Mangrove Pesisir Timur Tersisa 40 Persen, Bom Waktu Bencana Ekologis

Medan, IDN Times - Kerusakan kawasan mangrove terus terjadi saban tahun di pesisir Pantai Timur Sumatra. Penyebabnya beragam. Mulai dari konversi lahan menjadi perkebunan sawit, perambahan, pembukaan tambak dan lainnya.
Kerusakan lahan mangrove harusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang diterbitkan oleh instansi terkait juga harus berpihak pada keadilan ekosistem bakau.
Kelompok yang paling merasakan dampak adalah masyarakat pesisir. Tangkapan ikan berkurang drastis. Sebanding dengan menurunnya perekonomian masyarakat.
Kondisi kerusakan ini menjadi sorotan penting Green Justice Indonesia, lembaga nonpemerintah yang bergerak pada advokasi kasus-kasus lingkungan. Lembaga ini dibentuk pada 2020 lalu dan digawangi oleh pra ekspert di bidang konservasi. GJI mempromosikan program advokasi hijau untuk membela hak-hak masyarakat adat dan kesejahteraan hutan dan satwa liar sehingga terwujud ekosistem yang sehat dan berkeadilan.
1. Green Justice gaungkan kritik kerusakan mangrove lewat film
Di awal gerakannya, Green Justice langsung membuat gebrakan. Mereka mengkritik soal kerusakan mangrove lewat film documenter berjudul ‘Sejuta Asa Melindungi Hutan Mangrove’. Film ini bercerita bagaimana dampak kerusakan bakau kepada kehidupan manusia. Film ini memunculkan fakta-fakta di lapangan soal kerusakan mangrove. Mulai dari dominasi pembukaan lahan sawit, tambak, pertambangan, hingga perambahan yang dilakukan segelintir orang yang menjadikan kayu bakau menjadi arang.
Direktur Green Justice Indonesia (GJI) Dana Prima Tarigan mengungkapkan, film yang mereka garap menjadi alarm bahaya bagi kondisi mangrove. Jika kerusakan terus dibiarkan dan tidak diimbangi dengan langkah penindakan, maka bisa saja mangrove tinggallah cerita.
“Ini menjadi bom waktu juga terjadinya bencana ekologi di wilayah kita. Yang harus diingat, mangrove berjasa besar sebagai pelindung daratan saat terjadinya tsunami. Mangrove juga menahan hempasan ombak yang bisa menyebabkan abrasi di pesisir,” ujar Dana yang juga pernah menjabat sebagai Direktur WALHI Sumut, di sela peluncuran film, Selasa (25/5/2021) lalu.
2. Perusakan mangrove di Pantai Timur sudah terang-terangan, pemerintah di mana ?
Catatan Green Justice dan WALHI Sumut menunjukkan, ada degradasi luas kawasan mangrove yang cukup masif dalam dua dekade terakhir
Citra satelit pada 1999 menunjukkan, tutupan hutan di Pantai Timur masih menyentuh angka 60.064 hektare. Namun pada 2018 luasannya berkurang menjadi 47.499 hektare meliputi kawasan Hutan Lindung dan Hutan Konservasi (KH SUMUT, SK 8088 Tahun 2018). Artinya terdapat penurunan luas kawasan yang mencapai 12.565 ha.
Dari data itu, perkebunan sawit menjadi penyebab kerusakan paling utama sebesar 40 persen. Kemudian tambak 35 persen, pertanian 25 persen dan lainnya 5 persen. Pantai Timur Sumatra bagian Utara menjadi penyumbang angka yang cukup signifikan untuk kerusakan hutan bakau.
Dana mengatakan, perusakan kawasan mangrove sudah terjadi secara terang-terangan. Dia heran, kenapa selama ini pemerintah hanya diam melihat kerusakan yang terjadi. Justru masyarakat lah yang kerap berkonflik karena mempertahankan lahan mangrove.
“Saya berani katakan, alih fungsi mangrove di pantai timur, dilakukan secara terang-terangan. Ada perusahaan dan indovidu yng membuka lahan secara terang-teeangan dan tidak ditindak. Bahkan ada oknum pejabat negara, pengamanan yang ikut terlibat. Ini harus segera dicari solusinya. Harus segera ada tindakan konkrit,” tegasnya.
