Orangutan Tapanuli menjadi salah satu satwa yang nyaris punah di Habitat Batangtoru. (IDN Times/Prayugo Utomo)
Proyek pembangunan PLTA Batangtoru yang kerap memakan korban jiwa mendapat kritik keras dari lembaga Satya Bumi. Direktur Eksekutif Satya Bumi Annisa Rahmawati mengatakan, berbagai rentetan peristiwa yang terjadi di lokasi proyek sudah harusnya ditindaklanjuti.
Catatan Satya Bumi, PLTA Batangtoru sudah memakan 16 korban jiwa. “Wilayah ini sudah bermasalah dari aspek dampak lingkungan. Ini momentum bagi pemerintah untuk meninjau ulang proyek PLTA agar tidak memicu bencana bagi masyarakat sekitar dan kerusakan hutan yang menjadi habitat spesies orangutan Tapanuli,” kata Annisa dalam keterangan tertulisnya.
Satya Bumi mendesak agar penegak hukum mengambil langkah tegas. “Apabila ditemukan pelanggaran, penegak hukum perlu mengungkapkan hasil temuannya kepada publik secara transparan dan menindak tegas demi keadilan kemanusiaan dan lingkungan,” ungkapnya.
Proyek PLTA Batang Toru telah dibeli oleh State Development and Investment Corporation (SDIC) China senilai 277 juta dollar AS, setelah Bank Cina mengundurkan diri dari pendanaannya pada tahun 2019 karena komitmen mereka untuk perlindungan lingkungan dan pembiayaan hijau.
“Akhir tahun ini, China akan menjadi tuan rumah Convention on Biological Diversity, hal ini seharusnya menjadi perhatian utama bagi negara tersebut untuk membuktikan komitmennya terhadap keberlangsungan keanekaragaman hayati dan dampak investasinya di Indonesia,” ungkap Annisa.
Di awal pembangunaannya, PLTA Batangtoru terus mendapat kecaman. Pembangunan PLTA dinilai menjadi perusak habitat Orangutan Tapanuli (pongo tapanuliensis). Status orangutan yang diumumkan pada 2017 itu terancam punah karena tersisa hanya sekitar 700-an individu.