Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi anak-anak pengungsi saat bermain di sekolah (Dok:UNHCR Indonesia)

"Saya pernah bermimpi anak saya bisa menjadi guru. Tapi Taliban merebut mimpi itu secara paksa." kata Abrisham (53), pengungsi Afghanistan, di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau—di matanya ada cahaya yang sudah surut. Di balik keriput pelipisnya, tersimpan perih yang tak mampu lagi dijelaskan dengan kata.

Abrisham, bukan nama sebenarnya, sebelum melakukan proses wawancara, ia sempat takut melihat kehadiran penulis—gelisah dan tidak tenang. "Kalau ketahuan IOM (International Organization for Migration), kami bisa ditunda untuk pindah ke negara ketiga. Kalau nama tidak disebutkan, gpp kan? (untuk diwawancarai)," ungkap Abrishman, mukanya pucat saat menjelaskan hal itu kepada penulis.

Sambil duduk memeluk lutut, di pelataran Hotel Kolekta Batam—ia mulai bercerita. Ia berasal dari Gazhuri, sebuah desa yang terperangkap di punggung bukit Provinsi Ghazni, Afghanistan. Desa itu kini tak punya sekolah, tak punya klinik, bahkan rasa aman. Hanya ladang-ladang terjal dan suara malam yang dipecah kokangan senjata Taliban.

"Darah dan senjata bukan makanan untuk anak-anak dan istri saya," katanya, pelan.

Pada tahun 2015, ia menjual rumahnya, satu-satunya harta yang ia punya. Tidak untuk membeli tanah baru, tapi untuk membeli kemungkinan—selamat. Bersama istri dan dua anaknya, ia menyusuri rute pelarian melalui Pakistan, lalu Malaysia, hingga akhirnya menepi ke Kota Batam.

Data dari UNAMA (United Nations Assistance Mission in Afghanistan), sejak tahun 2009 hingga 2021, Provinsi Ghazni mengalami lebih dari 8.400 korban sipil akibat konflik bersenjata antara Taliban dan pemerintah Afghanistan. Sebagian besar korban berasal dari desa-desa seperti Gazhuri—desa yang tak pernah punya kesempatan untuk berkembang, tapi selalu mendapat jatah peluru dan ketakutan.

"Saya masih ingat, saya menyembunyikan anak-anak saya di kolong rumah. Karena setiap kali Taliban datang, mereka ingin mencuri masa depan kami," tegasnya, tangannya terkepal—tapi melemas kembali, mencoba berdamai dengan keadaan.

Harapan yang ingin digapai ditengah kabut pekat

Hotel Kolekta Batam, lokasi penampungan ratusan pengungsi negara konflik (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Siang itu, sinar matahari menembus jendela kusam Hotel Kolekta, di tengah Kota Batam. Lorong-lorongnya sunyi, tapi sesekali suara anak-anak menggelinding bersama tawa kecil—tawa yang tetap tumbuh meski tak disiram harapan. Di lokasi ini, para pencari suaka dari negara konflik seperti: Irak, Afganistan, Sudan, Somalia, dan Palestina ditempatkan.

Di salah satu sudut hotel, seorang remaja lelaki, Ali (17), nama samaran, duduk bersimpuh menatap sepeda rusak. Ia tengah membantu memperbaiki sepeda itu—pekerjaan informal yang dijalani banyak pengungsi untuk sekadar menyambung napas.

"Saya ingin jadi dokter," kata Ali, menunduk. Di wajahnya yang belum benar-benar dewasa, sudah tumbuh keteguhan. Namun cita-cita itu seperti kabut pagi—terlihat, tapi tak pernah bisa diraih.

Ali adalah anak dari Abrisham. Ia meninggalkan Afghanistan saat berusia tujuh tahun, namun trauma masa kecil itu tak pernah benar-benar hilang. Ia masih ingat bau tanah lembab saat disembunyikan di bawah kolong rumah, menanti langkah kaki Taliban berlalu.

"Banyak teman saya yang hilang. Ada yang dipaksa ikut berperang, mati. Saya dan adik saya cuma bisa diam, menggigil, mudah-mudahan Taliban tidak temui kami," kata Ali.

