Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG_20250909_115108.jpg
Irvan Syahputra Direktur LBH Medan (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Intinya sih...

  • LBH Medan temukan kejanggalan dalam kematian wartawan Niko Saragih, termasuk luka tubuh dan proses autopsi yang terlambat.

  • Keluarga korban belum terima SP2HP dan hasil autopsi, menimbulkan dugaan ketidakseriusan aparat dalam penanganan kasus.

  • LBH Medan ingatkan soal regulasi Hak Asasi Manusia terkait hak hidup wartawan, menekankan pentingnya perlindungan bagi pekerja media.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menilai Polsek Medan Baru tidak serius dan tidak profesional dalam mengusut tuntas kematian wartawan Niko Saragih, yang terjadi pada 5 September 2025 lalu. Sudah hampir dua bulan berlalu, namun kasus tersebut belum kepastian hukum bagi keluarga korban.

LBH Medan menilai, lambannya penanganan kasus dan minimnya transparansi justru menimbulkan kecurigaan terhadap kinerja aparat. LBH Medan mendesak agar Polda Sumut segera mengambil alih kasus ini untuk memastikan penyelidikan berjalan secara transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik impunitas.

“Kasus ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Kematian Niko Saragih bukan peristiwa biasa dan harus diusut tuntas,” tegas Direktur LBH Medan, Irvan Saputra, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (1/11/2025).

1. Banyak kejanggalan ditemukan, dari luka tubuh hingga proses autopsi

Ilustrasi jenazah (IDN Times/Mia Amalia)

LBH Medan mengungkap sejumlah kejanggalan yang membuat kematian Niko patut diduga bukan kejadian wajar. Fakta-fakta tersebut terungkap dari hasil pra-rekonstruksi dan pemeriksaan bukti yang dilakukan bersama pihak keluarga korban.

Pertama, tubuh Niko ditemukan dalam kondisi penuh luka, terutama di bagian kepala, dagu, tangan, dan tubuh lainnya. Kondisi itu tidak sejalan dengan penjelasan awal pihak kepolisian yang menyebut korban “jatuh di kamar mandi”.

Kedua, kamar kos yang menjadi Tempat Kejadian Perkara (TKP) justru tidak dipasangi garis polisi (police line), padahal itu merupakan prosedur standar untuk menjaga integritas barang bukti.

Ketiga, autopsi baru dilakukan hampir dua minggu setelah korban meninggal dunia, yang dinilai LBH sebagai pelanggaran terhadap Pasal 133–135 KUHAP. Pasal tersebut dengan jelas mengatur bahwa autopsi wajib dilakukan segera terhadap setiap kematian yang diduga tidak wajar.

“Penundaan autopsi selama dua minggu jelas tidak sesuai hukum acara pidana. Hal ini memperkuat dugaan bahwa penanganan kasus Niko dilakukan dengan tidak profesional,” kata Irvan.

2. Keluarga korban belum terima sp2hp dan hasil autopsi

Ilustrasi jenazah (IDN Times/Mardya Shakti)

Hingga kini, keluarga korban mengaku belum mendapatkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) dari Polsek Medan Baru. Bahkan, mereka juga belum memperoleh akses terhadap hasil autopsi maupun laporan hasil ekshumasi jenazah Niko.

LBH Medan menilai sikap tertutup ini memperkuat dugaan adanya kelalaian atau ketidakseriusan aparat dalam menangani kasus tersebut. Padahal, keterbukaan informasi merupakan hak hukum yang dijamin bagi keluarga korban dalam proses penyidikan.

“Pihak kepolisian seharusnya memberikan perkembangan penyidikan secara berkala. Fakta bahwa keluarga tidak tahu apapun setelah hampir dua bulan merupakan bentuk pelanggaran hak korban,” tegas Irvan.

Kondisi ini membuat keluarga semakin curiga. Mereka menilai ada upaya untuk menutupi fakta sebenarnya di balik kematian Niko Saragih. Oleh karena itu, keluarga bersama LBH Medan mendesak agar Polda Sumut turun tangan langsung menangani perkara ini agar keadilan tidak berhenti di tengah jalan.

3. LBH Medan ingatkan soal regulasi Hak Asasi Manusia

TKP penemuan mayat sekeluarga di Indramayu dipasang garis polisi (inin nastain/IDN Times)

LBH Medan menegaskan bahwa kematian Niko Saragih tidak bisa hanya dilihat dari sisi pidana semata, melainkan juga dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam konteks ini, hak hidup merupakan hak fundamental yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Pasal 28A UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan kehidupannya. Ketentuan serupa juga termuat dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menegaskan bahwa hak untuk hidup tidak dapat dirampas oleh siapapun.

“Kematian seorang jurnalis menyentuh hak paling mendasar manusia. Negara wajib menjamin hak hidup setiap warganya, apalagi bagi mereka yang menjalankan profesi dengan risiko tinggi seperti wartawan,” ujar Irvan.

LBH Medan juga mengingatkan bahwa Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menegaskan hak hidup tidak boleh dirampas secara sewenang-wenang, dan negara wajib melindunginya. Bahkan, Resolusi Dewan HAM PBB menegaskan perlindungan khusus terhadap pekerja media dari ancaman kekerasan maupun kriminalisasi.

Editorial Team