Orangutan Sumatra betina berbagi makanan dengan anaknya. (IDN Times/Prayugo Utomo)
Sejumlah kasus di Medan dan Deli Serdang memperlihatkan vonis yang cenderung ringan. Misalnya, PN Lubuk Pakam Cabang Labuhan Deli (2022) hanya menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara, sementara kasus lain di kawasan sama bahkan berujung 8 bulan penjara.
Vonis rendah ini bertolak belakang dengan ancaman pidana dalam UU No. 5/1990 yang mencapai 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta. Namun peluang hukuman yang tinggi ada sejak berlakunya Undang-undang nomor 32 Tahun 2024 pada Agustus 2024 lalu. Penegak hukum bisa menuntut para pelaku dengan hukuman penjara hingga belasan tahun dan denda miliaran rupiah. Termasuk pidana tambahan seperti pencabutan izin usaha, pembekuan rekening, dan biaya rehabilitasi satwa.
“Hukuman ringan membuat pelaku merasa masih bisa bermain. Padahal, yang paling diuntungkan dalam jaringan ini adalah aktor pengendali, bukan kurir di lapangan. Itu yang seharusnya diprioritaskan untuk ditindak,” ungkap Indra.
Banyak kasus hanya menjerat pemburu atau kurir, sementara pengendali jaringan atau pembeli besar jarang tersentuh. Perlu adanya peningkatan upaya penyidikan berlapis menggunakan controlled delivery untuk mengidentifikasi dan menangkap pengendali. Koordinasi antara otoritas kehutanan dan konservasi perlu diperkuat. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Kehutanan penting membangun sinergi dengan aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman, bahkan instansi terkait lainnya seperti Bea Cukai dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk membangun profil jaringan dari hulu hingga hilir.