Sejak tahun 2015, ia tumbuh di lorong-lorong Hotel Kolekta. Tapi tak seperti anak-anak lokal seusianya, ia tak pernah tahu bangku sekolah itu seperti apa. Tak ada seragam, tak ada buku pelajaran. Ia hanya mengikuti pelatihan bahasa Inggris yang disediakan IOM.

Menurut Ali, selama 10 tahun di lokasi pengungsian ini, 8 tahun diantaranya dihabiskan berjuang bersama orang tuanya dan pengungsi lainnya. Mereka saat itu secara rutin melakukan aksi demonstrasi di kantor United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Batam, Imigrasi Batam, Pemerintah Kota Batam, dan kantor DPRD Batam.

"Tuntutan kami meminta segera dipindahkan ke negara ketiga seperti Amerika, selain itu juga akses pendidikan," ungkapnya.

Berdasarkan data yang didapatkan dari UNHCR Indonesia, secara nasional, tren jumlah pengungsi memang mengalami penurunan. Bila pada tahun 2015-2016 jumlahnya mencapai lebih dari 14.000 orang, kini hanya sekitar 12.300 jiwa yang tercatat tinggal di Indonesia.

Dari jumlah itu, tidak semua anak-anak pengungsi negara konflik duduk di bangku pendidikan formal. Sisanya hidup di ruang tunggu panjang tanpa arah, seperti Ali—sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, secercah harapan itu muncul, Pemerintah Kota Batam mulai melunak. Komunikasi dengan IOM mulai berjalan untuk mencari jalan keluar, memberikan akses pendidikan formal kepada anak-anak pengungsi.

Namun, hal itu berjalan alot dan tidak jelas. Tanpa proses serimonial—budaya di dalam Pemerintahan Indonesia, program ini mulai berjalan pada tahun 2023. Tanpa suara, agar tidak disorot media arus utama.

"Dua tahun lalu saat saya berusia 15 tahun, saya disekolahkan di tingkat pendidikan SMP, itu dibiayai oleh IOM. Itu adalah harapan baru bagi saya untuk bisa menjadi dokter," kata Ali, pupil matanya membesar, menunjukan rasa optimisme yang tinggi.

Namun, akses sekolah yang diberikan masih belum cukup menyalurkan hasrat Ali dalam menempuh jalur pendidikan formal, kendalanya adalah komunikasi. Di SMP Advent Batam, ia harus menyesuaikan diri untuk menggunakan bahasa Indonesia—untuk mengikuti pembelajaran, tapi itu bukan kendala berarti baginya.

Kendala sebenarnya akan terjadi dalam waktu dekat. Ali mendapatkan kabar bahwa IOM hanya memberikan akses pendidikan hingga di tingkat SMP, sementara SMA tidak akan ada.

"Semoga saya cepat dipindahkan ke negara ketiga seperti Amerika, disana saya akan bebas, saya bisa bekerja dan mengejar pendidikan yang lebih tinggi. Saya masih ingin menjadi dokter," tutupnya.

Di tengah obrolan kami, Abrisham menghampiri kami. Ia secara sepontan menyebut bahwa negara ketiga adalah jalan keluar yang sebenarnya bagi dirinya, keluarganya, dan pengungsi lainnya.

Di sana, meski akan memulai dari awal, ia bisa mendapatkan pekerjaan, mendapatkan pengakuan kewarganegaraan—masa depan anak-anaknya yang lebih jelas.

"Saya dan keluarga sudah masuk daftar untuk dipindahkan ke Amerika. Saya harap itu secepatnya, agar anak-anak saya bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak," tutupnya.

Harapan yang tertahan di negeri persinggahan

Aksi unjuk rasa para pengungsi negara konfil di Kota Batam pada tahun 2023 (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Di balik gedung-gedung pencakar langit dan geliat industri Kota Batam, ada sekelompok anak-anak yang hidup dalam ketidakpastian. Mereka bukan warga lokal, bukan pula turis—mereka adalah anak-anak pengungsi dari negara-negara konflik: Afghanistan, Somalia, Sudan, Palestina dan Irak, yang ikut bersama orang tuanya untuk mencari suaka ke negara ketiga.

