Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kawasan industri PT Bintan Alumina Indonesia di pesisir Bintan Timur, Kepulauan Riau (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Kawasan industri PT Bintan Alumina Indonesia di pesisir Bintan Timur, Kepulauan Riau (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Pagi itu, 27 April 2025, perairan Bintan Timur menyambut dengan kejernihan yang menipu. Langit nyaris tanpa awan, dan permukaan laut memantulkan ketenangan yang menyamarkan riak resah di dasar samudra. Namun, bagi mereka yang hidupnya menggantung pada laut dan pulau-pulau kecil di pesisir timur Bintan, hari-hari ini bukanlah tentang cuaca cerah—melainkan ancaman perlahan yang datang dalam nama pembangunan.

Saya menapaki tepian Bintan Timur, mendekati gugusan pulau-pulau kecil yang tak tertera dalam peta prioritas investasi nasional. Di antara gelombang kecil dan hembusan angin asin, saya bertemu dengan sejumlah warga yang menyebut diri mereka bagian dari Forum Pelaku Pariwisata di Kawasan Pantai Timur Pulau Bintan. Di mata mereka, Pulau Poto bukan sekadar hamparan tanah di tengah laut, melainkan ruang hidup yang kini berada di bawah bayang-bayang proyek raksasa.

“Mereka menyebutkan bahwa lamun berada dalam kondisi rusak dengan kategori tutupan miskin serta terumbu karang yang rata-rata rusak dan buruk,” kata Agung Praseto, Wakil Koordinator Forum Pelaku Pariwisata di Kawasan Pantai Timur Pulau Bintan, mengutip dokumen draft Amdal PT Galang Batang Kawasan Ekonomi Khusus (GBKEK) Industri Park.

“Dengan nada tertawa, Mereka juga bilang Pulau Poto sebagai tempat jin buang anak,” katanya dengan nada yang tak bisa menyembunyikan rasa ketersinggungan.

Ucapan itu tidak muncul begitu saja. Kata-kata tersebut datang dari pihak yang tengah menyusun rencana besar untuk mengubah wajah Pulau Poto—pulau dengan luas 1.406 hektar yang akan menjadi pusat industri berat dalam skema Proyek Strategis Nasional (PSN) Pengembangan Kawasan Industri Toapaya. Dalam rencana itu, akan dibangun kilang minyak, fasilitas petrokimia, dan pelabuhan besar yang memanfaatkan posisi strategis pulau tersebut.

Saya diantar menuju Pulau Poto menggunakan kapal cepat—tempat yang disebut sebagai lokasi ‘jin buang anak’ itu. Tapi anggapan itu segera terbantahkan.

Di sana, saya menjumpai kehidupan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Ada 130 kepala keluarga dengan sekitar 500 jiwa yang mendiami pulau itu, namanya Kampung Tenggel, perkampungan yang telah ada sejak tahun 1983. Mereka bukan pendatang sementara, melainkan generasi yang mewarisi ruang hidup laut dan darat secara turun-temurun di Bintan Timur.

Namun, ini bukan ancaman pertama. Sebelum PSN Pengembangan Kawasan Industri Toapaya datang mengetuk, warga telah lebih dulu dihadapkan pada kehadiran PT Bintan Alumina Indonesia (BAI), sebuah perusahaan penanaman modal asing yang telah beroperasi di pesisir Bintan Timur sejak 2019. Direkturnya, Santoni, juga menjabat sebagai Direktur di PT GBKEK—pengelola PSN Pengembangan Kawasan Industri Toapaya, Pulau Poto, dan Kampung Masiran di Bintan, Kepulauan Riau.

Mayoritas saham di PT BAI dikuasai oleh pengusaha asal Tiongkok. Sebagian kecil lainnya dimiliki oleh investor dari Malaysia dan Indonesia, dengan proporsi saham nasional menjadi yang paling kecil.

Sejak mulai beroperasi, aktivitas perusahaan seperti reklamasi telah berdampak besar terhadap lingkungan perairan sekitar. Termasuk terhadap nelayan dan pelaku wisata eksisting seperti Loola Adventure Resort, The Residence serta kegiatan wisata lainnya sekitar Pulau Poto.

