Pengalaman LGBT di Medan, Coming Out Bukan Hal yang Mudah

Medan, IDN Times - Matahari telah condong ke barat. Teriknya juga telah berkurang seiring azan Ashar berlalu. Sementara sayup-sayup bacaan Kalamullah dari sejumlah masjid, masih terdengar di antara hiruk-pikuk kesibukan di Kota Medan. Sore itu, IDN Times berkesempatan bertemu dengan Rere, seorang transpuan yang kini aktif di sebuah komunitas bernama Persatuan Transpuan Sumatera Utara (Petrasu).
“Maaf ya kak telat. Tadi selesai tadarusan di rumah,” kata Rere membuka percakapan. Ia tampak sungkan dan merasa tidak enak sebab tahu telah memolorkan waktu dari jadwal yang telah dijanjikan di taman depan Stadion Teladan, masih dalam suasana Ramadan, April 2020 lalu.
Baginya tadarus dan ibadah lainnya harus diprioritaskan. Bahkan bukan hanya untuk dirinya sendiri, ia berbagi ilmu agama dengan menjadi guru mengaji untuk adik dan anak-anak di sekitar rumahnya.
Rere pun mulai bercerita soal kisah hidupnya. Seperti apa? Berikut kisah Rere, Amek dan Candra. Proses melela bukan hal yang mudah bagi teman LGBTI yang berada di Kota Medan ini.
1. Proses melela atau coming out dan dilema dengan identitas. Itulah yang sempat dirasakan Rere sebelum ia memantapkan diri untuk memilih sebagai transpuan
Proses melela atau coming out dan dilema dengan identitas. Itulah yang sempat dirasakan Rere sebelum ia memantapkan diri untuk memilih sebagai transpuan. Begitu panjang proses yang harus ia lalui. Berbagai komunitas yang fokus dengan pendamping kasus HIV (Human Immunodeficiency Virus) sempat dijajaki sebelum ia menentukan tempat yang nyaman di Petrasu.
Memiliki tubuh yang lentik, gemulai, dan dengan ekspresi feminin. Itulah yang ia rasakan sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Dibanding bermain dengan anak laki-laki, Rere lebih senang bermain dengan anak-anak perempuan.
“Dari SD aku udah sadar, aku ini siapa. Aku sudah main boneka barbie dari pelepah daun pisang, kain panjang aku jadikan rambut, gemulai dan aku merasa jiwaku lebih keperempuanan,” kata Rere menceritakan. Ia begitu hangat dan tidak kaku saat berbincang kepada IDN Times.
Termasuk mengenai asmaranya ketika pertama kali ia mengenal cinta. Ia tampak santai dan juga tidak canggung untuk bercerita. Seperti remaja-remaja lainnya, memasuki jenjang bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) Rere mulai menaruh hati pada seorang anak manusia. Bukan perempuan yang dipilih untuk menjadi kekasihnya, melainkan ia menaruh hati pada seorang laki-laki. Itulah untuk pertama kalinya Rere menjalin hubungan dengan laki-laki.
“Saat itu, pacarku anak SMA. Aku gak tahu, aku seorang waria, dan gay waktu itu. Aku beranggapan aku perempuan. Kita pacaran 3 tahun,” ungkapnya mengisahkan awal mula ia mengenal cinta sesama jenis.
Waktu terus berlalu. Menjalani identitas di luar normatif tetap dilakukan Rere, meski semua itu tidak mudah dijalani. Keinginan untuk mendapatkan pengakuan cantik dari sekitar dilakukan dengan berbagai cara, termasuk harus mangkal di jalanan.