ilustrasi pinjol (unsplash.com/Kenny Eliason)
Hadirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dianggap sebagai tonggak baru bagi pengawasan fintech di Indonesia. Untuk pertama kalinya, OJK memiliki dasar hukum kuat untuk mengatur dan menindak pelaku fintech pendanaan secara menyeluruh.
Namun, Agum menilai kehadiran regulasi ini hanyalah pondasi awal, bukan solusi instan. “Legal certainty tidak otomatis menciptakan penegakan hukum yang efektif,” tegasnya.
Ia menambahkan, dibutuhkan sistem pengawasan berbasis data, kecerdasan digital, dan sanksi yang cepat bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk pengembang aplikasi dan penagih lapangan. Selain hukum, etika industri juga menjadi masalah besar. Beberapa pelaku fintech berizin OJK ternyata masih melakukan praktik tidak etis—seperti penagihan kasar atau bunga tidak transparan.
“Patuh hukum saja tidak cukup. Integritas dan etika adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan publik,” jelas Gumilar.
Ia menegaskan, ke depan, fintech dan bank seharusnya tidak bersaing, tetapi berkolaborasi. “Kemitraan fintech–bank bisa memperluas akses kredit ke masyarakat unbanked, asalkan diikat oleh kontrak hukum yang tegas dan transparan,” ujarnya.
Agum berpendapat, literasi publik menjadi benteng paling efektif melawan jebakan pinjol ilegal. Edukasi tentang cara memeriksa izin OJK, memahami risiko bunga tinggi, dan mengenali ciri-ciri penipuan digital harus digencarkan oleh semua pihak—pemerintah, industri, hingga lembaga pendidikan.
“Karena di era digital ini, inovasi tanpa hukum adalah kekacauan, dan hukum tanpa literasi adalah kelumpuhan,” pungkasnya