seluruh dalil yang disampaikan Penasehat Hukum terdakwa atas pledoi. Terlebih terdakwa tidak menguraikan secara jelas dan lengkap alasan keberatannya terhadap dakwaan Oditur.
"Terkait insiden penembakan, seharusnya terdakwa mempertimbangkannya dengan cukup. Sehingga dapat memperhitungkan setiap tindakan dengan segala kemungkinan yang terjadi, sekalipun akibat yang terjadi tersebut bukan kehendak atau keinginan para terdakwa. Karena dalam hal ini, para terdakwa dibekali senjata api namun yang terjadi telah mengakibatkan korban meninggalkan dunia," ucap Tecki, Selasa (22/7/2025).
Terdakwa dalam pembelaannya beberapa kali sempat menyinggung soal pengamanan Pekan Olahraga Nasional (PON). Di mana terdakwa mengaku sebagai Badan Intelijen dan Pengamanan event olahraga 4 tahunan itu. Namun Oditur menolak alasan tersebut karena peristiwa pembunuhan yang terjadi sama sekali tidak berkaitan dengan ancaman, sabotase, dan hal-hal yang mengganggu kegiatan PON.
"Dalam fakta persidangan telah jelas membuktikan kegiatan yang dilakukan terdakwa tidak ada kaitannya dengan PON. Demikian pula kami berpendapat sangat tidak tepat apabila Penasehat Hukum terdakwa menghubungkan perbuatan terdakwa dengan dampak tugas intelijen. Karena tugas intelijen adalah pengumpul data dan dana, bukan sebagai pinindak," lanjut Tecki.
2. Oditur sebut penembakan yang dilakukan bukanlah tindakan spontan

Oditur juga menolak alasan para terdakwa yang mengatakan bahwa perbuatan mereka sebagai aksi yang spontan. Sebab, kata Oditur, sebelumnya ada beberapa saksi yang melarikan diri menggunakan sepeda motor masing-masing usai mendengar suara tembakan peringatan.
"Artinya dengan tembakan peringatan tersebut, sebenarnya sudah dapat membubarkan mereka. Namun para terdakwa mengejar hingga terjadi insiden penembakan dan bukan dalam keadaan terdesak," kata Tecki.
Jika saat itu situasi tak terkontrol, Tecki melanjutkan bahwa seharusnya terdakwa dapat memberikan laporan intelijen dan berkoordinasi cepat dengan pihak terkait yang memiliki kewenangan hukum. Sehingga hal ini dapat diberikan penanganan hukum yang tepat. Bukan justru mengambil keputusan dengan menembak korban.
"Alasan terdakwa terancam nyawanya oleh korban tidak dapat diterima. Karena terdakwa mengendarai mobil dan korban mengendarai sepeda motor," pungkasnya.
3. Sejumlah aktivis melakukan aksi simbolik saat persidangan, kompak pakai ikat kepala berisi kalimat protes

Saat persidangan replik, raut tidak terima juga terpancar dari wajah aktivis pembela HAM. Di penghujung sidang, mereka melakukan aksi simbolik dengan mengenakan atribut-atribut protesnya.
"Kami melakukan aksi simbolis dengan menggunakan tali berwarna putih atau ikat kepala (bertuliskan kalimat protes), menunjukkan bahwa kami akan terus mengawal kasus ini sampai selesai di persidangan," kata Bonaerges Marbun mewakili massa aksi.
Protes itu ditujukan kepada Majelis Hakim beserta Oditur atas tuntutan sebelumnya. Di mana terdakwa Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisko hanya dituntut 18 bulan dan 1 tahun penjara saja oleh Oditur.
"Hari ini Oditur menyampaikan bahwa semua yang menjadi tuntutan (hukuman 18 bulan dan 1 tahun penjara) tetap. Pasal yang diberikan hanya soal kelalaian. Harapan kami, nantinya hakim bisa memberi vonis yang mana ada keadilan di dalamnya. Krena kita tahu ini kasus pembunuhan. Bukan kelalaian. Jadi nanti kami mau hakim memutuskan sesuai yang terjadi di lapangan," bebernya.
4. Ibu korban menolak tali asih dan minta 2 terdakwa dipecat

Sementara itu Fitriyani selaku ibu dari remaja yang dibunuh 2 terdakwa berusaha menyembunyikan kesedihannya. Didampingi aktivis pembela HAM, ia mengikuti sidang replik sampai dengan selesai.
"Kami minta terdakwa dipecat," ujar Fitriani.
Bukan hanya itu, saat momen pemberian tali asih dari terdakwa kepada keluarga korban, Fitriyani menolaknya.
"Kami juga tidak akan menerima tali asih dari mereka, berapapun jumlahnya kami tak terima. Kami akan terus menuntut keadilan," pungkas Fitriyani.