ilustrasi gangguan mental (pixabay.com/pexels)
Kesehatan mental menjadi isu yang penting dalam beberapa tahun terakhir. Tren rentang umurnya juga bergeser. Jika kesehatan mental dulu banyak menyerang rentang usia 35 ke atas, kini malah menyasar usia lebih muda.
“Kalau saat ini, usia 20 hingga dewasa awal,” kata Wardiyah.
Penyebabnya, karena tidak bisa mencapai ekspektasi di tengah era modern. Khususnya pada millennials yang sedang dalam tahap pencarian identitas. Potensinya cukup besar. Apalagi jika remaja tersebut menjadi korban perundungan (Bullying).
Sebenarnya, kata Wardiyah, gangguan jiwa bisa dicegah. Ada metode preventif yang bisa dilakukan. Peran orangtua cukup penting untuk melakukan deteksi dini.
“Kalau udah berisiko kepada skizofrenia kita bisa melakukan intervensi. Bekerjasama dengan psikiater dan perawat jiwa. Karena kalau perawat jiwa di Puskesmas. Sehingga mereka mengenal masyarakatnya,” ungkapnya.
Fasilitas kesehatan di Puskesmas saat ini pun sudah mendukung. Masing-masing Puskesmas saat ini sudah disyaratkan memiliki perawat kejiwaan. Bahkan ada psikiater yang rutin melakukan penyuluhan.
Namun sayangnya, isu kesehatan mental, saat ini belum menjadi perhatian orangtua. Minimnya pemahaman jadi satu tantangan dalam deteksi dini. Padahal, intervensi keluarga kepada orang yang memasuki potensi gangguan kesehatan mental begitu penting. Sehingga penanganannya tidak begitu berat. Karena jika sudah masuk ke tahapan skizofrenia, pasien akan tergantung dengan obat. Jika tidak diberikan obat dan penanganan yang baik, maka potensi akan kambuh akan tinggi.
Sampai saat ini, Wardiyah terus aktif melakukan proses penyadartahuan kepada masyarakat tentang penanganan ODGJ. Dia juga aktif membagikan kegiatan lewat media sosial.