Orangutan sumatra (inaturalist.org/andraescholz)
Fakta menarik lainnya, philopatri betina (kecenderungan betina tetap tinggal di wilayah asal) berperan besar dalam interaksi sosial orangutan. Karena sering bertemu dengan kerabat, muncul dua kemungkinan: toleransi atau persaingan.
Ketika makanan melimpah, mereka bisa berbagi dengan kerabat dekat. Namun saat buah terbatas, persaingan tak terhindarkan. Betina dominan bahkan bisa menunjukkan perilaku agresif demi mempertahankan sumber pakan. Uniknya, perilaku ini lebih sering diarahkan ke individu asing daripada kerabat dekat.
“Situasi ini menimbulkan dua konsekuensi yaitu persaingan dan toleransi. Di satu sisi, philopatri meningkatkan persaingan antar betina dalam memperebutkan sumber pakan. Ketika buah terbatas, betina dapat menunjukkan perilaku dominansi, bahkan agresi, terhadap individu lain,” jelas Fitriah.
Sistem sosial orangutan juga memperlihatkan adanya hirarki dominasi, meski tidak sekuat pada primata lain seperti gorila atau simpanse. Dominasi umumnya ditunjukkan oleh jantan dewasa saat berebut pohon pakan atau pasangan kawin. Namun, penelitian di Ketambe, Aceh, menemukan bahwa betina juga dapat membentuk hirarki, khususnya ketika bersaing mendapatkan akses ke pohon pakan besar seperti giant strangler figs. Fenomena pengusiran antarindividu di pohon pakan ini cukup jelas terlihat di Ketambe, meski jarang dilaporkan di lokasi lain. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa orangutan liar lebih dominan dibandingkan individu eks-rehabilitan.
Dalam banyak kasus, orangutan eks-rehabilitan hanya bisa menunggu giliran setelah individu liar selesai memakan pakan. Meski demikian, dominansi tetap terlihat di antara kelompok eks-rehabilitan sendiri. Induk bisa bersaing dengan anak, atau antar saudara saling mengusir untuk memperoleh makanan. Dinamika ini menandakan bahwa meskipun memiliki posisi lebih rendah dibanding populasi liar, eks-rehabilitan tetap membangun sistem sosial internal yang kompleks. Temuan ini juga menggarisbawahi pentingnya faktor ekologis, seperti ketersediaan pakan, dalam pembentukan dominansi. Implikasinya, kemampuan menghadapi persaingan sosial sangat menentukan keberhasilan eks-rehabilitan dalam bertahan hidup setelah dilepasliarkan.
Salah satu contoh nyata adalah Keluarga Binjei. Binjei merupakan orangutan betina eks-rehabilitan yang dilepasliarkan pada 1972. Dari individu ini lahir beberapa keturunan yang kemudian berkembang menjadi keluarga besar di Ketambe. Analisis genetik mengonfirmasi setidaknya ada dua keluarga yang merupakan keturunan langsung Binjei, sementara empat keluarga lain berasal dari populasi liar. Pengamatan menunjukkan keluarga Binjei memiliki tingkat dominansi lebih rendah dibanding keluarga liar, tetapi tetap mampu bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini menjadi bukti bahwa program pelepasliaran dapat berhasil, meski individu eks-rehabilitan harus menghadapi tantangan sosial maupun ekologis.