Namun, sudah bertahun-tahun mereka tertahan di Batam—dan yang paling nyata dari penantian itu adalah absennya hak dasar mereka hingga tahun 2023: pendidikan.

Erry Syahrial, pemerhati perempuan dan anak di Kota Batam menyuarakan kegelisahan yang selama ini sepi dari perhatian publik—melihat permasalahan ini jauh ke belakang. Dalam wawancara bersama penulis di sudut Kota Batam, ia menyampaikan bahwa ada beberapa anak-anak pengungsi yang belum mendapatkan akses pendidikan yang layak.

"Mereka tidak mendapatkan hak-hak dasar sebagai anak. Salah satunya adalah hak pendidikan. Padahal ini sangat penting untuk tumbuh kembang mereka," kata Erry. "Mestinya pendidikan formal itu bisa diberikan jauh sebelum tahun 2023. Bentuknya bisa bermacam-macam; sekolah umum, kelas khusus, bahkan homeschooling. Tinggal bagaimana pemerintah merespon," ungkapnya, 9 April 2025.

Bukan berarti masyarakat sipil diam. Beberapa LSM dan kelompok relawan telah menunjukkan kepedulian mereka dengan memberikan pendidikan informal kepada anak-anak pengungsi. Namun, seperti disampaikan Erry, "tembok yang memisahkan," tegasnya.

"Banyak yang ingin membantu, tapi bingung bagaimana caranya. Karena status mereka sebagai warga asing, jadi banyak yang merasa tidak punya akses hukum untuk terlibat langsung," tambahnya.

Hal ini membuat potensi solidaritas masyarakat sipil di Batam terbentur kebijakan yang kaku. Padahal, jika akses tersebut dibuka, berbagai komunitas lokal seperti guru relawan, hingga mahasiswa bisa turun tangan—mengisi kekosongan sistem.

Erry menilai, kebijakan yang ada masih 'setengah hati' dalam mengakomodasi hak-hak anak pengungsi.

"Ada rasa khawatir dari pelaksana kebijakan. Misalnya, apakah dinas pendidikan bisa menerima mereka? Apakah ada landasan hukumnya? Ini yang membuat inisiatif jadi tersendat," lanjutnya.

Ia menyarankan agar pemerintah daerah, UNHCR, IOM, dan NGO lain duduk bersama dan merumuskan ulang kebijakan yang lebih inklusif. Bukan hanya soal izin formal, tapi juga pendekatan psikososial, bahasa, dan keterampilan hidup yang dibutuhkan anak-anak ini selama mereka menunggu kepastian nasib di negara transisi seperti Indonesia.

Menurut Erry, belum meratanya akses pendidikan bukan hanya soal hak yang terampas. Ini juga menyimpan bom waktu sosial—anak-anak yang tumbuh tanpa pendidikan formal berisiko mengalami alienasi, keterasingan, bahkan konflik sosial dengan warga lokal.

"Kalau mereka tidak mendapat pendidikan, tumbuh kembangnya tidak maksimal. Ini bisa jadi persoalan sosial baru di Batam. Anak-anak ini jadi tidak punya bekal untuk masa depan, baik di negara ketiga atau kalaupun harus tinggal lebih lama di sini," kata Erry.

Ia menekankan pentingnya pendidikan, termasuk penguasaan bahasa dan keterampilan dasar, sebagai bentuk perlindungan masa depan—baik untuk anak-anak pengungsi itu sendiri, maupun masyarakat tempat mereka tinggal sementara.

Menurutnya, harapan masih ada—Batam memiliki potensi besar. Banyak tenaga pendidik, relawan, dan komunitas yang siap bergerak jika diberi ruang. Masalahnya tinggal keberanian pemerintah membuka akses, memperbarui regulasi, dan memosisikan diri bukan hanya sebagai negara persinggahan, tapi juga negara yang menghormati hak anak—siapapun mereka.

Lanjut Erry, anak-anak pengungsi negara konflik di Batam tidak meminta belas kasihan. Mereka hanya ingin yang seharusnya menjadi milik setiap anak di dunia; kesempatan belajar, tumbuh, dan bermimpi. Meski di tengah ketidakpastian, mereka tetap menatap ke depan.

"Satu buku, satu kelas, satu izin kecil dari pemerintah—bisa menjadi jendela mereka untuk melihat dunia," pungkasnya.

