Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Madursha saat menunjukkan koleksi bonekanya di tempat pengungsian. Ia sudah 8 tahun di Indonesia. Madursha pergi dari Sri Lanka bersama keluarganya karena konflik. (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Medan, IDN Times- Toqeer Hasan (10), asal Pakistan, adalah satu dari ratusan anak pengungsi yang mendapatkan akses pendidikan formal di Indonesia, tepatnya di Kota Medan, Sumatra Utara. Ia mulai sekolah saat usianya tujuh tahun.

Sekilas Toqeer terlihat seperti anak yang pendiam. Namun, saat menceritakan aktivitasnya di sekolah, ia begitu bersemangat. Katanya, dia suka sekolah. Ia pun membandingkan kegiatannya selama berada di pengungsian yang cuma tidur, makan, bermain kelereng bersama pengungsi anak lainnya, atau sesekali bermain laptop yang hanya menyala saat dicolok listrik. Baginya kegiatan seperti itu sangat membosankan.

“Aku hanya makan dan tidur, begitulah seterusnya,” ujar Toqeer dalam Bahasa Inggris saat ditemui IDN Times, Rabu, 22 Desember lalu.   

Semenjak Toqeer menjadi murid SD Negeri 064023 Kota Medan, 2019 lalu, hari-harinya mulai berwarna. Kini, ia punya banyak teman sebaya yang berbeda negara. Ia paling gemar ketika gurunya menceritakan kisah-kisah teladan di kelas. Meski tak begitu paham berbahasa Indonesia, ia mengaku bersemangat di sekolah.

Sebagaimana pengungsi lainnya, keluarga Toqeer meninggalkan tanah kelahirannya akibat konflik bersenjata antara Pakistan dan India yang tak kunjung padam yang membuat mereka terpaksa menjual rumah.

Sang ibu, Kaniz Fatima, yang mendampingi Toqeer, mengungkapkan bahwa mereka telah menempati pengungsian tersebut sejak 2013 saat anak-anaknya masih balita. Kini, anak-anak Fatima mulai memasuki usia sekolah.

Sebagai mantan guru di Pakistan, Fatima menyadari, jika anak-anak perlu mendapatkan pendidikan. Dia khawatir dengan masa depan mereka apabila tidak bersekolah.

Seperti halnya Toqeer, Madursha – gadis cilik dari Sri Lanka, juga mengaku senang bisa pergi ke sekolah. Saat disambangi di Community House Sandhy Putra, anak perempuan berbaju merah muda dengan gambar kartun itu tampak ceria menuruni anak tangga menghampiri IDN Times.

"Hai!" sapanya dengan suara lembut. “Saya punya teman orang Indonesia, Saskia dan Sasa, di sekolah. Saya senang bersekolah,” tutur Madursha dengan aksen Sinhala – bahasa sehari-hari Madursha di Sri Lanka – yang masih kental.

Madursha dapat berbicara menggunakan Bahasa Indonesia setelah tinggal delapan tahun di Medan. Ia dan anak-anak pengungsi lainnya mempelajarinya lewat kegiatan yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga asing yang menaruh perhatian pada isu pengungsi, yakni International Organization of Migration (IOM).

Kemampuannya berbahasa Indonesia yang terbatas tak lantas membuat Madursha enggan belajar. Dia mengaku tetap senang bersekolah lantaran bisa bermain dengan teman sekelasnya. Madursha menyukai mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.

"Tidak punya kendala selama di sekolah. Baca bisa sedikit-sedikit," ujarnya.

Bersama ayah, ibu, dan kakaknya, gadis yang kini duduk di bangku kelas tiga itu terpaksa meninggalkan negaranya karena perang saudara yang terjadi sejak 1980-an. Saat pergi dari Sailan (Ceylon) – nama lain dari Sri Lanka, usia Madursha baru menginjak satu tahun.

Ajith Rohan, ayah Madursha, menceritakan awalnya mereka hendak ke Australia untuk mencari suaka. Namun, kapal yang ditumpanginya berputar arah menuju perairan Indonesia. Setelah terdampar, Pemerintah Indonesia menempatkan mereka di Jakarta selama empat bulan, sebelum kemudian dipindahkan ke Community House Sandhy Putra, Medan.

“Selama 24 hari kami di atas kapal,” kenang Ajith yang pernah bekerja sebagai juru masak di Sri Lanka.

Penantian menyekolahkan anak, berbuah manis

Madursha saat mengikuti kelas tatap muka di Sekolah Dasar Negeri 064023 Kota Medan, Kamis (6/1/2022). Ia sudah 8 tahun tinggal di Indonesia. (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Penantian Ajith dan para pengungsi selama beberapa tahun terakhir agar anak-anak mereka dapat menempuh pendidikan formal akhirnya membuahkan hasil. Baginya, anak-anaknya harus bersekolah sekalipun saat ini mereka hidup dalam kondisi sulit. Itulah sebabnya, saat Madursha mulai belajar, dia senang dan mendukung sepenuhnya.

“Mereka (anak-anak) punya masa depan, harus sekolah. Kalau kami, yang tua, akan mati,” jelasnya dalam Bahasa Indonesia patah-patah.

Demikian juga, Kaniz Fatima, ibu Toqeer. Ia mengaku telah lama menanti agar anaknya mendapatkan pendidikan formal. Sayangnya, untuk mewujudkan keinginannya itu tidaklah mudah, lebih-lebih karena status mereka yang hanya pengungsi. Padahal, menurutnya, semua anak, siapapun dia, seharusnya memperoleh pendidikan yang layak.

Itulah mengapa ketika Pemerintah Indonesia membuka kesempatan bersekolah untuk anak-anak pengungsi, Fatima menyambut gembira.  Meskipun, lanjut dia, tidak semua pengungsi anak dapat mengambil kesempatan tersebut karena kendala bahasa.

“Tidak semua bisa berbahasa Inggris, apalagi Bahasa Indonesia,” jelasnya dalam Bahasa Inggris.

Selain kendala bahasa, Ajith mengungkapkan masih ada persoalan lain yang mengganjal. Ia khawatir akan masa depan putrinya karena Pemerintah Indonesia tidak memberikan surat kelulusan kepada pengungsi.

"Kalau bisa diberikan ijazah, dokumen resmi itu kan pasti berlaku di negara manapun. Jadi, nanti ijazah bisa digunakan melanjutkan pendidikan atau bekerja. Itu yang kita harapkan,” ujarnya.

Ijazah, bahasa dan trauma masa lalu menjadi kendala

Editorial Team

Tonton lebih seru di