Binjai, IDN Times - Kejaksaan Negeri Binjai kembali jadi sorotan publik. Lembaga penegak hukum ini didesak untuk mendalami keberadaan sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) senilai Rp1,2 miliar dalam realisasi dana insentif fiskal (DIF) tahun anggaran 2024.
Desakan itu muncul setelah Kejari Binjai mulai menangani dugaan korupsi dana pengentasan kemiskinan senilai Rp20,8 miliar yang bersumber dari DIF. Namun, hingga kini belum ada satu pun tersangka yang ditetapkan, meski kasus telah masuk tahap penyidikan sejak Agustus 2025.
Situasi ini memunculkan tanda tanya besar: Kemana sebenarnya aliran dana yang disebut-sebut masih tersisa Rp1,2 miliar itu? Mengapa laporan hasil pemeriksaan (LHP) auditor tidak mencantumkan adanya Silpa dalam realisasi DIF tahun tersebut?
Penyidikan Jaksa Mandek, Kasus Dana Insentif Fiksal Binjai Sarat Keganjalan

1. Penanganan jadi sorotan, dorong penyidik kejar aliran dana dan silpa anggaran
Praktisi hukum Ferdinand Sembiring menilai penyidik Kejari Binjai berjalan terlalu lambat dalam mengusut kasus ini. “Kami menyayangkan lambannya penanganan kasus korupsi Dana Insentif Fiskal tahun 2024 oleh Kejaksaan Negeri Binjai. Keterlambatan ini menimbulkan pertanyaan publik,” kata Ferdinan, Minggu (9/11/2025).
Menurut Ferdinand, penyidik perlu segera mendalami unsur Silpa karena menjadi titik krusial dalam alur dana pengentasan kemiskinan tersebut. Ia menegaskan, auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sama sekali tidak menuliskan adanya Silpa dalam laporan resmi.
Namun, pernyataan dari pejabat Pemko Binjai justru mengungkapkan hal sebaliknya bahwa Silpa itu memang ada. Kondisi yang bertolak belakang ini, kata Ferdinand, menandakan ada hal yang perlu diusut lebih dalam. “Jika benar Silpa itu ada, kenapa tidak tercatat dalam laporan BPK? Itu jelas janggal,” kata dia menegaskan.
2. Fokus investigasi ke BPKAD yang miliki jejak digital dan catatan transaksi
Ferdinand juga menyoroti proses pemeriksaan yang telah dilakukan penyidik terhadap sejumlah pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Namun, pemeriksaan tersebut belum menghasilkan langkah konkret berupa penetapan tersangka. “Kami menduga adanya indikasi permainan dalam pemeriksaan kasus korupsi DIF di tangan Kejari Binjai,” tegasnya.
Ia mendorong agar penyidikan memfokuskan pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Menurutnya, lembaga tersebut memiliki jejak digital dan catatan transaksi yang bisa membuka alur ke mana dana DIF itu benar-benar mengalir.
“Kepala BPKAD harus menjelaskan kemana saja sasaran anggaran DIF itu. Jejak digitalnya ada di BPKAD, sehingga kasus ini tidak mengambang,” seru dia.
3. Ada dugaan pengaburan, silpa harusnya tercatat dalam laporan auditor
Pandangan berbeda datang dari Elfenda Ananda, Pengamat Anggaran Kota Medan. Ia menegaskan bahwa Silpa umumnya selalu dituliskan dalam laporan keuangan jika memang ada.
“Silpa penyebabnya bisa karena adanya pekerjaan yang belum selesai dalam satu tahun anggaran, atau dana transfer dari pusat yang dikirim menjelang akhir tahun dan belum sempat digunakan. Dalam laporan hasil pemeriksaan BPK, Silpa selalu dicantumkan jika memang ada,” jelas dia
Elfenda menambahkan, LHP BPK adalah dokumen resmi yang mencatat setiap hasil audit keuangan pemerintah daerah. Bila seorang pejabat menyatakan ada Silpa namun LHP tidak menunjukkan hal itu, maka harus dicurigai adanya ketidaksesuaian data.