Menunggu tidak harus kehilangan hak dasar

Ilustrasi anak-anak pengungsi saat duduk di bangku pendidikan formal Indonesia (Dok:UNHCR Indonesia)

Di balik deretan kamar hotel sederhana di Kota Batam, kehidupan puluhan keluarga pengungsi terus berjalan. Tak sedikit anak-anak bermain di lorong, sementara orang tua mereka sibuk menyesuaikan harapan dari sepeda-sepeda rusak. Mereka adalah bagian dari 380 jiwa pengungsi negara konflik di Batam—negara yang memaksa warganya untuk enyah sementara, untuk menghindari lobang hitam konflik kepentingan.

Menurut data UNHCR Indonesia per Februari 2025, 66 persen pengungsi di Batam berasal dari Afghanistan, 20 persen dari Sudan, dan sisanya dari berbagai negara lainnya. Dari keseluruhan jumlah itu, terdapat 96 anak-anak di bawah usia 18 tahun. Namun, hanya 59 di antaranya yang berhasil duduk di bangku sekolah formal, satu di Sekolah Luar Biasa (SLB), dan 37 lainnya belum duduk di kursi pendidikan formal.

"Masalah pendidikan ini tidak sesederhana menyediakan bangku sekolah," kata Mitra Suryono, Associate Communications Officer UNHCR Indonesia melalui sambungan seluler, 9 April 2025.

Ia menjelaskan, anak-anak pengungsi sering kali mengalami hambatan bahasa dan ketidakpastian masa depan di Indonesia. Banyak orang tua ragu menyekolahkan anaknya di negeri ini karena merasa hanya akan tinggal sementara. "Selain itu, sekolah negeri tentu mengutamakan anak-anak Indonesia. Jadi, kapasitas sekolah menjadi kendala nyata," tambahnya.

Untuk menjembatani kesenjangan ini, UNHCR bekerja sama dengan mitra-mitranya dalam menyediakan kelas informal, termasuk pelajaran bahasa Indonesia dan Inggris sebagai tahap persiapan sebelum masuk ke sekolah formal. Namun lagi-lagi, semua bergantung pada keputusan orang tua pengungsi. Tidak semua keluarga pengungsi melihat Indonesia sebagai tempat tinggal jangka panjang.

Lanjutnya—sejak tahun 2011, situasi pengungsi di Indonesia mengalami perubahan signifikan. Bila dulu banyak yang ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim), kini mereka tinggal di akomodasi seperti hotel yang disediakan oleh IOM, atas dukungan UNHCR.

Di Batam, sekitar 370 dari 380 pengungsi tinggal di Hotel Kolekta. Hanya segelintir yang mampu mandiri secara finansial untuk menyewa tempat tinggal sendiri.

"Semua kebutuhan harian seperti makanan, kesehatan, hingga pendidikan ditangani oleh UNHCR dan IOM. Tidak ada beban kepada negara Indonesia," ungkapnya.

Secara nasional di Indonesia, tren jumlah pengungsi memang mengalami penurunan. Bila pada tahun 2015-2016 jumlahnya mencapai 15.000 orang, kini hanya sekitar 12.300 jiwa yang tercatat tinggal di Indonesia. Namun, kehadiran mereka menjadi lebih terlihat karena eksposur media dan media sosial yang meningkat, terutama menyusul gelombang kedatangan pengungsi Rohingya pasca-pandemi di pesisir Aceh.

Bagi sebagian pengungsi, Indonesia hanyalah tempat transit. Mereka menunggu kesempatan untuk dipindahkan ke negara ketiga seperti Amerika Serikat, Kanada, atau Australia. Tapi proses ini jauh dari cepat dan sederhana.

"Tidak ada batas waktu pasti untuk pemindahan. Itu semua tergantung dari negara ketiga yang bersangkutan," ujar Mitra. Proses seleksi, wawancara, dan kualifikasi dilakukan oleh negara tujuan. Pengungsi yang masuk kategori rentan—seperti korban kekerasan atau anak-anak tanpa wali—memiliki kemungkinan lebih besar untuk segera dipindahkan. Namun bagi yang tidak, masa tunggu bisa mencapai 7 hingga 10 tahun.

