Ilustrasi anak-anak pengungsi saat duduk di bangku pendidikan formal Indonesia (Dok:UNHCR Indonesia)
Di balik deretan kamar hotel sederhana di Kota Batam, kehidupan puluhan keluarga pengungsi terus berjalan. Tak sedikit anak-anak bermain di lorong, sementara orang tua mereka sibuk menyesuaikan harapan dari sepeda-sepeda rusak. Mereka adalah bagian dari 380 jiwa pengungsi negara konflik di Batam—negara yang memaksa warganya untuk enyah sementara, untuk menghindari lobang hitam konflik kepentingan.
Menurut data UNHCR Indonesia per Februari 2025, 66 persen pengungsi di Batam berasal dari Afghanistan, 20 persen dari Sudan, dan sisanya dari berbagai negara lainnya. Dari keseluruhan jumlah itu, terdapat 96 anak-anak di bawah usia 18 tahun. Namun, hanya 59 di antaranya yang berhasil duduk di bangku sekolah formal, satu di Sekolah Luar Biasa (SLB), dan 37 lainnya belum duduk di kursi pendidikan formal.
"Masalah pendidikan ini tidak sesederhana menyediakan bangku sekolah," kata Mitra Suryono, Associate Communications Officer UNHCR Indonesia melalui sambungan seluler, 9 April 2025.
Ia menjelaskan, anak-anak pengungsi sering kali mengalami hambatan bahasa dan ketidakpastian masa depan di Indonesia. Banyak orang tua ragu menyekolahkan anaknya di negeri ini karena merasa hanya akan tinggal sementara. "Selain itu, sekolah negeri tentu mengutamakan anak-anak Indonesia. Jadi, kapasitas sekolah menjadi kendala nyata," tambahnya.
Untuk menjembatani kesenjangan ini, UNHCR bekerja sama dengan mitra-mitranya dalam menyediakan kelas informal, termasuk pelajaran bahasa Indonesia dan Inggris sebagai tahap persiapan sebelum masuk ke sekolah formal. Namun lagi-lagi, semua bergantung pada keputusan orang tua pengungsi. Tidak semua keluarga pengungsi melihat Indonesia sebagai tempat tinggal jangka panjang.
Lanjutnya—sejak tahun 2011, situasi pengungsi di Indonesia mengalami perubahan signifikan. Bila dulu banyak yang ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim), kini mereka tinggal di akomodasi seperti hotel yang disediakan oleh IOM, atas dukungan UNHCR.
Di Batam, sekitar 370 dari 380 pengungsi tinggal di Hotel Kolekta. Hanya segelintir yang mampu mandiri secara finansial untuk menyewa tempat tinggal sendiri.
"Semua kebutuhan harian seperti makanan, kesehatan, hingga pendidikan ditangani oleh UNHCR dan IOM. Tidak ada beban kepada negara Indonesia," ungkapnya.
Secara nasional di Indonesia, tren jumlah pengungsi memang mengalami penurunan. Bila pada tahun 2015-2016 jumlahnya mencapai 15.000 orang, kini hanya sekitar 12.300 jiwa yang tercatat tinggal di Indonesia. Namun, kehadiran mereka menjadi lebih terlihat karena eksposur media dan media sosial yang meningkat, terutama menyusul gelombang kedatangan pengungsi Rohingya pasca-pandemi di pesisir Aceh.
Bagi sebagian pengungsi, Indonesia hanyalah tempat transit. Mereka menunggu kesempatan untuk dipindahkan ke negara ketiga seperti Amerika Serikat, Kanada, atau Australia. Tapi proses ini jauh dari cepat dan sederhana.
"Tidak ada batas waktu pasti untuk pemindahan. Itu semua tergantung dari negara ketiga yang bersangkutan," ujar Mitra. Proses seleksi, wawancara, dan kualifikasi dilakukan oleh negara tujuan. Pengungsi yang masuk kategori rentan—seperti korban kekerasan atau anak-anak tanpa wali—memiliki kemungkinan lebih besar untuk segera dipindahkan. Namun bagi yang tidak, masa tunggu bisa mencapai 7 hingga 10 tahun.