3. Pantai Timur kehilangan 60 persen luas mangrove
Onrizal, pakar kehutanan dari Universitas Sumatra Utara dalam penelitiannya menunjukkan, sepanjang pantai Timur sebagian Aceh hingga Sumatra Utara sudah kehilangan 60 persen lahan mangrove. Kerusakan terus terjadi dalam tiga dekade terakhir. Termasuk 25 persen mangrove di dalam kawasan konservasi juga hilang.
Sementara, jika melihat data global, hutan mangrove hilang sebesar 30 persen dalam tiga dekade terakhir. Indonesia termasuk negara yang paling besar menyumbang angka kerusakan.
Onrizal kembali menegaskan, peralihan lahan menjadi tambak dan perkebunan sawit menjadi faktor terbesar. Kondisi ini diperparah dengan ketidakseriusan pemerintah dalam menekan laju kerusakan mangrove.
“Kerusakan ini mengakibatkan hampir 50 persen penghasilan nelayan hilang. Nelayan semakin miskin karena kerusakan ini,” ujar Onrizal.
Tidak hanya di Pantai Timur saja. Onrizal juga memberikan catatan penting di kawasan Pantai Barat. Kerusakan lahan mangrove di sana juga terjadi meskipun angkanya belum sebanding dengan Pantai Timur. Polanya sama, mulai banyak terjadi pembukaan lahan untuk perkebunan sawit. Di antaranya ada di kawasan Mandailing Natal (Madina).
“Kerusakan masif di Pantai Baat terjadi pasca bencana tsunami 2004 lalu. Perlu kebijakan yang berbeda di Pantai Barat. Kawasan mangrove harus jadi kawasan lindung penuh,” tukas Onrizal.
Hasil penelitian ilmiah di pesisir timur Sumatra Utara dan juga di berbagai negara Asean dan Afrika menunjukan sekitar dua per tiga biota perairan pantai sangat tergantung pada hutan mangrove yang masih baik. Mereka akan hilang ketika mangrove rusak apalagi jika mangrove di lokasi tersebut dikonversi menjadi tanaman lain.
“Hilangnya mangrove menjadi petaka bagi kita dan anak cucu kita nanti,” ujarnya.
4. Pemerintah harus tegas menindak perusahaan perusak mangrove, izin konsesi tidak boleh diterbitkan lagi
Pendapat senada juga datang dari Direktur WALHI Sumut Doni Latuperisa. Kata Doni, pemerintah harus berani mengambil sikap tegas kepada para perusahaan perusak mangrove. Jangan malah, oknum pemerintah pula yang menjadi aktor dengan memberikan izin-izin baru pembukaan lahan di kawasan mangrove.
“Laju deforestasi sebanding dengan kepentingan korporasi. Masyarakat kerap kali berhadapan dengan negara yang diduga membekingi korporasi. Pemerintah harusnya punya pendekatan dan metode yang tepat untuk menyelesaikan deforestasi,” ujar Doni.
5. Pemerintah kekurangan personel mengawal kawasan mangrove
Pemerintah tak menampik soal pemberian izin yang diduga menjadi penyebab kerusakan mangrove. Mereka juga tak menampik jika ada dugaan kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha yang melakukan pembukaan lahan.
“Kejadian yang lalu biarlah. Karena itu sudah dosa masa lalu. Mungkin ada pemerintahnya yang memberikan HGU. Ada yang tidak, tetapi mungkin ada perizinan di situ. Contoh yang kita dapatkan adalah bahwa banyaknya perambahan ini, umumnya seperti yang dikatakan WALHI tadi, alih fungsi ke perkebunansawit ini adalah dari orang luar. Bukan warga setempat. Dan kemungkinan juga karena terjadi kongkalikong yang tidak bisa kita buktikan secara nyata. Tapi kita sudah dapat mengertilah. Kenapa itu bisa berjalan, sementara kita tahu itu adalah kawasan lindung,” ujar Kepala Bidang Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan Sumut Ahmad Hutasuhut.
Hutasuhut pun mengakui jika Dinas Kehutanan Sumut kekurangan personel untuk menjaga kawasan hutan. Saat ini, mereka hanya memiliki 100-an orang pegawai yang mengawasi hutan.
“Kalau yang wajarnya, satu orang maksimal mengawasi 500 sampai 1000 hektare. Sementara luas hutan kita yang lindung da produksi di Sumut yang menjadi kewenangan Dinas Kehutanan, luasnya 2 juta hektare lebih. Sementara personel kita hanya 100-an orang. Kita sudah berbicara dengan DPR, mereka akan berusaha untuk mendorong pemerintah memberikan penambahan tenaga SDM,” pungkasnya.