[ilustrasi] Sapto, Orangutan anakan yang berhasil dievakuasi oleh petugas Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) dari pemukiman di kawasan Gampong Paya, Kecamatan Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Nanggroe Aceh Darussalam. Selasa (22/1/2019) lalu. (IDN Times/Prayugo Utomo)
Hotmauli pun berpendapat jika pelepasliaran itu dilakukan secara diam-diam lantaran ada ketidakpahaman terhadap isu konservasi.
“Bisa jadi karena ketidaktahuan mereka. Bisa saja. Teman teman bisa menilai, ternyata seperti apa sih pengetahuan khalayak, barang kali Pemda terhadap isu konservasi,” tukasnya.
Selama ini, sambung Hotmauli, pihaknya juga tidak mengetahui jika di rumah Dinas Bupati Taput terdapat satu individu orangutan. Bahkan pihak Pemkab juga tidak pernah melaporkan keberadaan orangutan itu.
Sebelumnya, Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan tidak mengelak saat ditanyai keberadaan Orangutan di rumah dinasnya. Kata Nikson, Orangutan itu diserahkan warga sekitar tiga bulan yang lalu.
Keberadaan Orangutan di rumah dinas bupati menjadi perbincangan hangat di kalangan pegiat lingkungan. Karena Orangutan merupakan satwa langka yang dilindungi undang-undang. “Niat kita merawat,” ujar Nikson, Kamis (30/1) lalu.
Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) Panut Hadisiswoyo memberikan komentar pedas atas dugaan pelepasliaran itu. Kata dia harusnya, Orangutan harus melewati tahap rehabilitasi sebelum dilepasliarkan.
Kata Panut, bisa saja Orangutan yang dilepasliarkan tanpa rehabilitasi bisa membawa penyakit. Itu yang paling dianggap membahayakan populasi liar.
“Kalau itu dilepasliarkan tanpa proses rehabilitasi berpotensi membahayakan populasi liar. Karena jika Orangutan atau primata yang sudah diambil atau dipelihara butuh rehabilitasi. Karena ada aturan-aturan terkait pelepasliaran itu. Efeknya fatal bagi kelangsungan populasi,” pungkas Panut.