"Bayangkan seorang anak yang tumbuh besar di negeri asing tanpa kepastian masa depan. Itu bukan hanya beban fisik, tapi juga beban psikologis yang berat," lanjutnya.
UNHCR bekerja erat dengan pemerintah Indonesia dalam hal registrasi, distribusi data, dan koordinasi penanganan pengungsi. Pemerintah juga telah menunjukkan komitmennya dengan memberikan hak tinggal dan akses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Contohnya, surat edaran tahun 2019 memungkinkan anak-anak pengungsi mengakses sekolah formal. Di sektor kesehatan, mereka bisa mendapatkan layanan di Puskesmas seperti warga negara Indonesia. Namun, belum ada regulasi hukum yang benar-benar mengikat dalam bentuk undang-undang.
"Advokasi terus kami lakukan dari tahun ke tahun. Tapi legal standing masih menjadi tantangan," kata Mitra.
UNHCR tidak hanya menunggu solusi dari negara asal atau negara ketiga. Mereka juga terus menggali alternatif lain seperti skema pendidikan, tenaga kerja, dan private sponsorship. Jalur sponsor pribadi, misalnya, menunjukkan perkembangan signifikan: dari hanya puluhan pengungsi sebelum tahun 2024, pada tahun 2024 meningkat menjadi 281 orang yang berhasil pindah lewat jalur ini di akhir tahun.
Namun, ia menekankan bahwa solusi individual ini tetap tidak bisa menggantikan kebutuhan akan solusi global.
"Konflik di Afghanistan belum selesai, diskriminasi terhadap Rohingya tak kunjung usai, dan belum reda sudah muncul konflik baru seperti di Ukraina," ujarnya. "Kalau akar masalahnya tidak diselesaikan, jumlah pengungsi akan terus bertambah," tegasnya.
Mitra menutup pernyataannya dengan refleksi sederhana: "Pengungsi itu manusia. Mereka bukan hanya statistik. Mereka butuh masa depan, bukan sekadar tempat untuk menunggu," ungkapnya. Ia berharap komunitas internasional bisa bahu-membahu, tak hanya memberikan tempat sementara, tapi juga membuka peluang hidup yang layak.
Untuk sekarang, anak-anak di Batam masih melafalkan huruf demi huruf dalam bahasa Indonesia, sementara orang tua mereka menggenggam harapan akan negeri yang bisa disebut rumah. Sebab menunggu tak seharusnya berarti kehilangan hak-hak dasar sebagai manusia.
Gazhuri hanyalah awal dari jalan pengungsian panjang itu. Desa di punggung bukit itu telah merenggut masa kecil Ali serta anak-anak pengungsi lainnya, dan di tanah asing ini—Indonesia, harapan untuk masa depan mereka masih tertahan.
Bahkan ketika dunia menyoroti Gaza, Aleppo, dan Kabul—di Batam, suara-suara sunyi pengungsi dari negara konflik masih terjebak di lorong-lorong penginapan, menunggu mimpi yang mungkin tak pernah datang.
Tapi seperti kata Ali, sambil menatap sepeda yang sudah ia betulkan—"Kalau tak bisa sekolah, saya akan belajar sendiri. Kalau tak bisa jadi dokter, saya akan tetap bantu orang. Tapi saya ingin cita-cita itu tidak hilang begitu saja," tutupnya. Dan dari lorong yang sempit itu, barangkali satu dunia baru sedang dirajut diam-diam—dari serpihan mimpi, dari luka perang, dan dari tekad yang tak bisa dibunuh oleh peluru-peluru pasukan Taliban.
Catatan Redaksi:
Beberapa nama narasumber dalam laporan ini telah disamarkan demi alasan keamanan narasumber, dan untuk menghindari risiko penghambatan terhadap proses pemindahan mereka ke negara ketiga. Upaya pengajuan wawancara juga telah dilakukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam, namun hingga laporan ini diterbitkan, tidak ada tanggapan yang diberikan. Sementara itu, dalam pengajuan wawancara yang telah diajukan kepada IOM, mereka menyatakan tidak bersedia memberikan keterangan apapun di dalam upaya proses wawancara yang diajukan oleh penulis.