“Jarak antara PT BAI dan Pulau Poto itu hanya 2,8 kilometer,” kata Muhammad Zen (39), warga Kampung Tenggel, Pulau Poto. “Kami biasa mencari ikan di Pulau Antu yang berada di depan PT BAI, tapi sudah tidak bisa lagi karena lautnya sudah keruh dan sudah tidak ada ikan lagi di sana.”

Ketersinggungan dan penolakan warga Kampung Tenggel

Warga Kampung Tenggel, Pulau Poto, Bintan, Kepulauan Riau saat akan memasang bubu ikan (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Peta proyek strategis nasional itu mulai mencuat ke permukaan. Sejumlah warga kaget ketika mengetahui Pulau Poto akan dijadikan pusat industri berat. Tak ada sosialisasi, tak ada forum rembug. Yang datang hanya formulir persetujuan analisis dampak lingkungan (Amdal) yang harus ditandatangani.

“Kami juga baru tau kemarin dan kaget ketika dapat kabar ini,” kata Andi Suratno (40), warga asli Kampung Tenggel dan keturunan ke-3 yang menetap di pulau itu. “Tiba-tiba ada yang datang ke kampung mau minta warga tandatangani Amdal. Disitu kami serentak menegaskan melakukan penolakan.”

Andi menyebutkan, dampak proyek bukan hanya terhadap wilayah permukiman, tetapi juga pada lahan perkebunan milik warga seluas 140 hektar. Laporan telah dikirimkan ke kejaksaan, kepolisian, dan instansi pemerintah terkait. Tapi sampai kini, tak satu pun yang memberi tanggapan berarti.

“Mereka sebut ini tempat jin buang anak, memang anak jinnya sudah besar-besar ini. Kami tersinggung dengan pernyataan itu,” ucapnya dengan nada tinggi.

Ia menambahkan, mayoritas nelayan di Kampung Tenggel menggantungkan hidupnya pada hasil laut. Mereka mencari ikan dengan metode tradisional: menyelam ke kedalaman 20 meter dengan kompresor sebagai alat bantu pernafasan dan menaruh bubu (perangkap ikan) di dasar laut.

“Kami naruh bubu di sekitar Pulau Poto. Kalau Pulau Poto ini dijadikan kawasan industri, mau sejauh apa lagi kami taruh bubu ikan,” keluh Andi.

Namun, warga tidak menolak seluruh bentuk investasi. Yang mereka harapkan adalah jenis investasi yang ramah lingkungan dan sejalan dengan kehidupan pesisir.

“Ya jujur saja, kami lebih dukung investasi yang masuk itu pariwisata. Mereka itu lebih paham lingkungan dan menjaga lingkungan. Dengan begitu laut pun tidak tercemar dan kami tetap bisa mencari ikan,” ujarnya.

 

 

 

 

 

 

 

Peta yang dibuat tanpa persetujuan

Pulau Poto dengan latar belakang kawasan industri PT Bintan Alumina Indonesia yang hanya berjarak 2,8 kilometer (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Tak hanya warga Kampung Tenggel. Suara penolakan juga datang dari pelaku usaha pariwisata yang telah terlebih dahulu akan membangun bisnis mereka di Pulau Poto.

Agung Praseto, yang juga kuasa dari PT Mempadi Manggala Jaya (MMJ) mengatakan, perusahaannya memiliki sekitar 34 hektar lahan di Pulau Poto. Dari luasan itu, 28,25 hektar telah bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) untuk pariwisata.

Namun, Agung baru mengetahui bahwa lahannya masuk dalam rencana pengembangan kawasan industri PT GBKEK setelah membaca pemberitaan media.

“Saat itu muncul siteplan yang menunjukkan lokasi kami termasuk dalam kawasan yang dipetakan. Setelah kami kroscek, ternyata benar lokasi kami diplot oleh PT GBKEK,” katanya saat ditemui di Bintan, Senin (28/4/2025).

Tak lama kemudian, Agung mengetahui bahwa proyek ini telah ditetapkan sebagai PSN berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025-2029. Namun hingga kini, belum ada komunikasi resmi dari pihak pengelola kepada pemilik lahan terdampak.

“Tidak ada pendekatan atau pertemuan langsung kepada kami, selain undangan audiensi dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) beberapa waktu lalu,” ujarnya.

Audiensi yang dimaksud Agung digelar pada 17 April 2025. Di forum itu, para pelaku pariwisata menyampaikan keberatan atas tidak dilibatkannya mereka sebagai pihak terdampak dalam proses Amdal. Lebih dari itu, mereka mempertanyakan status legalitas penguasaan lahan oleh PT GBKEK.

