Banda Aceh, IDN Times - Wahyu Mimbar masuk ke dalam musala di Kompleks Putra Dayah Darul Fikri Al Waliyah, Kamis (12/9/2024) malam. Sebelas jamaah laki-laki, terdiri dari santri putra dan warga menyambutnya dengan mencium takzim tangan pimpinan dayah berusia 48 tahun itu.
Mereka telah menunggu di ruangan bernuansa putih-hijau tosca, berukuran lebih kurang 12x10 meter itu sejak ba'da Isya, sekira pukul 21.15 WIB. Tanpa instruksi, jemaah kemudian duduk bersila mengitari pria yang sering dipanggil Abi Wahyu Mimbar dan mendaraskan doa pembuka yang memecahkan keheningan malam.
Wahyu, pemimpin dayah beraliran salafiyah atau tradisional itu membaca kitab kuning berbahasa Arab yang terbentang di meja kecil di depannya. Setelah membaca satu kalimat, ia lanjutkan dengan menjelaskan maksudnya.
Ia membahas tentang kehidupan manusia dan Sang Khalik. Termasuk mengenai cobaan seorang hamba dari godaan dunia, salah satunya jabatan.
“Allah terkadang memberikan cobaan kepada hambanya dengan berbagai hal. Termasuk melalui jabatan. Terkadang, banyak orang lupa kepada Allah saat menjabat,” ucap Alumni Dayah Darussalam Al-Waliyah, Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan.
Pengajian umum yang digelar tiap Kamis selepas Isya ini berakhir pukul 23.00 WIB. Wahyu mengatakan pengajian umum ini sudah digelar sejak dayah berdiri pada 5 Oktober 2010 di Gampong Cot Lamkuweueh, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh.
Jumlah warga yang hadir, tidak tentu. Namun Abi Wahyu menyebut, pernah hingga 260 orang. Jauh berbeda, dengan yang hadir malam itu.
Alumni Prodi Pascasarjana Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniry itu tidak mengharamkan pembicaraan politik dalam pengajian umum. Ada juga yang bertanya soal Pilkada.
“Cuma kadang-kadang tidak saya pertajam,” jelas Wahyu yang juga mengajarkan ilmu tauhid, fiqih, dan tasawuf.
Wahyu berpandangan dayah punya peran mengedukasi masyarakat termasuk santri, mengenai politik yang santun dan beretika. Termasuk memilih calon pemimpin sesuai ketentuan Islam.
“Menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah, itu menjadi inti. Pemimpin seperti ini yang kita harapkan,” imbuhnya.
Dayah setingkat SMA ini menerima siapapun yang ingin belajar agama di dayah berkonsep tradisional ini. Pengajian bersifat terbuka untuk siapa saja, termasuk politisi dan pejabat publik.
Darul Fikri Al Waliyah merupakan satu dari 34 dayah salafiyah di Kota Banda Aceh. Konsep pembelajaran di lembaga pendidikan agama ini masih menggunakan sistem tradisional, seperti bandongan dan sorogan.
Sorogan merupakan pengajian atas permintaan dari seorang atau beberapa santri untuk mengkaji kitab tertentu. Sedangkan bandongan adalah metode pengajian yang inisiatifnya dari sang kiai, baik dalam menentukan kitab, waktu, dan tempatnya.
Model pembelajaran di dayah salafiyah terpusat pada teungku atau ulama. Kurikulumnya mengajarkan soal adab, fiqh, tauhid, dan tasawuf dengan referensi kitab-kitab klasik atau kuning yang ditulis para ulama.
Konsep pondok salafiyah berbeda dengan dayah terpadu atau modern. Dayah terpadu memadukan antara konsep pendidikan agama tradisional dengan pendidikan formal. Seperti Dayah Terpadu Inshafuddin di Gampong Bandar, Kecamatan Kuta Alam. Pesantren ini, satu dari enam dayah terpadu yang ada di Kota Banda Aceh.
Wakil Pimpinan Dayah Terpadu Inshafuddin, Nasrul Zahidy mengatakan santri putra dan putri yang menempuh pendidikan di dayahnya, mayoritas masih menempuh pendidikan agama maupun umum. Ketika mengadakan pengajian umum, materinya hanya membahas mengenai akhlak dan adab manusia terhadap Sang Pencipta dan hanya diikuti para santri yang masih duduk di sekolah.
Saat IDN Times mengunjungi Musala Dayah Terpadu Inshafuddin, tempat itu diisi ratusan santri putra dan putri. Teungku Nasrul memimpin pengajian dan para santri membaca Kitab Adabul Insan fil Islam, Rabu (28/8/2024).
“Kitab ini membahas tentang adab atau kesopanan manusia dalam berinteraksi dengan Tuhan, agama, nabi, diri sendiri, dan orang lain,” kata dia.
Nasrul mengatakan pihaknya tidak terlalu serius membahas soal Pilkada. Pengajar hanya membahas sebatas kewajiban bagi santri yang sudah memiliki hak pilih saat “pesta” demokrasi.
“Di sini, paling tinggi tingkatan adalah SMA. Yang punya hak memilih cuma kelas tiga SMA, jadi memang kita sama sekali tidak ada pembahasan politik secara khusus,” jelas Nasrul.