Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Perjuangan nelayan tradisional melawan pukat trawl (IDN Times/Indah Permata Sari)
Perjuangan nelayan tradisional melawan pukat trawl (IDN Times/Indah Permata Sari)

Intinya sih...

  • Pukat trawl merusak ekosistem laut, membuat ketimpangan sosial

  • Perempuan pesisir hadapi beban ganda, ekonomi hingga psikologis

  • Nelayan tradisional mendesak pengawasan trawl

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times – Isu penggunaan alat tangkap trawl kembali disorot di forum global. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menjadi salah satu pihak yang menyuarakan keresahan nelayan kecil Indonesia dalam United Nations Ocean Conference (UNOC) 2025, yang berlangsung di Nice, Prancis, 9–13 Juni.

Lewat diskusi yang difasilitasi oleh Koalisi Transform Bottom Trawling (TBT), KNTI menegaskan bahwa trawl tidak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup nelayan kecil, termasuk perempuan pesisir yang menjadi penopang ekonomi rumah tangga.

1. Pukat trawl merusak ekosistem laut, membuat ketimpangan sosial

Polairud Polres Sergai berhasil menangkap dua kapal pukat trawl yang beroperasi di perairan Sergai, Kamis (12/8/2021)

Dalam diskusi yang berlangsung Selasa (10/6/2025), KNTI menekankan bahwa trawl dan modifikasinya memperburuk kondisi nelayan kecil. Miftahul Khausar, Biro Luar Negeri KNTI menyebut forum UNOC sebagai ajang strategis untuk menyuarakan pentingnya perlindungan wilayah tangkap tradisional dan penghentian alat tangkap destruktif.

Senada dengan itu, Hasmia, Wakil Sekjen KNTI, menyoroti dampak trawl terhadap kehidupan perempuan pesisir. “Trawl menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan nelayan, alhasil berdampak secara signifikan terhadap perempuan pesisir. Karena selama ini yang mengatur perekonomian keluarga nelayan adalah perempuan,” jelas Hasmia dilansir ANTARA, Kamis (12/6/2025).

2. Perempuan pesisir hadapi beban ganda, ekonomi hingga psikologis

Perjuangan nelayan tradisional melawan pukat trawl di Tanjung Balai (IDN Times/Indah Permata Sari)

Penurunan hasil tangkapan membuat pendapatan nelayan anjlok. Imbasnya, perempuan yang biasanya mengatur keuangan keluarga harus mencari pekerjaan tambahan—bahkan berutang—untuk memenuhi kebutuhan dasar.

“Perempuan pesisir biasanya usai menyelesaikan urusan domestik, bekerja menjadi pekerja rumah tangga, pengupas kerang, pedagang keliling, atau jika terlampau kepepet maka akan berutang… Sehingga akhirnya perempuan pesisir memiliki beban ganda,” tambah Hasmia.

Lebih jauh, ia juga mengungkap kekhawatirannya bahwa kondisi ekonomi yang terpuruk dapat memicu kekerasan terhadap perempuan pesisir.

3. Nelayan tradisional mendesak pengawasan trawl

Perjuangan nelayan tradisional melawan pukat trawl di Tanjung Balai (IDN Times/Indah Permata Sari)

Dampak nyata juga terjadi di lapangan. Syahril Paranginangin alias Olong, Ketua KNTI Labuhanbatu Utara, menyebut trawl masih beroperasi di bawah 12 mil di wilayahnya.

“Dampaknya, kami nelayan kecil dan tradisional terancam penghasilannya. Keberlanjutan ekonomi keluarga nelayan terancam,” jelas Olong.

Sementara itu, Nilawati dari Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) Kota Medan, menyebut penggunaan trawl di Sumatera makin marak dan merusak habitat laut.

“Trawl menangkap ikan dari yang induk terbesar hingga bibit habis… Nggak jarang terjadi bentrok dengan nelayan tradisional,” tegas Nila.

Nilawati juga menambahkan bahwa kini nelayan kecil kerap pulang tanpa hasil, bahkan merugi karena biaya operasional tinggi dan stok ikan semakin menipis.

Editorial Team