“Bagaimana mungkin sudah ada pembahasan Amdal, padahal izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitar belum sepenuhnya dipenuhi? Syarat clean and clear atas lahan adalah hal mendasar yang belum mereka miliki,” ungkap Agung.

Ia juga mengutip pernyataan yang muncul dalam pertemuan tersebut dari Senior Advisor PT GBKEK, Robert Sianipar, yang dinilai menyudutkan pemilik lahan. “Menurut mereka, pemilik lahan di Pasir Bana terlalu jual mahal, padahal pemilik tidak pernah menyebut harga jual, karena sedari awal lokasi itu dirancang untuk usaha pariwisata,” ucap Agung.

Doni, salah satu pemilik lahan di Pasir Bana, Pulau Poto, juga menyatakan keberatannya kepada saya. Ia menjelaskan, lahan darat miliknya yang telah memiliki PKKPR Darat dan sudah bersertifikat (SHM) serta langsung bersempadan pantai sepanjang 700 meter tiba-tiba masuk dalam peta pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) PT GBKEK tanpa sepengetahuan darinya.

"Bagaimana mungkin kami yang langsung bersempadan dengan pantai, tidak bisa memanfaatkan pantainya. Sedangkan PT GBKEK yang tidak menguasai lahan darat sempadan pantai bisa diakomodir dengan dalih modal PKKPR darat. Padahal jelas aturan mainnya, syarat penerbitan PKKPRL haruslah ada kepemilikan lahan darat atau setidaknya ada kesepakatan kerjasama lahan darat. Tak masuk akal, PKKPR yang hanya sekedar izin perolehan tanah, demi kepentingan syahwat PT GBKEK kedudukannya seolah bisa menggantikan syarat Hak Kepemilikan (SHM), ada apa ini,” ungkap Doni.

Forum Pelaku Pariwisata di Kawasan Pantai Timur Bintan meyakini, jika proyek industri berat seperti kilang minyak, petrokimia, dan pelabuhan tetap dijalankan di Pulau Poto, maka ekosistem alam yang telah lama menopang sektor pariwisata akan runtuh.

“Kami dari forum sudah lebih dulu hadir dan mengembangkan usaha pariwisata di wilayah ini. Kami berharap rencana industri yang bertolak belakang dengan semangat pariwisata dapat ditinjau ulang,” tegas Agung.

Namun, suara keberatan itu seperti dilempar ke ruang kosong. Surat-surat telah dikirim ke Pemerintah Kabupaten Bintan, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, hingga ke kementerian. Tapi yang didapat di daerah hanya alasan klasik: proyek PSN adalah urusan pusat. Padahal, surat dukungan atas PSN dasarnya dari Pemerintah Daerah.

Bagi Agung dan pelaku usaha lainnya, seharusnya pembangunan disesuaikan dengan karakteristik wilayah. Kawasan pesisir Bintan timur, menurut mereka, lebih cocok dikembangkan sebagai kawasan wisata berkelanjutan.

“Jika industri berat masuk, apalagi tanpa studi yang matang dan keterlibatan masyarakat, maka bukan hanya ekosistem yang terancam, tapi juga masa depan kita bersama,” pungkasnya.

Upaya konfirmasi telah dilayangkan kepada Senior Advisor PT GBKEK Industri Park, Robert Sianipar. Namun hingga berita ini diterbitkan, Robert belum memberikan tanggapan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ruang hidup Suku Laut Kawal Laut terancam

Nenek Kancil (80), generasi pertama Suku Laut di Kawal Laut, Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Sejauh 12 kilometer ke arah utara dari Pulau Poto, terdapat pemukiman kelompok Suku Laut Kawal Laut yang kini ruang hidupnya juga terancam PSN Toapaya ini. Saya telah mendatangi kelompok Suku Laut ini dua minggu sebelumnya.

Untuk sampai ke pemukiman mereka yang tidak memiliki akses secara langsung ke darat, saya harus melewati jalan yang tidak panjang, hanya 900 meter dari daratan. Namun harus menembus hutan mangrove dan hamparan lumpur akibat air laut yang surut.

