Ilustrasi warga berdoa di makam keluarganya saat melakukan ziarah kubur di pemakaman. (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)
Selain marpangir, orang Jawa menjalankan ritual ziarah dan punggahan, yaitu upacara yang dijalankan secara kolektif dalam rangka mempersiapkan diri secara lahir dan batin. Ritual ziarah ke makam keluarga yang telah meninggal, marpangir dan punggahan merupakan upacara ritual yang biasanya dijalankan secara berurutan.
Dalam tradisi Jawa, ketiga aktivitas tersebut menjadi satu paket yang sudah menjadi tradisi turun temurun dalam rangka slametan (selamatan) yang berkaitan dengan tanggal-tanggal penting dalam kalender Islam.
Masih ada jenis slametan lain di luar penyambutan Ramadhan. Sebagaimana dikatakan Geertz dalam bukunya ”Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa” (1981), slametan yang dijalankan oleh orang Jawa terbagi dalam empat jenis, yaitu untuk menghormati sekitar krisis kehidupan (kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian), merayakan sesuatu yang ada hubungannya dengan hari-hari Islam, integrasi sosial desa, dan slametan yang diselenggarakan dalam waktu tidak tetap.
Ziarah, marpangir dan punggahan dijalankan berdasarkan kepercayaan orang Jawa yang meyakini adanya integrasi masyarakat dengan alam adikodrati yang diwujudkan dalam bentuk penghormatan terhadap nenek moyang atau leluhur.
Meskipun demikian, Islam tetap menjadi kekuatan dominan dalam setiap kegiatan ritual dan kepercayaan orang Jawa di Sumatera Utara. Dalam literatur antropologi, hal itu disebut Woodward (2006:10) sebagai Islam Jawa (dikategorikan sebagai abangan dan priyayi).
Prinsip yang menjadi landasan bagi orang Jawa adalah untuk menciptakan keadaaan slamet, dengan menciptakan sesuatu yang selaras dengan alam. Untuk itu, selain berserah diri pada Tuhan yang Maha Esa secara Islam, juga diperlukan tindakan-tindakan khusus untuk mengintegrasikan manusia dengan alam adikodrati yang dalam hal ini adalah penghormatan terhadap nenek moyang. Marpangir, ziarah dan punggahan sesungguhnya tidak ditemukan dalam ajaran Islam.
Dalam antropologi, menurut Koentjaraningrat (985:243), upacara-upacara ritual, baik secara kolektif maupun individual, pelaksanaannya harus memenuhi komponen tempat upacara, saat upacara, alat-alat upacara, dan orang-orang yang melakukan upacara.
Benda dan alat-alat yang digunakan untuk melakukan marpangir tidak hanya dipilih karena menimbulkan aroma wewangian yang khas sehingga berdampak memberikan kesegaran bagi yang menggunakannya, tapi juga diyakini mengandung kekuatan penyucian diri.
Ramuan-ramuan “pangir” dipadu dengan cara direbus bersama, kemudian diguyurkan dari ujung kepala hingga ke seluruh tubuh. Unsur-unsur seperti serai wangi, bunga pinang, daun pandan, daun nilam, buah dan daun jeruk purut, serta batang kapellon dianggap dapat menginterpretasikan keharuman untuk doa yang dipanjatkan.
Jeruk purut dipercaya sebagai benda yang ampuh untuk membersihkan atau menjauhkan dari dari gangguan makhluk-makhluk jahat. Jenis akar rusa melambangkan keteguhan hati, pertahanan, dan kekuatan, seperti akar yang mengikat pohonnya. Jadi, setiap bahan pangir adalah simbol dari harapan atau doa. Dari pendekatan logika, bahan-bahan khusus tersebut memang memancarkan keharuman yang dapat menenteramkan, menyejukkan, dan memulikan jiwa.
Berkaitan dengan kegiatan puasa pada bulan Ramadhan, setiap jenis benda yang digunakan dalam kegiatan marpangir dianggap mempunyai kekuatan yang ampuh dan berfungsi untuk menyelamatkan penggunanya dari gangguan-gangguan hawa nafsu selama menjalankan ibadah puasa.
Gangguan-gangguan tersebut dipercaya selalu muncul dari makhluk-makhluk jahat yang tidak kelihatan, dan makhluk-makhluk ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam hidup mereka.
Hal ini mencerminkan nilai-nilai yang merepresentasikan suatu pengharapan keberkahan dan keselamatan bagi yang menggunakannya, serta terhindar dari marabahaya. Agar kegatan ini berjalan sukses, maka unsur pangir harus lengkap.