Nasib Nelayan Natuna di Tengah Konflik Batas Laut ASEAN

Batam, IDN Times - Laut Natuna Utara kembali menjadi sorotan sepanjang tahun 2024. Wilayah yang merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia ini terus menghadapi tantangan geopolitik, mulai dari aktivitas ilegal kapal asing hingga klaim sepihak negara lain.
Perairan strategis yang berada di bawah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) ini menjadi medan sengketa yang menguji keberanian, dan konsistensi kebijakan Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan.
Kehadiran kapal penangkap ikan asing yang sering kali dikawal kapal penjaga pantai negara asal mereka menjadi tantangan utama. Selain itu, potensi kekayaan sumber daya alam, termasuk cadangan minyak dan gas bumi di dasar laut, semakin memperuncing rivalitas antarnegara di kawasan ini.
1. Nelayan Natuna terjepit, pilih melaut hingga perbatasan Malaysia
Maraknya aktivitas ilegal fishing dengan menggunakan pukat trawl oleh Kapal Ikan Asing (KIA) membuat nelayan Indonesia di Natuna tidak dapat bersaing. Hal ini memaksa sebagian nelayan Natuna melaut lebih jauh hingga ke perbatasan Malaysia.
Pada 16 April 2024, tiga kapal nelayan Natuna ditangkap oleh Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) dengan tuduhan melanggar wilayah perairan Sarawak, Malaysia. Penangkapan tersebut berujung pada penahanan terhadap delapan nelayan asal Natuna.
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Kuching turut mendampingi proses hukum yang menyeret delapan nelayan Natuna ini.
Namun, setelah melalui proses pengadilan, Malaysia memutuskan untuk membebaskan para nelayan pada 17 Juli 2024. Pembebasan delapan nelayan Natuna ini karena pihak otoritas Malaysia tidak memiliki bukti kuat terkait pelanggaran batas wilayah.
2. Penindakan kapal ikan asing di laut Natuna utara tahun 2024
Indonesia melalui berbagai lembaga seperti Bakamla RI, TNI Angkatan Laut, dan Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) memperkuat pengawasan di Laut Natuna Utara. Langkah-langkah tegas dilakukan, termasuk patroli rutin menggunakan teknologi modern untuk mendeteksi kapal ilegal.
Dirjen PSDKP, Pung Nugroho Saksono mengatakan, sepanjang tahun 2024 pihaknya telah berhasil menangkap 3 kapal ikan asing di wilayah Laut Natuna Utara.
Pada 4 Mei 2024, dua kapal berbendera Vietnam berhasil ditangkap di perairan Natuna. Kedua kapal, BV 4417 TS dan BV 1182 TS, kedapatan membawa 15 ton ikan hasil tangkapan ilegal menggunakan pukat trawl yang merusak terumbu karang.
"Penindakan ini menunjukkan komitmen kami menjaga kedaulatan laut Indonesia," kata Pung, Sabtu (4/5).
Tidak berhenti disitu, pada 17 Agustus 2024 PSDKP kembali menangkap satu kapal berbendera Vietnam yang membawa satu ton ikan segar.
Penangkapan ini sempat dihalangi oleh kapal Coast Guard Vietnam, namun akhirnya berhasil dilakukan penangkapan. Total kerugian akibat aktivitas ilegal fishing di Laut Natuna Utara diperkirakan mencapai Rp100 miliar.
"Penindakan ini sempat dihalangi oleh aparat dari negara asalnya. Namun, dengan koordinasi dan perintah dari Menteri, kami tetap menjalankan aturan dan proses hukum," tegas Pung, Rabu (21/8).
3. Klaim sembilan garis putus-putus China memicu ketegangan
Polemik terkait wilayah ZEE Laut Natuna Utara dan klaim sembilan garis putus-putus yang diajukan oleh China terus menjadi sorotan hingga tahun 2024 ini.