Saat itu saya ditemani Johanes Jamil, atau yang akrab disapa Jembol (30), keturunan ke-2 Suku Laut Kawal Laut. “Ya beginilah bg, tidak ada jembatan yang menghubungkan ke pemukiman kami. Kalau datang pas air pasang, berenang atau naik sampan lah kita,” ungkap Jembol, Minggu (13/4/2025).

Setelah 15 menit berjalan di atas lumpur, terdapat teriakan yang khas seorang wanita dari atas rumah panggung. “BANGKOI DIKOW,” yang memiliki arti sudah lama tidak datang. Pernyataan itu disampaikan oleh nenek Kancil (80), generasi pertama Suku Laut Kawal Laut, Bintan Timur.

Kehadiran kami disambut dengan asap rokok daun nipa kering—rokok yang selalu dibawa Suku Laut saat berkelam. Tangannya yang cekatan menggulung daun nipa, menjadikannya rokok tradisional—disodorkan kepada saya. Tawa kami pecah ketika asap rokok daun nipa ini menyelinap keluar dari hidung saya.

Jembol tersenyum melihat tingkah saya dan nenek Kancil—tapi ada sesuatu yang bergetar di matanya. Dan ketika ia membuka pembicaraan tentang ancaman yang mendekat, tawa Nenek Kancil pun meredup.

“Sedih, tidak habis pikir. Hutan dibabat, laut mau dikeruk, kuburan sakral kita pun mau dibabat. Tolonglah itu dilihat mbol,” ungkap Nenek Kancil.

Di kelompok Suku Laut Kawal Laut ini, mereka masih bisa membaca langit, bintang masih bisa memberikan mereka kisah, tentang apa yang akan dihadapi atau mereka makan pada esok hari.

“Kami sudah ada disini sejak 1970. Kami berkelana dari Pulau Air Kelat, Pongok, dan Mensemut di Kabupaten Lingga. Sekarang tinggal nenek la generasi pertama,” kata Jembol.

Jembol menjelaskan, kini 15 keluarga di Suku Laut Kawal Laut bertahan hidup dengan menangkap ikan dan kepiting bangkang di hutan mangrove pesisir Kampung Masiran, Bintan. Namun, aktivitas industri yang berkembang di Kampung Masiran telah mengubah kondisi lingkungan sekitar secara signifikan.

Hanya 1,5 kilometer dari pemukiman Suku Laut Kawal Laut, PT GBKEK tengah melakukan pengembangan kawasan industri, khususnya di Kampung Masiran. Seluruh warga di kampung ini telah direlokasi akibat pengembangan kawasan PSN ini—akibatnya, hutan mangrove semakin berkurang dan kepiting bangkang, yang selama ini menjadi sumber penghidupan utama Suku Laut Kawal Laut semakin sulit ditemukan.

“Hutan mangrove semakin menipis, kepiting bangkang yang dulu bersarang di akar-akar bakau sekarang lari ke laut karang. Perubahan ini menyulitkan kami,” kata Jembol.

Tidak hanya itu, warga juga mulai menemukan patok-patok dan plang bertuliskan PT BAI di pesisir pantai Kampung Masiran hingga ke tengah laut. Mereka khawatir bahwa akses mereka ke laut, sebagai sumber kehidupan utama, semakin terbatas akibat klaim wilayah yang dilakukan oleh perusahaan.

Selain kehilangan tempat tinggal, warga Suku Laut Kawal Laut juga menghadapi ancaman lain, yakni penggusuran makam leluhur mereka. Makam yang selama ini mereka jaga sebagai bagian dari tradisi dan identitas budaya kini berada di lokasi yang berdekatan dengan area pengerukan untuk kepentingan industri.

“Sedih hati saya melihat ini. Mereka melakukan semua ini tanpa bicara dengan kami,” tegasnya.

Menurut Jembol, aktivitas pengerukan dan pengembangan industri di kawasan tersebut akan berdampak buruk bagi ekosistem laut dan kehidupan masyarakat. Jika pendalaman alur sungai dilakukan, habitat kepiting bangkang akan semakin berkurang, dan Suku Laut Kawal Laut akan kehilangan sumber mata pencaharian mereka.

“Kami minta pengusaha dan pemerintah lebih terbukalah dengan ini. Libatkan kami di dalam pembahasan agar apa yang akan dibangun tidak merampas ruang hidup kami, Suku Laut,” tutupnya.

Editorial Team