Pengunjung melihat salah satu karya bergambar orangutan yang mejeng di Peringatan Hari Orangutan Internasional 2023 yang digelar Centre For Orangutan Protection (COP) di Kota Medan, Sabtu (19/8/2023). (IDN Times/Prayugo Utomo)
Konflik juga menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan orangutan. Data yang dihimpun dari Forest & Wildlife Protection Unit (ForWPU) sepanjang 2018 – 2022, ada 77 kali dilakukan evakuasi orangutan dari konflik di sekitar Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Rinciannya, 55 kali evakuasi di Aceh dan 22 kali di Sumut. Dari jumlah itu ada lima individu orangutan yang mati. Kematian orangutan biasanya disebabkan oleh dehidrasi, stres hingga terluka karena tindak kekerasan.
Menurut Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), dalam 75 tahun terakhir, populasi orangutan sumatera telah mengalami penurunan sebanyak 80 persen. Dalam IUCN Red List, Orangutan Sumatera dikategorikan Kritis (Critically Endangered).
Founder Yayasan Orangutan Sumatra Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo menjelaskan, kehilangan satu persen saja populasi orangutan, maka akan memberikan dampak besar pada ekosistem. Perkembangan jumlah populasi akan berkurang signifikan. Karena dalam siklus hidupnya, perkembangbiakan hidup orangutan begitu lamban.
“Orangutan betina berkembang biak semasa hidupnya paling banyak melahirkan tiga individu. Karena interval perkembangbiakan cukup lama. Sekitar delapan tahun sekali. Karena jika punya anak, dia akan mengurusi anaknya hingga 6-8 tahun,” kata Panut beberapa waktu lalu.
Kehilangan populasi juga akan berdampak serius pada perkembangan ekosistem. Orangutan sebagai satwa arboreal pemakan buah terkenal sebagai petani hutan. Karena orangutan memencar biji-biji buah yang dimakannya. Apalagi satu individu orangutan punya daya jelajah yang cukup luas. Orangutan betina, punya daya jelajah hingga 800 Ha. Sedangkan untuk jantan lebih luas mencapai 1.500 Km.
“Ketika orangutan sudah tidak ada lagi, maka proses regenerasi vegetasi menjadi terganggu. Orangutan menjadi penyeimbang regenerasi hutan. Artinya, dia juga berperan dalam keseimbangan iklim. Karena menjaga hutan tetap bagus,” pungkas pria yang kini menjabat sebagai Forum Kehutanan Daerah (DKD) Sumut itu.