"Bayangkan seorang anak yang tumbuh besar di negeri asing tanpa kepastian masa depan. Itu bukan hanya beban fisik, tapi juga beban psikologis yang berat," lanjutnya.

UNHCR bekerja erat dengan pemerintah Indonesia dalam hal registrasi, distribusi data, dan koordinasi penanganan pengungsi. Pemerintah juga telah menunjukkan komitmennya dengan memberikan hak tinggal dan akses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

Contohnya, surat edaran tahun 2019 memungkinkan anak-anak pengungsi mengakses sekolah formal. Di sektor kesehatan, mereka bisa mendapatkan layanan di Puskesmas seperti warga negara Indonesia. Namun, belum ada regulasi hukum yang benar-benar mengikat dalam bentuk undang-undang.

"Advokasi terus kami lakukan dari tahun ke tahun. Tapi legal standing masih menjadi tantangan," kata Mitra.

UNHCR tidak hanya menunggu solusi dari negara asal atau negara ketiga. Mereka juga terus menggali alternatif lain seperti skema pendidikan, tenaga kerja, dan private sponsorship. Jalur sponsor pribadi, misalnya, menunjukkan perkembangan signifikan: dari hanya puluhan pengungsi sebelum tahun 2024, pada tahun 2024 meningkat menjadi 281 orang yang berhasil pindah lewat jalur ini di akhir tahun.

Namun, ia menekankan bahwa solusi individual ini tetap tidak bisa menggantikan kebutuhan akan solusi global.

"Konflik di Afghanistan belum selesai, diskriminasi terhadap Rohingya tak kunjung usai, dan belum reda sudah muncul konflik baru seperti di Ukraina," ujarnya. "Kalau akar masalahnya tidak diselesaikan, jumlah pengungsi akan terus bertambah," tegasnya.

Mitra menutup pernyataannya dengan refleksi sederhana: "Pengungsi itu manusia. Mereka bukan hanya statistik. Mereka butuh masa depan, bukan sekadar tempat untuk menunggu," ungkapnya. Ia berharap komunitas internasional bisa bahu-membahu, tak hanya memberikan tempat sementara, tapi juga membuka peluang hidup yang layak.

Untuk sekarang, anak-anak di Batam masih melafalkan huruf demi huruf dalam bahasa Indonesia, sementara orang tua mereka menggenggam harapan akan negeri yang bisa disebut rumah. Sebab menunggu tak seharusnya berarti kehilangan hak-hak dasar sebagai manusia.

Gazhuri hanyalah awal dari jalan pengungsian panjang itu. Desa di punggung bukit itu telah merenggut masa kecil Ali serta anak-anak pengungsi lainnya, dan di tanah asing ini—Indonesia, harapan untuk masa depan mereka masih tertahan.

Bahkan ketika dunia menyoroti Gaza, Aleppo, dan Kabul—di Batam, suara-suara sunyi pengungsi dari negara konflik masih terjebak di lorong-lorong penginapan, menunggu mimpi yang mungkin tak pernah datang.

Tapi seperti kata Ali, sambil menatap sepeda yang sudah ia betulkan—"Kalau tak bisa sekolah, saya akan belajar sendiri. Kalau tak bisa jadi dokter, saya akan tetap bantu orang. Tapi saya ingin cita-cita itu tidak hilang begitu saja," tutupnya. Dan dari lorong yang sempit itu, barangkali satu dunia baru sedang dirajut diam-diam—dari serpihan mimpi, dari luka perang, dan dari tekad yang tak bisa dibunuh oleh peluru-peluru pasukan Taliban.

Catatan Redaksi:

Beberapa nama narasumber dalam laporan ini telah disamarkan demi alasan keamanan narasumber, dan untuk menghindari risiko penghambatan terhadap proses pemindahan mereka ke negara ketiga. Upaya pengajuan wawancara juga telah dilakukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam, namun hingga laporan ini diterbitkan, tidak ada tanggapan yang diberikan. Sementara itu, dalam pengajuan wawancara yang telah diajukan kepada IOM, mereka menyatakan tidak bersedia memberikan keterangan apapun di dalam upaya proses wawancara yang diajukan oleh penulis.

Editorial Team