“Jika pejabat mengatakan ada Silpa tapi laporan BPK tidak mencatatnya, bisa jadi ada pengaburan informasi atau manipulasi data keuangan,” tambah dia.
4. Dugaan pengaburan kode rekening hingga dana dialihkan bayar utang proyek
Tak berhenti di situ, Elfenda juga menyinggung adanya dugaan pengaburan kode rekening dalam realisasi DIF. “Jika benar ada pejabat yang sengaja mengaburkan kode rekening dalam realisasi anggaran, terutama dana insentif fiskal, maka hal itu termasuk penyalahgunaan jabatan,” kata Elfenda.
Ia menjelaskan, penyalahgunaan jabatan terjadi ketika seorang pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan yang tidak sah atau demi kepentingan pribadi atau kelompok. Tindakan seperti itu, katanya, bisa menjadi pintu masuk dugaan tindak pidana korupsi.
Menurut hasil penelusuran, dana insentif fiskal yang seharusnya digunakan untuk program pengentasan kemiskinan justru dialihkan untuk membayar utang proyek kepada rekanan.
Parahnya lagi, pengalihan ini dilakukan tanpa persetujuan Badan Anggaran (Banggar) DPRD serta menabrak aturan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 91 Tahun 2024. Elfenda menegaskan, penggunaan dana DIF di luar peruntukan adalah bentuk pelanggaran serius.
“Dana insentif fiskal diberikan untuk mendorong kinerja pemerintah daerah dalam bidang prioritas, bukan untuk menutup defisit atau membayar utang proyek. Penggunaan seperti itu bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi,” tegas Elfenda.
5. Tercatat dalam dokumen, pengajuan anggaran ditandatangani Walikota Binjai
Tahun anggaran 2024 memang menjadi masa sulit bagi Pemko Binjai. Berdasarkan catatan auditor, pemerintah daerah ini mengalami defisit keuangan lebih dari Rp70 miliar.
Defisit itu terdiri atas utang kepada rekanan proyek fisik, pengadaan barang dan jasa, hingga badan layanan umum daerah (BLUD) di RSUD Djoelham Binjai.
Situasi tersebut diyakini menjadi salah satu pemicu pemerintah menggunakan dana DIF untuk menutupi kekurangan pembayaran proyek, meski tindakan itu bertentangan dengan aturan hukum.
Sebagai informasi, pengajuan dana insentif fiskal tahun 2024 ditandatangani langsung oleh Wali Kota Binjai, Amir Hamzah, pada 12 Januari 2023. Hal itu tertuang dalam dokumen bernomor 900.I.11-0728 tentang pengajuan DIF.
Dana tersebut kemudian digunakan untuk berbagai program, termasuk pengentasan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur dasar. Namun, dugaan penyimpangan mulai mencuat setelah realisasi anggaran tidak sesuai dengan laporan hasil audit.
6. Kejari Binjai akui ada Silpa, tapi tak tercatat di laporan Auditor
Menanggapi desakan publik, Kepala Seksi Intelijen Kejari Binjai, Noprianto Sihombing, memastikan bahwa penyidikan kasus ini masih berjalan. “Kami masih melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat yang berkaitan dengan dugaan korupsi dana insentif fiskal. Bahkan ada lima pejabat dari kementerian yang sudah diperiksa,” kata Noprianto.
Ia menegaskan, Kejari Binjai juga telah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk memperdalam aspek eksternal penyidikan.
Namun ketika disinggung soal permintaan bantuan dari Kejati Sumut atau Kejagung, Noprianto menyebut hal itu tidak perlu. “Kami ini satu kesatuan korps, tidak ada perbedaan penyidik di Kejari, Kejati, maupun Kejagung,” jelasnya.
Menariknya, Noprianto justru mengakui bahwa Silpa Rp1,2 miliar memang ada, meski tidak tercantum dalam LHP BPK. “Yang kita temukan penjabarannya, uang itu masih ada. Sisa Rp1,2 miliar itu ada di Silpa, di Kas RKUD (rekening kas umum daerah). Ini akan kita tanyakan ke BPK, kenapa tidak ditulis dalam laporan hasil pemeriksaan,” tegas Noprianto.