Warga nagari Pasa membuat kerangka Tabuik di Pariaman, Sumatera Barat, Rabu (19/7/2023). Dua warga nagari Pasa dan Subarang memulai membuat kerangka tabuik yang tingginya dapat mencapai 12,6 meter itu dalam rangka Pesona Hoyak Tabuik Budaya Piaman 2023 mulai 19 hingga 30 Juli 2023. (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)
Tabuik atau Batabuik (pesta Tabuik) di Kota Pariaman memiliki sejarah panjang dalam setiap penyelenggaraannya. Kata Tabuik sendiri berasal dari bahasa Arab (Ibrani) yakni At-Tabut, yang berarti peti dan keranda.
Menurut Zakaria dkk dalam Penyelenggaraan Pesta Budaya Tabuik: Perspektif Nilai-nilai Agama (2005), orang-orang Mesir Kuno menyebut Tabut sebagai peti yang terbuat dari batu atau kayu, tempat meletakkan mayat. Di atas peti itu ditumbuhi relief dan gambar-gambar kesedihan orang Mesir serta keyakinan pada alam lain.
Sementara itu, Refisrul dalam Jurnal Sejarah Badan Pelestarian Nilai Budaya berjudul Upacara Tabuik : Ritual Keagamaan pada Masyarakat Pariaman (2016) menerangkan perayaan Tabuik di Pariaman berasal dari Bengkulu, yang dibawa oleh Bangsa Cipei atau Keling (Tamil Islam).
Bangsa Cipei tersebut berasal dari India yang oleh Inggris dijadikan serdadu ketika menguasi (mengambil alih) Bengkulu dari tangan Belanda yang dikenal dengan Traktat London 1824. Setelah Belanda kembali merebut Bengkulu dari tangan Inggris dan menukarnya dengan Singapura, sebagian Bangsa Cipei itu mulai bepergian hingga ke Pariaman dan kemudian mengembangkan budaya Tabuik.
Di Pariaman, menurut Buya Hamka dalam Zakaria dkk (2005), Orang Cipei berprofesi sebagai tukang patri. Adanya tradisi Tabuik ini erat kaitannya dengan suatu peristiwa di masa lampau, yakni kisah terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad di Padang Karbala yang terjadi pada tahun 681 Masehi lalu.
Meninggalnya Husein bin Ali adalah dengan cara dipancung dan jasadnya dicincang oleh tentara Yazid dan Bani Ummayah, kepalanya dipisahkan dari badannya. Peperangan antara kedua belah pihak berlangsung selama 10 hari yakni dari tanggal 1 sampai 10 Muharam.
Selepas terbunuhnya Husein, datang arak-arakan dari langit yang dibawa oleh serombongan malaikat. Mayat Husein diambil beserta semua bagian badan yang terbelah dan dimasukan ke dalam arak-arakan yang kemudian dibawa terbang oleh seekor burak dan seterusnya naik ke atas langit.
Selanjutnya, Refisrul (2016) menceritakan ketika burak naik ke atas langit, pada keranda atau arak-arakan itu ikut pula seorang dari Bangsa Cipai (Sipaki) yang keberadaannya sempat tidak diketahui oleh malaikat. Setelah pertengahan perjalanan, malaikat akhirnya menyadari bahwa ada seorang manusia yang hidup ikut bersama mereka dan bergantung pada keranda jasad Husein.
Malaikat tidak membenarkan tindakan orang Cipei itu untuk ikut dan menyuruhnya turun kembali ke tanah (bumi), tetapi orang tersebut bermohon agar diizinkan ikut terbang karena ia sangat ingin sekali pergi bersama arak-arakan yang membawa jasad Husein itu kemana saja.
Namun, malaikat tetap tidak mengizinkannya dan menurunkannya kembali ke atas tanah (bumi). Sebagai pengobat hatinya, malaikat menyuruh orang Cipei itu untuk membuat arak-arakan sebagaimana dia lihat pada hari itu. Orang Cipei itu akhirnya menuruti anjuran malaikat dan membuat arak-arakan seperti yang dia lihat ketika jasad Husein dibawa ke langit.
Akhirnya, pada tiap-tiap awal bulan Muharam bangsa Cipei menyelenggarakan arak-arakan dalam wujud tabut yang dibawa berkeliling kampung. Dalam perkembangan kemudian, penyelenggaraan upacara yang dikenal sebagai upacara tabuik oleh masyarakat Pariaman menjadi suatu tradisi turun temurun.