Hal ini kembali mencuat ketika satu unit kapal penjaga pantai milik China, China Coast Guard (CCG) 5402 diusir oleh KN Tanjung Datu-301 milik Bakamla RI dan KRI Sutedi Senaputera 378 milik TNI Angkatan Laut di Laut Natuna Utara pada, Senin (21/10) lalu.
Saat itu, CCG 5402 memasuki Laut Natuna Utara, tepatmya di wilayah kerja PT Pertamina East Natuna yang berada dalam Landas Kontinen Indonesia.
Kapal tersebut mengganggu kegiatan survei yang sedang berlangsung dengan menggunakan kapal MV Geo Coral yang didampingi oleh tiga kapal pendukung lainnya, yakni UB Anugerah Bersama 17, AHT PSB Roller, dan TB Teluk Bajau Victory.
"Bersama-sama, kedua kapal patroli Indonesia melaksanakan shadowing dan berhasil mengusir kapal CCG 5402 keluar dari wilayah yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara," kata Pranata Humas Ahli Muda Bakamla RI, Kapten Bakamla Yuhanes Antara melalui pesan singkatnya, Selasa (22/10).
Sementara itu, Direktur Operasi Laut Bakamla RI, Laksamana Octavianus Budi Susanto mengatakan, insiden upaya masuknya tiga China Coast Guard sepanjang tahun 2024 telah diantisipasi melalui peningkatan patroli di wilayah Laut Natuna Utara.
"Hot area di kawasan ini menjadi fokus pengawasan kami," kata Laksamana Octavianus Budi Susanto, Selasa (17/12/2024).
Ia menjelaskan, motif utama masuknya kapal China Coast Guard adalah klaim sepihak terhadap wilayah Laut Natuna Utara yang didasarkan pada peta sembilan garis putus (nine-dash line).
"Mereka (China Coast Guard) mengatakan itu wilayah tradisional mereka sesuai peta mereka. Selain itu, kehadiran mereka juga dimaksudkan untuk mengganggu upaya eksplorasi gas oleh Pertamina," ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa situasi ini tidak terlepas dari upaya China untuk mempertahankan kepentingannya di wilayah tersebut, meskipun klaim mereka tidak diakui oleh hukum internasional, termasuk Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS).
Terkait upaya diplomasi, Octavianus memastikan bahwa langkah ini terus dilakukan, bahkan sejak masa pemerintahan Presiden sebelumnya, Joko Widodo. Selain diplomasi, koordinasi antarinstansi juga diperkuat, terutama dengan TNI Angkatan Laut yang ditugaskan mengamankan wilayah perbatasan dan mendukung proses survei eksplorasi.
"Semua pihak bekerja bersama untuk menjaga kedaulatan di wilayah ini," tegasnya.
Perseteruan klaim sembilan garis putus-putus ini turut disoroti Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI). Senior Analyst IOJI, Imam Prakoso menilai, Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan perhatian terhadap ketegangan di Laut Natuna Utara.
"Ketegangan di Laut Natuna Utara adalah tantangan strategis yang harus dihadapi oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto," ujar Imam.
Imam mengingatkan, Indonesia memiliki dasar yang kuat untuk menduduki Laut Natuna Utara setelah adanya putusan Permanent Court of Arbitration (PCA) pada 2016 yang menyatakan klaim sembilan garis putus-putus China atau Tiongkok tidak sah.
Selain itu, ketegangan di Laut Natuna Utara ini turut berpotensi menjadi bom waktu. Pembangunan pulau-pulau militer dan patroli rutin China Coast Guard di Laut China Selatan semakin meningkatkan kekhawatiran tersebut.
"Sebagai negara terbesar di ASEAN, sudah saatnya Indonesia mengambil langkah serius untuk menyiapkan strategi keamanan di Laut Natuna," ujarnya.
Indonesia menurut Imam juga perlu meningkatkan kerja sama dengan negara-negara di ASEAN untuk menjaga stabilitas kawasan agar tidak hanya Natuna, tetapi juga wilayah-wilayah lain tetap aman dari potensi konflik.